Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Evaluasi Paket Teknologi Produksi Benih TSS Bawang Merah Varietas Bima Brebes di Dataran Tinggi (Evaluation of the Packages TSS Seed Production Technology of Bima Brebes Varieties in the Highland) Rini Rosliani; Yusdar Hilman; Ineu Sulastrini; Muhammad Prama Yufdy; Rismawita Sinaga; Iteu M M Hidayat
Jurnal Hortikultura Vol 28, No 1 (2018): Juni 2018
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v28n1.2018.p67-76

Abstract

Penggunaan biji botani bawang merah atau true seed of shallot (TSS) diyakini dapat memecahkan kendala ketersediaan benih bawang merah di Indonesia. Tujuan penelitian adalah menentukan paket teknologi produksi benih TSS yang menghasilkan pembungaan dan produksi biji yang lebih tinggi. Penelitian teknologi produksi TSS dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu, Lembang dengan ketinggian tempat 1.250 m dpl. Penelitian menggunakan rancangan petak berpasangan dengan dua perlakuan paket teknologi dan diulang lima kali. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan A (aplikasi pukan kuda 10 ton/ha dan ayam 5 ton/ha, SP-36 250 kg/ha, NPK 600 kg/ha aplikasi 10 kali (seminggu sekali), aplikasi BAP dan  boron) menghasilkan pembungaan dan produksi biji/TSS yang lebih tinggi daripada paket B (pukan kuda 20 ton/ha, NPK 600 kg/ha dengan dua kali aplikasi, dan aplikasi GA3). Implikasi penelitian menunjukkan bahwa inovasi teknologi produksi TSS yang sedang dikembangkan saat ini sangat layak untuk memproduksi benih TSS yang bermutu tinggi.KeywordsBiji botani bawang merah; BAP; Boron; GA3; PemupukanAbstractThe use of true seed of shallots (TSS) is believed to solve the constraints of the availability of shallot seeds in Indonesia. The research objective was to compare the two packages TSS seed production technology that produces higher flowering and seed production. Research on TSS production technology was carried out at Margahayu Experimental Garden, Lembang with an altitude of 1,250 m above sea level. Research used a paired plot design with two treatments of technology package and five replicates. The results showed that treatment A (horse manure 10 ton/ha + chicken manure 5 ton/ha + SP-36 250 kg/ha + NPK 600 kg/ha application 10 times + BAP 37,5 ppm + boron 3 kg/ha) produce better flowering and seed production/higher TSS than package B (horse manure at a rate of 20 ton/ha, NPK 600 kg/ha with two times application and the use of GA3). The implication of this research showed the TSS production technology innovation that is being developed today is very feasible to produce high quality TSS in support shallot seed.
Pengaruh Benzilaminopurin dan Boron Terhadap Pembungaan, Viabilitas Serbuk Sari, Produksi, dan Mutu Benih Bawang Merah di Dataran Rendah Rini Rosliani; Endah Retno Palupi; Yusdar Hilman
Jurnal Hortikultura Vol 23, No 4 (2013): Desember 2013
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v23n4.2013.p339-349

Abstract

Biji botani atau TSS (true shallots seed) merupakan salah satu sumber benih bawang merah yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan perbanyakan. Selama ini produksi TSS dilakukan di dataran tinggi. Dataran rendah dengan suhu yang tinggi tidak sesuai untuk menghasilkan pembungaan, namun ada indikasi bahwa dataran rendah menghasilkan pembentukan dan mutu benih TSS yang lebih baik dibandingkan dataran tinggi. Penelitian dilakukan untuk memproduksi benih bawang merah (TSS) di dataran rendah melalui peningkatan pembungaan dan viabilitas serbuk sari menggunakan BAP dan boron. Penelitian dilakukan  di Kebun Percobaan Wera, Subang, Jawa Barat (ketinggian 100 m dpl.), dari Bulan Maret sampai dengan Juni 2012. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu acak kelompok faktorial dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas dua faktor, yaitu aplikasi benzilaminopurin atau BAP (0, 50, 100, 150, dan 200 ppm) dan boron (0, 1, 2, 3, dan 4 kg/ha). Aplikasi BAP diberikan tiga kali pada umur 1, 3, dan 5 minggu setelah tanam (MST), dan boron pada umur 3, 5, dan 7 MST. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian BAP dapat meningkatkan pembungaan dan viabilitas serbuk sari bawang merah, tetapi tidak meningkatkan produksi dan mutu benih TSS di dataran rendah Subang. Aplikasi BAP konsentrasi 50 ppm yang diaplikasikan pada umur 1, 3, dan 5 MST cukup memadai untuk meningkatkan pembungaan bawang merah di dataran rendah Subang. Sementara boron tidak memperbaiki tingkat pembungaan maupun produksi dan mutu benih TSS. Boron 4 kg/ha hanya dapat memperbaiki viabilitas serbuk sari bawang merah. Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa ada peluang untuk memperbaiki tingkat pembungaan yang lebih tinggi di dataran rendah, sedangkan tantangannya ialah peningkatan pembentukan kapsul/buah dan biji TSS.
Peningkatan Produksi Benih Botani Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum) di Dataran Rendah Subang Melalui Aplikasi BAP dan Introduksi Apis cerana Leli Kurniasari; Endah Retno Palupi; Yusdar Hilman; Rini Rosliani
Jurnal Hortikultura Vol 27, No 2 (2017): Desember 2017
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v27n2.2017.p201-208

Abstract

[Increasing True Shallot Seed Production (Allium cepa var. ascalonicum) in Lowland Area Through the Application of BAP and Introduction of Apis cerana]Produksi benih botani bawang merah (true shallot seed/TSS) dapat ditingkatkan melalui peningkatan pembungaan dan intensitas penyerbukan. Aplikasi BAP dapat meningkatkan pembungaan, sementara introduksi serangga penyerbuk dapat meningkatkan intensitas penyerbukan. Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan produksi TSS di dataran rendah Subang (100 m dpl.). Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai November 2014. Penelitian terdiri atas dua tahap percobaan. Percobaan pertama disusun dalam rancangan petak terbagi dengan empat ulangan. Petak utama adalah waktu aplikasi BAP yang terdiri dari 1, 3, dan 5 minggu setelah tanam (MST) serta 2, 4, dan 6 MST. Anak petak adalah konsentrasi BAP yang terdiri dari 0, 50, 100, 150, 200, dan 250 ppm. Percobaan kedua dilakukan dengan membandingkan produksi TSS dari dua populasi yang diintroduksi serangga dan tanpa introduksi serangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi BAP pada 2, 4, dan 6 MST efektif meningkatkan persentase tanaman berbunga, jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel, persentase pembentukan kapsul per umbel, dan bobot TSS per tanaman. Introduksi Apis cerana efektif meningkatkan jumlah kapsul bernas per tanaman, persentase pembentukan kapsul per tanaman, jumlah TSS per tanaman, persentase TSS bernas per tanaman, dan bobot TSS per tanaman, bobot 100 butir, dan daya berkecambah.KeywordsPembungaan; Pembentukan kapsul; Penyerbukan; Daya berkecambah; Indeks vigorAbstractProduction of true shallot seed (TSS) can be increased by enhancing flowering and intensifying the pollination. Application of BAP enhances flowering, whereas introduction of insect pollinator intensifies pollination. This research was aimed to increase TSS production in lowland area of Subang (100 m asl.) and was carried out from June until November 2014. The research consisted of two experiments. The first experiment was arranged in split plot design with four replications. The main plot was time of application of BAP i.e. 1, 3, and 5 week after planting (WAP) and 2, 4, and 6 WAP. The sub plot was consentration of BAP i.e. 0, 50, 100, 150, 200, and 250 ppm. The second experiment was comparing TSS production from two populations with and without installment of Apis cerana hive. The result showed that BAP applied on 2, 4, and 6 WAP effectively increased percentage of plant flowering, number of flower per umbel, number of capsules per umbel, percentage of fruitset, and TSS weight per plant. Introduction of Apis cerana have increased fruitset, percentages of filled TSS, number of TSS per umbel, and TSS weight per umbel as well as weight of 100 seed, and germination capacity.
ADAPTASI TANAMAN HORTIKULTURA TERHADAP PERUBAHAN IKLIMPADA LAHAN KERING Adaptation of Horticultural Crops to Climate Change in the Upland Yusdar Hilman; Suciantini Suciantini; Rini Rosliani
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 38, No 1 (2019): Juni, 2019
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jp3.v38n1.2019.p55-64

Abstract

Horticultural products (fruits, vegetables and ornamental crops) which have high competitiveness and added value, require supporting appropriate cultivation technology. The objective of this paper was to sort out adaptive technologies that can be implemented for horticultural cultivation, especially on dry land, to minimize yield loss due to climate changes. Horticultural crops in dry lands faced various problems. Characteristics of horticultural crops, among others were easily damage, bulky, sensitive to water stress and the incidence of pests and diseases. Another issue that has begun to happen in the field is the occurrence of extreme climate change, especially El Nino or La Nina that caused crop failures, damage to agricultural land resources, increased in frequency, extent, and intensity of drought, increased moisture, increased in the susceptibility to pests and the disease. Thus the integrated efforts that are needed in strengthening the capability of dry land to face climate change are by the application of adaptative technology, drafting disaster mitigation concepts, observing climate change, policy analysis related to the application of adaptive technology on climate change. The discussed Horticulture Commodities are focused on economically profitable crops, including: vegetables (potatoes, shallots, chili), fruits (bananas, citrus and melons) and ornamental crops (chrysanthemums, orchids, Polycias and Gerbera) scattered in two zoning zones where namely (i) lowland (0-600 meters above sea level); (ii) highlands (> 600 meters above sea level) and (iii) in both elevations of the site which have wet climates and dry climates. Attempsto be made to promote horticultural crops include performing water-efficient irrigation (drip irrigation), mulching, the use of shading on certain crops, proper fertilization, the use of organic fertilizer, planting system and planting distance, and tolerant varieties. Some adaptative technologies that can be adopted for horticultural crops include (1) developing watersaving irrigation technologies (drip and sprinkler irrigation on shallots), (2) applying healthy crop cultivation (good quality seeds, variety tolerant to disease and sub-optimal environment for tomatoes, red or hot chilli shallots and bananas), (3) using environmentally friendly chemical control (concept of threshold control in red or hot chilli), (4) protecting yield and quality of harvest (the use of silver black mulch on shallots and melons, and the use of shade for ornamental plants on dry land).Keywords: Horticulture, climate change, upland, adaptation technology AbstrakSistem produksi hortikultura (buah buahan, sayuran, dan tanaman hias) yang berdaya saing tinggi dan bernilai tambah memerlukan dukungan teknologi. Tulisan ini merangkum teknologi adaptasi komoditas hortikultura pada lahan kering dalam upaya meminimalisasi tingkat kehilangan hasil akibat perubahan iklim. Usaha tani tanaman hortikultura pada lahan kering dihadapkan pada berbagai masalah, di antaranya tanaman mudah dan cepat rusak, sensitif terhadap cekaman lingkungan, dan rentan terhadap hama dan penyakit. Masalah lain yang berdampak negatif terhadap sistem produksi komoditas hortikultura ialah perubahan iklim ekstrem, terutama el-nino dan la-nina. Perubahan iklim tidak hanya menyebabkan kegagalan panen, tetapi juga merusak sumber daya lahan pertanian, meningkatkan luas areal dan intensitas tanaman yang mengalami kekeringan, meningkatkan kelembaban, dan perkembangan hama dan penyakit tanaman. Oleh karena itu diperlukan integrasi pengelolaan lahan dan aplikasi teknologi adaptif perubahan iklim, penyusunan konsep mitigasi bencana, observasi perubahan iklim, dan analisis kebijakan yang terkait dengan aplikasi teknologi adaptasi terhadap perubahan iklim. Pembahasan difokuskan pada tanaman yang secara ekonomi menguntungkan, antara lain kentang, bawang merah, cabai untuk komoditas sayuran; pisang, jeruk, dan melon untuk komoditas buah-buahan; dan krisan, anggrek, polycias dan gerbera untuk tanaman hias. Komoditas hortikultura tersebut tersebar di dua zonasi ketinggian tempat, yakni dataran rendah (0–600 m dpl) dan dataran tinggi (> 600 m dpl). Beberapa teknologi adaptasi yang dapat diadopsi di antaranya (1) irigasi hemat air (irigasi tetes dan irigasi curah pada bawang merah), (2) budi daya tanaman sehat (benih bermutu, varietas toleran penyakit dan lingkungan suboptimal untuk komoditas kentang, cabai, bawang merah, dan pisang, (3) pengendalian hama dan penyakit ramah lingkungan (konsep ambang pengendalian pada cabai, jeruk), dan (4) perlindungan hasil dan peningkatan kualitas hasil panen (penggunaan mulsa plastik hitam perak pada tanaman bawang merah dan melon, serta penggunaan naungan pada tanaman hias anggrek dan krisan). Kata kunci: hortikultura, perubahan iklim, lahan kering, teknologi adaptasi
Peningkatan Mutu Benih Botani Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum) Melalui Aplikasi Pupuk Fosfor dan Kalium di Daerah Dataran Rendah Leli Kurniasari; Endah Retno Palupi; Yusdar Hilman; Rini Rosliani
Agriprima : Journal of Applied Agricultural Sciences Vol 4 No 2 (2020): SEPTEMBER
Publisher : Politeknik Negeri Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25047/agriprima.v4i2.358

Abstract

Penggunaan true shallot seed (TSS) sebagai bahan tanam masih rendah karena ketersediaannya sedikit dan teknik budidaya belum dikembangkan. Produksi TSS di dataran rendah menjadi alternatif karena sebagian besar bawang merah di Indonesia diproduksi di dataran rendah. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan mutu TSS di dataran rendah. Penelitian dilakukan di dataran rendah Subang (100 mdpl) dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Institut Pertanian Bogor. Bahan tanaman yang diperlukan adalah umbi bawang merah varietas Bima yang divernalisasi tiga minggu pada suhu 10°C. Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dua faktor yang diulang empat kali. Faktor pertama adalah dosis P2O5 (0, 100, 200, 300, 400 kg ha-1) dan faktor kedua adalah dosis K2O5 (0, 50, 100, 150, 200 kg.ha-1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian P dengan dosis 400 kg ha-1 mampu meningkatkan  daya berkecambah, indeks vigor dan potensi tumbuh maksimum TSS.  Peningkatan pupuk K tidak berpengaruh terhadap semua parameter pembungaan kecuali jumlah bunga per tanaman dan persentase pembentukan kapsul. Pemberian 50 Kg K2O ha-1 mampu meningkatkan jumlah bunga per tanaman hingga 70.9 kuntum, sementara pemberian 200 kg K2O ha-1 mampu meningkatkan  persentase pembentukan kapsul sebesar 54.82%. Kombinasi pemberian dosis 400 kg P2O5 ha-1 dan K 200 Kg ha-1 mampu meningkatkan daya berkecambah sebesar 74.7 % dan indeks vigor dengan nilai maksimum sebesar 92%, sedangkan dosis 200 Kg P2O5 ha-1 mampu meningkatkan potensi tumbuh maksimum TSS sebesar 64%.
ADAPTASI TANAMAN HORTIKULTURA TERHADAP PERUBAHAN IKLIMPADA LAHAN KERING Adaptation of Horticultural Crops to Climate Change in the Upland Yusdar Hilman; Suciantini Suciantini; Rini Rosliani
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 38, No 1 (2019): Juni, 2019
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (112.377 KB) | DOI: 10.21082/jp3.v38n1.2019.p55-64

Abstract

Horticultural products (fruits, vegetables and ornamental crops) which have high competitiveness and added value, require supporting appropriate cultivation technology. The objective of this paper was to sort out adaptive technologies that can be implemented for horticultural cultivation, especially on dry land, to minimize yield loss due to climate changes. Horticultural crops in dry lands faced various problems. Characteristics of horticultural crops, among others were easily damage, bulky, sensitive to water stress and the incidence of pests and diseases. Another issue that has begun to happen in the field is the occurrence of extreme climate change, especially El Nino or La Nina that caused crop failures, damage to agricultural land resources, increased in frequency, extent, and intensity of drought, increased moisture, increased in the susceptibility to pests and the disease. Thus the integrated efforts that are needed in strengthening the capability of dry land to face climate change are by the application of adaptative technology, drafting disaster mitigation concepts, observing climate change, policy analysis related to the application of adaptive technology on climate change. The discussed Horticulture Commodities are focused on economically profitable crops, including: vegetables (potatoes, shallots, chili), fruits (bananas, citrus and melons) and ornamental crops (chrysanthemums, orchids, Polycias and Gerbera) scattered in two zoning zones where namely (i) lowland (0-600 meters above sea level); (ii) highlands (> 600 meters above sea level) and (iii) in both elevations of the site which have wet climates and dry climates. Attempsto be made to promote horticultural crops include performing water-efficient irrigation (drip irrigation), mulching, the use of shading on certain crops, proper fertilization, the use of organic fertilizer, planting system and planting distance, and tolerant varieties. Some adaptative technologies that can be adopted for horticultural crops include (1) developing watersaving irrigation technologies (drip and sprinkler irrigation on shallots), (2) applying healthy crop cultivation (good quality seeds, variety tolerant to disease and sub-optimal environment for tomatoes, red or hot chilli shallots and bananas), (3) using environmentally friendly chemical control (concept of threshold control in red or hot chilli), (4) protecting yield and quality of harvest (the use of silver black mulch on shallots and melons, and the use of shade for ornamental plants on dry land).Keywords: Horticulture, climate change, upland, adaptation technology AbstrakSistem produksi hortikultura (buah buahan, sayuran, dan tanaman hias) yang berdaya saing tinggi dan bernilai tambah memerlukan dukungan teknologi. Tulisan ini merangkum teknologi adaptasi komoditas hortikultura pada lahan kering dalam upaya meminimalisasi tingkat kehilangan hasil akibat perubahan iklim. Usaha tani tanaman hortikultura pada lahan kering dihadapkan pada berbagai masalah, di antaranya tanaman mudah dan cepat rusak, sensitif terhadap cekaman lingkungan, dan rentan terhadap hama dan penyakit. Masalah lain yang berdampak negatif terhadap sistem produksi komoditas hortikultura ialah perubahan iklim ekstrem, terutama el-nino dan la-nina. Perubahan iklim tidak hanya menyebabkan kegagalan panen, tetapi juga merusak sumber daya lahan pertanian, meningkatkan luas areal dan intensitas tanaman yang mengalami kekeringan, meningkatkan kelembaban, dan perkembangan hama dan penyakit tanaman. Oleh karena itu diperlukan integrasi pengelolaan lahan dan aplikasi teknologi adaptif perubahan iklim, penyusunan konsep mitigasi bencana, observasi perubahan iklim, dan analisis kebijakan yang terkait dengan aplikasi teknologi adaptasi terhadap perubahan iklim. Pembahasan difokuskan pada tanaman yang secara ekonomi menguntungkan, antara lain kentang, bawang merah, cabai untuk komoditas sayuran; pisang, jeruk, dan melon untuk komoditas buah-buahan; dan krisan, anggrek, polycias dan gerbera untuk tanaman hias. Komoditas hortikultura tersebut tersebar di dua zonasi ketinggian tempat, yakni dataran rendah (0–600 m dpl) dan dataran tinggi (> 600 m dpl). Beberapa teknologi adaptasi yang dapat diadopsi di antaranya (1) irigasi hemat air (irigasi tetes dan irigasi curah pada bawang merah), (2) budi daya tanaman sehat (benih bermutu, varietas toleran penyakit dan lingkungan suboptimal untuk komoditas kentang, cabai, bawang merah, dan pisang, (3) pengendalian hama dan penyakit ramah lingkungan (konsep ambang pengendalian pada cabai, jeruk), dan (4) perlindungan hasil dan peningkatan kualitas hasil panen (penggunaan mulsa plastik hitam perak pada tanaman bawang merah dan melon, serta penggunaan naungan pada tanaman hias anggrek dan krisan). Kata kunci: hortikultura, perubahan iklim, lahan kering, teknologi adaptasi