Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Peran Purun Tikus (Eleocharis dulcis) sebagai Penyerap dan Penetral Fe di Lahan Rawa Pasang Surut Khairatun Napisah; Wahida Annisa
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jsdl.v13n1.2019.53-59

Abstract

Abstrak. Lahan rawa pasang surut merupakan salah satu agroekosistem potensial untuk pengembangan pertanian, khususnya tanaman pangan. Kendala yang dihadapi antara lain yaitu: kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan unsur hara dalam tanah yang relatif rendah serta kandungan unsur beracun seperti Al, Fe dan H2S. Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan tanaman hiperakumulator lahan rawa pasang surut yang memiliki kemampuan dalam menyerap atau menetralisir unsur-unsur meracun. Purun tikus memang memiliki kemampuan menyerap logam berat sebanyak 1% dari bobot keringnya atau setara dengan 1,560 mg kg-1 Fe. Secara umum tanaman hiperakumulator mampu mengakumulasi logam mencapai 11 % dari berat kering. Pada kondisi tergenang logam Fe dapat hilang dari larutan tanah melalui beberapa cara antara lain dengan pengendapan, terjerap pada permukaan liat atau Fe3+ oksida, teroksidasi menjadi Fe3+dan terbawa bersama air drainase. Abstract. Tidal swamp land is one of the potential agroecosystem for agricultural development, especially food plants. The found obstacles here are: high acidity of soil, the availability of nutrients in the soil is relatively low and the content of toxic elements such as Al, Fe and H2S. Purun tikus (Eleocharis dulcis) is a tidal swamp hyperacumulator plant that has the ability to absorb or neutralize poisonous elements. Purun Tikus has the ability to absorb heavy metals as much as 1% of the dry weight or equivalent to 1.560 mg kg-1 Fe. In general, hyperacumulator plants are able to accumulate metals reached 11% of dry weight. In the inundated conditions, Fe metal can be lost from the soil solution in several ways, among others by precipitation, absorbed on the clay surface or Fe3+ oxide, oxidized to Fe3+ and carried along with drainage water.
Pembuatan dan pemanfaatan arang limbah kayu untuk menjerap gas metan pada lahan tanaman padi [The production and utilization of charcoal derived from wood waste to absorb methane gas in rice fields] Heri Soedarmanto; Dr. Evy Setiawati, M.T.; Wahida Annisa; Dwi Harsono
Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol 12, No 1 (2020)
Publisher : Kementerian Perindustrian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24111/jrihh.v12i1.6110

Abstract

Abstrak. Lahan padi merupakan sumber terbesar dari emisi CH4 dan berkontribusi terhadap 12% total emisi tahunan. Salah satu cara untuk untuk mengurangi emisi gas metan adalah dengan pemberian arang. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh arang perendaman berbahan baku serbuk limbah kayu terhadap penurunan emisi gas metan pada lahan padi. Limbah serbuk kayu yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 0,42-1,00 mm dan dipirolisis selama 2 jam pada suhu (350-550)oC. Arang yang dihasilkan (kondisi panas) kemudian direndam menggunakan air selama 30 menit. Arang hasil perendaman kemudian disaring dan dikering-udarakan. Tanah sulfat masam ditambahkan arang hasil perendaman sesuai dosis perlakuan. Perlakuan penelitian adalah (1) kontrol tanah, tanpa arang perendaman (K0); (2) 30 gram arang perendaman + tanah (K1); (3) 60 gram arang perendaman + tanah (K2); (4) 90 gram arang perendaman + tanah (K3); (5) 120 gram arang perendaman + tanah (K4); (6) 150 gram arang perendaman + tanah (K5). Pengamatan terhadap emisi gas metan dilakukan selama 30, 60, dan 90 Hari Setelah Tanam (HST). Untuk mengetahui pengaruh suhu dan perendaman arang terhadap kualitas arang yang dihasilkan serta mengetahui dosis arang terhadap emisi gas metan digunakan Rancangan Acak Lengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seiring dengan peningkatan suhu pirolisis, nilai pH, kadar abu, dan fixed-C semakin meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen menurun. Perendaman arang menghasilkan produk arang dengan pori-pori relatif lebih banyak dan terstruktur. Fluks metan menurun seiring bertambahnya dosis arang perendaman, yaitu 22,57 mg/m2/hari menjadi 9,73 mg/m2/hari pada 30 HST, 55,07 mg/m2/hari menjadi 13,40 mg/m2/hari pada 60 HST, dan 92,51 mg/m2/hari menjadi 19,59 mg/m2/hari pada 90 HST.Kata Kunci : arang perendaman; limbah kayu; fluks metan Abstract. Rice fields are the largest source of CH4 emissions and contribute to 12% of total annual emissions. Providing charcoal treatment is one way to reduce methane emissions. The purpose of this study was to analyze the soaked charcoal derived from wood waste to reduce methane gas emissions of rice fields. The sawdust used in this study was 0.42-1.00 mm and pyrolyzed for 2 hours at (350-550)oC. The resulted charcoal in a heat condition was then soaked using water for 30 minutes, filtered, and dried. The soaked charcoal was added according to the dosage given. The research treatments were (1) soil control, without soaked charcoal (K0); 30 grams soaked charcoal + soil (K1); (3) 60 grams soaked charcoal + soil (K2); (4) 90 grams soaked charcoal + soil (K3); (5) 120 grams soaked charcoal + soil (K4); (6) 150 grams soaked charcoal + soil (K5). Observations on methane gas emissions were carried out for 30, 60, and 90 Days After Planting (DAP). The Completely Randomized Design was used to determine the effect of temperature and soaking of charcoal on the charcoal quality and to determine the dose of charcoal on methane gas emissions. The results showed that with the increase in pyrolysis temperature, pH, ash content, and fixed-C increased, while hydrogen and oxygen increased. The soaked charcoal had larger and higher structured pore. Methane flux was increased as the increasing of soaked charcoal at 30, 60, 90 DAP, which were (22.57 to 9.73) mg/m2/day, (55.07 to 13.40) mg/m2/day, and (92.51 to 19.59) mg/m2/day, respectively.Keywords : soaked charcoal; wood waste; methane flux
Peran Purun Tikus (Eleocharis dulcis) sebagai Penyerap dan Penetral Fe di Lahan Rawa Pasang Surut Khairatun Napisah; Wahida Annisa
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (656.2 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v13n1.2019.53-59

Abstract

Abstrak. Lahan rawa pasang surut merupakan salah satu agroekosistem potensial untuk pengembangan pertanian, khususnya tanaman pangan. Kendala yang dihadapi antara lain yaitu: kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan unsur hara dalam tanah yang relatif rendah serta kandungan unsur beracun seperti Al, Fe dan H2S. Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan tanaman hiperakumulator lahan rawa pasang surut yang memiliki kemampuan dalam menyerap atau menetralisir unsur-unsur meracun. Purun tikus memang memiliki kemampuan menyerap logam berat sebanyak 1% dari bobot keringnya atau setara dengan 1,560 mg kg-1 Fe. Secara umum tanaman hiperakumulator mampu mengakumulasi logam mencapai 11 % dari berat kering. Pada kondisi tergenang logam Fe dapat hilang dari larutan tanah melalui beberapa cara antara lain dengan pengendapan, terjerap pada permukaan liat atau Fe3+ oksida, teroksidasi menjadi Fe3+dan terbawa bersama air drainase. Abstract. Tidal swamp land is one of the potential agroecosystem for agricultural development, especially food plants. The found obstacles here are: high acidity of soil, the availability of nutrients in the soil is relatively low and the content of toxic elements such as Al, Fe and H2S. Purun tikus (Eleocharis dulcis) is a tidal swamp hyperacumulator plant that has the ability to absorb or neutralize poisonous elements. Purun Tikus has the ability to absorb heavy metals as much as 1% of the dry weight or equivalent to 1.560 mg kg-1 Fe. In general, hyperacumulator plants are able to accumulate metals reached 11% of dry weight. In the inundated conditions, Fe metal can be lost from the soil solution in several ways, among others by precipitation, absorbed on the clay surface or Fe3+ oxide, oxidized to Fe3+ and carried along with drainage water.