Titiek Yulianti
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Published : 20 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

Bahan Organik: Perannya dalam Pengelolaan Kesehatan Tanah dan Pengendalian Patogen Tular Tanah Menuju Pertanian Tembakau Organik Titiek Yulianti
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 2, No 1 (2010): April 2010
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v2n1.2010.26-32

Abstract

Kompleksnya masalah lingkungan pada usaha tani tembakau akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang kurang bijaksana mendorong keluarnya kebijakan Good Agricultural Practices (GAP) untuk tanaman tembakau yang disponsori oleh perusahaan-perusahaan tembakau dunia. Salah satu syarat terciptanya GAP adalah pengelolaan tanah dengan benar secara ramah lingkungan dengan menggunakan sumber daya alam yang ada, antara lain dengan penambahan bahan organik ke dalam tanah. Cara tersebut selain meningkat-kan kesuburan tanah dan memperbaiki struktur fisik tanah, juga berfungsi mengembalikan keseimbangan mikrobiologi dalam tanah. Pada kondisi tertentu cara tersebut bahkan mampu mengendalikan penyakit ta-naman, terutama jika agensia hayati ditambahkan ke dalamnya. Makalah ini membahas peran bahan organik dalam memperbaiki fungsi kimia, fisik, dan biologi tanah agar menjadi sehat dan produktif sebagai persiapan menuju usaha tani tembakau yang memenuhi standar GAP dan organik. Environmental problems on tobacco farm created by excessive use of pesticide and inorganic fertilizers has issued Good Agricultural Practices (GAP) sponsored by world tobacco companies. One key factor of the suc-cess of GAP is environmentally friendly soil management through the use of natural resources in the vicinity, such as organic amendment. Soil organic matter enhances soil fertility, improves soil physical properties, and restores soil microbiological equilibrium. It also provides longterm control to soilborne pathogens, especially when a biological control agent is added. This paper discusses the role of organic matter on enhancement chemical, physical, and biological soil properties. This conditions will improve soil health and fertility toward GAP tobacco production and organic tobacco.
Efektivitas Vaksin Carna-5 (Cucumber Mosaic Virus Associated RNA-5) terhadap Infeksi Cucumber Mosaic Virus (CMV) pada Tanaman Tembakau Cerutu (Nicotiana tabacum L.) Cece Suhara; Titiek Yulianti
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 9, No 1 (2017): April 2017
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/btsm.v9n1.2017.24-34

Abstract

Penyakit Mosaik yang disebabkan oleh Cucumber Mosaic Virus (CMV) menimbulkan kerugian baik produksi maupun kualitas daun tembakau. Pengendalian virus secara kimiawi sampai saat ini belum dapat dilaksanakan, kecuali pengendalian serangga vektornya.  Salah satu alternatifnya adalah penggunaan satelit CMV (Carna-5) sebagai pengendali hayati. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas Carna-5 dalam menghambat perkembangan CMV pada tembakau cerutu. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) pada bulan Juni–November tahun 2011. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial diulang tiga kali. Perlakuan terdiri atas Faktor I: Cara aplikasi vaksin (A1 : menggunakan kompresor dan sprayer; A2 : menggunakan sprayer otomatis). Faktor II: 6 konsentrasi vaksin , yaitu (1) D1 : Tanpa vaksin tanpa diinokulasi CMV; (2) D2 : Tanpa divaksin + inokulasi CMV; (3) D3 : divaksin dengan Carna-5 10% tanpa inokulasi CMV; (4) D4 : 5 divaksin dengan Carna-5 5% + inokulasi CMV (5) D5 : divaksin dengan Carna-5 10% + inokulasi CMV, dan (6) D6 : divaksin dengan Carna-5 15% + inokulasi CMV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara aplikasi vaksin Carna-5 tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter pengamatan.  Vaksin Carna-5 tidak mem-pengaruhi pertumbuhan tanaman, namun mampu menurunkan tingkat kejadian maupun keparahan penyakit.  Daya hambat tertinggi (64,69%) terhadap perkembangan CMV diperoleh pada perlakuan D6.  Effectiveness of Carna-5 (Cucumber MosaicVirus Associate RNA-5 ) Vaccine on Cucumber Mosaic Virus(CMV) on Cigar Tobacco (Nicotiana tabacum L.)Mosaic disease caused by Cucumber Mosaic Virus (CMV) causes losses in tobacco leaf production and quality. Chemical method vaccine to control CMV. The study has been conducted in Field Experimental Station for Phytopathology of  Indonesian Sweetener and Fibre Crops Research Institute from June–November 2011. There were two factors arranged in Factorial Completely randomized with three replicates.  First factor was vaccine aplication method, ie: A1 : Using a compressor and sprayer; A2 : Using an automatic sprayer.  The second factor is six levels of vaccine concentration ie.: (1) D1 : without vaccine + plant was not inoculated by CMV; (2) D2 : without vaccine and plant was inoculated by CMV; (3) D3 : vaccinated with 10% Carna-5 + plant was not inoculated by CMV; (4) D4 : vaccinated with 5% Carna-5 + plant was inoculated by CMV; (5) D5 : vaccinated with 10% Carna-5 + plant was inoculated by CMV; dan (6) D6 : vaccinated with 15% + plant was inoculated by CMV.  Results showed that application methods of Carna-5 did not significantly affect all parameter of observations. Carna-5 did not affect the growth of tobacco plant, but suppressed disease incidence and disease severity caused by CMV.  Concentration of 15% was also gave highest productive leaf. The highest inhibition (64,69%) was caused by vaccine 15 g/100 ml BF.
Ketahanan Aksesi Plasma Nutfah Tembakau Cerutu terhadap Penyakit Lanas dan Busuk Batang Berlubang Resistance of Tobacco Germplasms Against Black Shank and Hollow Stalk Titiek Yulianti
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 1, No 1 (2009): April 2009
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v1n1.2009.17-27

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh aksesi tembakau cerutu yang tahan terhadap penyakit lanas dise-babkan oleh patogen Phytophthora nicotianae vßdH var. nicotianae Waterhouse dan busuk batang berlu-bang yang disebabkan oleh patogen Erwinia carotovora sebagai sumber genetik pada persilangan untuk me-rakit varietas unggul baru. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kasa dan semi lapangan pada polybag di Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang, mulai bulan Maret sampai dengan De-sember 2008. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Unit perlaku-an terdiri dari 10 tanaman tembakau cerutu. Parameter pengamatan adalah persentase tanaman sakit. Ino-kulasi Phytophthora nicotianae pada tanaman dilakukan pada 1 bulan setelah tanam dengan cara membuat luka/sayatan pada pangkal batang kemudian diolesi suspensi patogen dan ditutup dengan kapas steril yang dibasahi dengan air steril untuk menjaga kelembapan. Inokulasi E. carotovora dilakukan pada dua minggu setelah tanam (MST) yaitu pada akar yang disayat terlebih dahulu dengan menggunakan pisau cutter seba-gai media masuknya inokulum pada bagian tanaman. Suspensi inokulum yang digunakan 10 ml dengan ke-rapatan 108/ml per polybag. Dari hasil pengujian diperoleh enam aksesi tembakau cerutu tahan terhadap P. nicotianae yaitu: S-2235, S-2272, S-2361, S-2399, S-2400, dan S-2403. Sedangkan aksesi yang tahan ter-hadap E. carotovora adalah: S-2234, S-2236, S-2271, S-2272, S-2298, S-2299, S-2361, S-2399, S-2400, dan S-2401.This study aimed to examine the resistance level of 30 cigar tobacco accessions to Phytophthora nicotianae, the causal agent of black shank, and Erwinia carotovora, the causal agent of hollow stalk. The resistant lines will be used as resistant genetic source in breeding process to construct premium variety (ies). The screen-ing test was conducted in a glass house from March–December 2008 arranging in randomized block design with three replicates. Each unit of tobacco accessions consisted of 10 plants and percentage of wilt/diseased plant assessed to determine the resistant degree. P. nicotianae was inoculated on wounded bottom stem beneath the soil level 1 month after transplanting. Whilst E. carotovora was infested in sterilized soil 10 ml with concentration of 108 per polybag two weeks after tobacco seedlings were transplanted. The root sys-tems were wounded to facilitate the bacterium enter the cells. Results of the test show that 6 of 16 tested accessions were resistant, ie. S-2235, S-2272, S-2361, S-2399, S-2400, and S-2403 to P. nicotianae; and 10 accessions were resistant to E. carotovora ie. S-2234, S-2236, S-2271, S-2272, S-2298, S-2299, S-2361, S-2399, S-2400, and S-2401.
Uji Antagonisme Bacillus cereus terhadap Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii Nurul Hidayah; Titiek Yulianti
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 7, No 1 (2015): April 2015
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v7n1.2015.1-8

Abstract

Jamur Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii merupakan kelompok jamur steril (tidak menghasilkan spora) tetapi dapat menghasilkan sklerosia sebagai sumber inokulum primer, dan struktur istirahat jamur yang dapat bertahan selama beberapa tahun di dalam tanah saat kondisi lingkungan kurang menguntungkan. Penggunaan fungisida, fumigasi, dan solarisasi tanah telah digunakan untuk mengendalikan kedua jamur tersebut, namun hasil yang diperoleh masih beragam. Pengendalian hayati dengan menggunakan bakteri Bacillus sp. yang merupakan salah satu kelompok agens hayati patogen diketahui memberikan hasil yang baik pada beberapa tanaman. Penelitian yang bertujuan menguji potensi B. cereus dalam menghambat pertumbuhan jamur R. solani dan S. rolfsii secara in vitro dilaksanakan di Laboratorium Fitopatologi Balittas dengan menggunakan metode dual culture pada media potato dextrose agar (PDA). Miselia jamur R. solani dan S. rolfsii masing-masing berumur 5 hari diambil dengan menggunakan cork borer ukuran 0,5 cm ditanam pada media PDA berhadapan dengan B. cereus dengan jarak 3 cm. Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap dan diulang empat kali. Pengamatan dilakukan terhadap persentase penghambatan pertumbuhan jamur oleh Bacillus sp. dan laju pertumbuhan jamur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus sp. mampu menghambat pertumbuhan miselia R. solani dan S. rolfsii masing-masing sebesar 68,9% dan 33% pada hari ketiga setelah perlakuan. Keberadaan B. cereus dapat memperlambat laju pertumbuhan R. solani (15,5 mm/24 jam), dibandingkan perlakuan kontrol (tanpa B. cereus) sebesar 19,7 mm/24 jam. Hasil ini menunjukkan bahwa B. cereus dapat menghambat pertumbuhan R. solani dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens hayati. Rhizoctonia solani and Sclerotium rolfsii (the causal agents of damping off disease on various hosts) are the group of sterile fungi that cannot produce spores. Nevertheless, they produce sclerotia as primary inocula and resting spores when facing unfavorable condition. Several control methods using chemical fungicides and solarization had been conducted, but the results were still inconsistent. In addition, the use of Bacillus sp. as a biological control agent for several plant diseases had provided successful results. Furthermore, the research aimed to evaluate the potency of B. cereus towards R. solani and S. rolfsii in vitro was carried out in the laboratory of phytopathology using dual culture method on PDA medium. Five days of R. solani and S. rolfsii miselia were plugged and inoculated on PDA medium toward B. cereus. The research was arranged by completely randomized design with four replicates. The percentage of fungal inhibition and fungal growth rate were observed. The result showed that B. cereus exhibited mycelial growth inhibition activity of R. solani and S. rolfsii by 68,9% and 33% three days after treatments, respectively. The result also indicated thatB. cereus has a potential prospect to be developed as a biological control agent because the bacteria could suspend the growth rate of R. solani.
Ecobiology of Bacterial Wilt of Physic Nut in Indonesia Titiek Yulianti
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 7, No 2 (2015): Oktober 2015
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v7n2.2015.114-122

Abstract

Budi daya jarak pagar (Jatropha curcas) dengan sistem monokultur pada hamparan yang luas telah menim -bulkan ledakan suatu penyakit. Layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum merupakan salah satu penyakit utama jarak pagar dan ditemukan di beberapa daerah pengembangan. Gejala yang terlihat pada tanaman yang terinfeksi adalah layu dan daun menguning sebelum waktunya atau daun layu tanpa adanya perubahan warna dan masih melekat di batang. Jaringan pembuluh berubah warna kecokelatan. Akar utama dan sekunder busuk berwarna cokelat kehitaman. Pada tanaman yang terinfeksi cukup berat, daun-daunya akan gugur, bagian batang menjadi cokelat, dan akhirnya tanaman mati. Berdasar reaksi oksi-dasi sumber gula, biovar R. solanacearum yang diisolasi dari tanaman jarak pagar dari Malang, Jawa Timur mirip dengan biovar 5, sedangkan yang dari Pati, Jawa Tengah, berbeda dengan biovar standar yang ada. Bakteri ini menginfeksi tomat, cabai merah, dan terong, tetapi tidak menginfeksi tembakau ataupun jagung. Observasi lapangan untuk mengetahui perkembangan layu bakteri pada tanaman jarak pagar dan penyebar-annya menunjukkan bahwa fluktuasi kejadian penyakit berkorelasi positif dengan curah hujan. Streptomycin sulfat atau kombinasi beberapa jenis antagonis merupakan cara pengendalian yang baik. Selain itu, mengoleskan CaCO3 pada luka akibat pemangkasan dapat mencegah penyakit berkembang lebih lanjut. Arah pene-litian ke depan untuk pengendalian penyakit ini adalah pengendalian terpadu yang menitik-beratkan kepada pertanian dan lingkungan yang keberlanjutan, misalnya penambahan antagonis, mikroorganisme berguna, bahan organik, serta pemupukan seimbang. Growing physic nut (Jatropha curcas) under monoculture system in large areas has generated disease out-break. Bacterial wilt caused by Ralstonia solanacearum is one of the major diseases found in several regions. The symptom of the infected plant is wilting and premature leaf yellowing or leaves wilting without changing colour and still attaching to the stem. The vascular tissues show a brown discoloration. The primary and secondary roots may become brown to black. Severe infection causes leaves of diseased plant to fall, the stem to become brown and eventually death. Based on oxidation reaction of sugar source the biovar of R. solanacearum isolated from physic nut in Malang (East Java) was similar to biovar 5, but isolate from Pati, Central Java was different from the standard biovar. The pathogen infected tomato, red chili, and egg plant but not tobacco or maize. A field observation to determine the development of bacterial wilt in physic nut and its spread pattern demonstrated that disease fluctuation incidence was positively correlated to rainfall. Streptomycin sulphate or combination of antagonists gave a good disease control. Furthermore, smearing CaCO3 on wound caused by prunning could prevent disease development. The best control measure is inte-gration of several control measures which encourage sustainable agriculture and environment, including the addition of antagonists, effective microorganism, organic matter, and balanced fertilizer. 
Penyakit Zebra Pada Sisal (Agave spp.): Tantangan Bagi Pengembangan Sisal di Indonesia dan Managemen Pengendaliannya Titiek Yulianti; Kristiana Sri Wijayanti; Untung Setyobudi
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 12, No 1 (2020): APRIL 2020
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/btsm.v12n1.2020.12-21

Abstract

ABSTRAKPenyakit Zebra merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman sisal. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Phytophthora nicotianae Breda de Haan. Ada tiga fase infeksi jamur ini pada tanaman sisal, yaitu fase bercak daun zebra, busuk batang (bole rot), dan busuk ujung daun (spike rot). Infeksi pada daun akan menurunkan mutu serat, bahkan pada tingkat kejadian yang parah dapat menyebabkan lembaran daun tidak dapat dipanen dan kematian tanaman. Pengembangan tanaman sisal di Indonesia bagian Timur dengan menggunakan varietas introduksi H11648 yang rentan terhadap penyakit ini perlu diwaspadai dan diantisipasi kejadian dan penyebarannya. Makalah ini mengulas tentang penyakit zebra dan manajemen pengendaliannya secara terpadu, mulai dari upaya pemuliaan, pengendalian hayati, penggunaan ekstrak nabati dan fungisida sintetis. Untuk mendukung pengembangan sisal di NTB dan NTT yang baru dimulai, diperlukan penelitian terutama yang berkaitan dengan pengendalian penyakit ini.  Zebra  Zebra Disease of Sisal: Challenge for Sisal Development in Indonesia and Its Control ManagementABSTRACTZebra disease is one of important diseases of Sisal (Agave spp.), which is caused by a fungus Phytophthora nicotianae Breda de Haan. There are three stadia of the disease, ie: zebra leaf spot, bole rot, and spike rot. Infection on lamina would decrease fibre quality, and severe infection would caused yield loss and death of the plant. The development sisal plant using the new variety H11648, which is susceptible to the disease should be anticipated its outbreak and spread. This paper reviews the zebra disease and its integrated control management including breeding program, biological control, the use of botanical and synthetic fungicides. The development program in NTB and NTT should be supported with adequate research program, especially in controlling the disease.
Pemanfaatan Endofit Sebagai Agensia Pengendali Hayati Hama dan Penyakit Tanaman Titiek Yulianti
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 5, No 1 (2013): April 2013
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v5n1.2013.40-49

Abstract

Endofit merupakan mikroorganisme (bakteri, jamur, atau aktinomisetes) yang hidup dan berkoloni di dalam jaringan inang tanpa menimbulkan efek negatif, bahkan banyak memberi keuntungan terhadap inangnya. Salah satu keuntungannya adalah sebagai agensia pengendali hayati baik untuk serangga hama maupun pa-togen penyebab penyakit tanaman. Sebagai agensia hayati, endofit dapat mengurangi kerusakan tanaman oleh serangga, nematoda, atau patogen penyebab penyakit melalui induksi ketahanan tanaman. Selain itu endofit juga dapat berfungsi sebagai agensia hayati melalui interaksi antagonis dan kompetisi. Dalam artikel ini akan dibahas kemampuan endofit sebagai agensia hayati serangga hama dan patogen; mekanisme yang berlang-sung; serta aplikasi endofit dalam dunia pertanian, khususnya tanaman perkebunan. Endophytes are recognized as microorganisms (bacteria, fungi, or actinomycetes), living and colonizing within host tissues without causing any harm, but giving many benefits to their host. One of the advantages is their role as biocontrol agents for insect pest or plant pathogen. As biocontol agents, endophytes could re-duce plant damage by insects, nematodes, and pathogens through induction for plant resistant mechanisms. Endophytes can also act as biocontrol agents through antagonistic and competition interactions. This article reviews the ability of endophytes as biocontrol agents for insect pest and plant pathogen, the mechanism, and application of endophytes in agriculture, particularly in estate crops.
Prospek Pengembangan Kapas Organik di Indonesia Titiek Yulianti
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 3, No 2 (2011): Oktober 2011
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v3n2.2011.89-95

Abstract

Sistem pertanian organik pada tanaman pangan mulai diminati masyarakat karena produknya lebih sehat dan pengelolaannya memperhatikan lingkungan, siklus biologi, dan keanekaragaman hayati setempat. Kecende-rungan ini merembet ke tanaman nonpangan, seperti kapas yang menggunakan pestisida dan pupuk sintetis sangat besar. Syarat pengembangan kapas organik cukup ketat karena selain larangan menggunakan bahan kimia sintetis, juga pendokumentasian untuk memperoleh sertifikat organik. Meskipun serat kapas organik harganya lebih tinggi, namun produktivitasnya cenderung rendah. Keuntungan yang paling signifikan dalam pengembangan kapas organik adalah perbaikan lingkungan, mulai dari kesuburan lahan, aktivitas mikroba, dan siklus biologi sampai peningkatan keanekaragaman hayati. Pengembangan kapas di Indonesia masih menghadapi masalah rendahnya produktivitas dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri sehingga pengem-bangan kapas organik belum menjadi prioritas meskipun kelestarian biologi dan lingkungan harus tetap di-perhatikan. Oleh karena itu, sistem pertanian input rendah yang berkelanjutan dan ramah lingkungan meru-pakan pilihan yang dapat dikembangkan untuk kapas. People are now paying more interest on healthy products from organic agriculture especially for food crops. Organic agriculture system based on ecological concern which enhances biodiversity, biological cycles of the land. This interest is now moving to nonfood crops, such as cotton that need high concentration of pesticide and fertilizer for its production. Developing organic cotton requires strictly standard and condition, such as no synthetic chemical fertilizers and pesticides, or detail documents to get organic sertificate. Although, price of organic cotton fiber is higher, but its production is lower compared to conventional one. However, there are still significant advantages in developing organic cotton, i.e. environmental improvements: from soil ferti-lities, microbial activities, biological cycles to promoting biodiversity. At the moment, the need of cotton fiber is mainly from import, on the other side organic cotton productivity tends to low. Hence, development of or-ganic cotton is not priority, yet biological and environmental sustainability ask for attention. Another alterna-tive choice which more practicable to develop cotton in Indonesia is a sustainable and ecofriendly with low input agricultural system.
Pengaruh Waktu Inokulasi dan Jumlah Inokulum Terhadap Patogenisitas Phytophthora nicotianae pada Bibit Tembakau Nurul Hidayah; Titiek Yulianti
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 2, No 2 (2010): Oktober 2010
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bultas.v2n2.2010.75-80

Abstract

Waktu inokulasi yang tepat serta jumlah inokulum yang digunakan merupakan salah satu faktor yang me-nentukan keberhasilan inokulasi buatan yang lazim dilakukan dalam pengujian ketahanan suatu varietas ter-hadap patogen tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu inokulasi dan jumlah inokulum Phytophthora nicotianae yang paling efektif untuk dapat menimbulkan gejala penyakit lanas pada bibit tembakau. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kasa Fitopatologi Balittas, Malang pada bulan Juli Oktober 2006. Metode penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor, yaitu umur bibit saat inokulasi (faktor I), terdiri dari tiga tingkat yaitu: 1) bibit berumur 5 minggu setelah se-mai (mss), 2) bibit berumur 6 mss dan 3) bibit berumur 7 mss dan jumlah inokulum (faktor II), terdiri dari 4 tingkat yaitu: 1) tanpa inokulum (kontrol), 2) 1.3502.400 zoospora/bibit, 2) 2.7004.800 zoospora/bibit, dan 4) 5.4009.600 zoospora/bibit. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali. Pengamatan dilaku-kan pada masa inkubasi dan kejadian penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit dipengaruhi oleh umur bibit saat inokulasi. Bibit yang lebih muda mempunyai masa inkubasi lebih cepat yak-ni 4,5 hari dibandingkan dengan bibit yang lebih tua. Kejadian penyakit tertinggi yaitu sebesar 56,9% terjadi pada saat bibit diinokulasi berumur 5 mss dengan jumlah inokulum 1.3502.400 zoospora/bibit. Suitable time of inoculation and inoculum density are factors to determine the success of artificial inoculation to evaluate of resistant level of plant variety to pathogen. The aim of this research was to study the appro-priate time of inoculation and inoculum density of Phytophthora nicotianae, the causal agent of black shank and damping off on tobacco seedling. The research was conducted in Phytopathology laboratory and screen house of IToFCRI Malang from July-October 2006. This research was arranged in complete randomized de-sign which consisted two factors and three replicates. The first factor was comprised of three times of ino-culation, and the second was the density of P. nicotianae inoculum. The parameters observed were incuba-tion period and disease incidence. The result showed that the incubation period was affected by the age of seedling when it was inoculated. The younger seedling was more susceptible than the older one. The high disease incidence (56.9%) was reached when the seedling five weeks old and inoculated by inoculum con-tained of 1,3502,400 zoospores/seedling.
STATUS DAN STRATEGI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT UTAMA TEBU DI INDONESIA Status and Control Strategy of Important Sugarcane Diseases In Indonesia Titiek Yulianti
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.01-16

Abstract

Sejak tebu dibudidayakan untuk menghasilkan gula di Indonesia pada tahun 1650, tercatat lebih dari 30 jenis penyakit yang pernah ditemukan.  Namun, hanya beberapa jenis penyakit yang  berpotensi menurunkan produktivitas tebu dan mutu nira bahkan kerugiannya bisa mencapai 20%.  Jenis penyakit tersebut antara lain adalah: penyakit sereh yang disebabkan oleh Phytoplasma, pokkah boeng yang disebabkan oleh Fusarium moniliformae, blendok oleh bakteri Xanthomonas albineans, luka api oleh jamur Sporisorium scitamineum, pembuluh oleh bakteri Leifsonia xyli  sub sp  xyli, lapuk akar dan pangkal batang oleh jamur Xylaria warbugii, mosaik dan mosaik bergaris oleh virus.  Dominasi penyakit-penyakit tersebut berbeda dari waktu ke waktu akibat perubahan sistem tanam, perubahan ekosistem lahan sawah ke lahan tegal dan tadah hujan yang lebih kering, pergantian jenis varietas yang ditanam, serta akibat terjadinya perubahan iklim. Sampai saat ini pengendalian penyakit tebu yang paling efektif adalah penanaman varietas tahan, penggunaan benih yang sehat bebas patogen dan karantina. Saat ini penyakit luka api dan mosaik bergaris merupakan penyakit yang belum bisa diatasi dan cenderung meningkat kejadian dan penyebarannya.  Tulisan ini mengulas perkembangan dan hasil penelitian pengendalian penyakit yang pernah menjadi masalah penting pada periode waktu tertentu karena menurunkan produksi tebu secara nyata sejak tebu dibudidayakan secara komersial di Indonesia serta strategi pengendalian yang harus dilakukan secara terpadu demi kelangsungan perkebunan tebu dalam mendukung industri gula nasional.ABTRACT There were more than 30 diseases have been recorded since sugarcane grown for sugar in Indonesia.  And yet, only few diseases considered as major diaseases since they decreased productivity up to 20% and sugar content significantly.  They were: sereh caused by Phytoplasm, pokkah boeng caused by Fusarium moniliformae, leafscald caused by Xanthomonas albineans, smut caused by Sporisorium scitamineum, ratoon stunting caused by Leifsonia xyli  sub sp  xyli, root and basal stem rot by Xylaria warbugii, mosaic, and streak mosaic caused by virus.  Domination of the diseases was different from time to time due to the change of cropping sytem, change of ecosystem from wetland (sawah) to drier rainfed area, shift of varieties, and also the occurence of climate change.  The most effective controls of sugarcane disease were the use of resistant varieties, healthy seed, and quarantine.  At the moment smut and streak mosaic have not effectively controlled and tend to increase their occurrence and distribution.  the This paper reviews the development of important diseases which have significantly reduced sugarcane production since sugarcane commercially cultivated in Indonesia and integrated disease control strategies to support the sustainability of sugarcane industry.