Titiek Yulianti
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Published : 20 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Perspektif : Review Penelitian Tanaman Industri

STATUS DAN STRATEGI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT UTAMA TEBU DI INDONESIA Status and Control Strategy of Important Sugarcane Diseases In Indonesia Titiek Yulianti
Perspektif Vol 19, No 1 (2020): Juni 2020
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v19n1.2020.01-16

Abstract

Sejak tebu dibudidayakan untuk menghasilkan gula di Indonesia pada tahun 1650, tercatat lebih dari 30 jenis penyakit yang pernah ditemukan.  Namun, hanya beberapa jenis penyakit yang  berpotensi menurunkan produktivitas tebu dan mutu nira bahkan kerugiannya bisa mencapai 20%.  Jenis penyakit tersebut antara lain adalah: penyakit sereh yang disebabkan oleh Phytoplasma, pokkah boeng yang disebabkan oleh Fusarium moniliformae, blendok oleh bakteri Xanthomonas albineans, luka api oleh jamur Sporisorium scitamineum, pembuluh oleh bakteri Leifsonia xyli  sub sp  xyli, lapuk akar dan pangkal batang oleh jamur Xylaria warbugii, mosaik dan mosaik bergaris oleh virus.  Dominasi penyakit-penyakit tersebut berbeda dari waktu ke waktu akibat perubahan sistem tanam, perubahan ekosistem lahan sawah ke lahan tegal dan tadah hujan yang lebih kering, pergantian jenis varietas yang ditanam, serta akibat terjadinya perubahan iklim. Sampai saat ini pengendalian penyakit tebu yang paling efektif adalah penanaman varietas tahan, penggunaan benih yang sehat bebas patogen dan karantina. Saat ini penyakit luka api dan mosaik bergaris merupakan penyakit yang belum bisa diatasi dan cenderung meningkat kejadian dan penyebarannya.  Tulisan ini mengulas perkembangan dan hasil penelitian pengendalian penyakit yang pernah menjadi masalah penting pada periode waktu tertentu karena menurunkan produksi tebu secara nyata sejak tebu dibudidayakan secara komersial di Indonesia serta strategi pengendalian yang harus dilakukan secara terpadu demi kelangsungan perkebunan tebu dalam mendukung industri gula nasional.ABTRACT There were more than 30 diseases have been recorded since sugarcane grown for sugar in Indonesia.  And yet, only few diseases considered as major diaseases since they decreased productivity up to 20% and sugar content significantly.  They were: sereh caused by Phytoplasm, pokkah boeng caused by Fusarium moniliformae, leafscald caused by Xanthomonas albineans, smut caused by Sporisorium scitamineum, ratoon stunting caused by Leifsonia xyli  sub sp  xyli, root and basal stem rot by Xylaria warbugii, mosaic, and streak mosaic caused by virus.  Domination of the diseases was different from time to time due to the change of cropping sytem, change of ecosystem from wetland (sawah) to drier rainfed area, shift of varieties, and also the occurence of climate change.  The most effective controls of sugarcane disease were the use of resistant varieties, healthy seed, and quarantine.  At the moment smut and streak mosaic have not effectively controlled and tend to increase their occurrence and distribution.  the This paper reviews the development of important diseases which have significantly reduced sugarcane production since sugarcane commercially cultivated in Indonesia and integrated disease control strategies to support the sustainability of sugarcane industry.
PERKEMBANGAN PENYAKIT LAPUK AKAR DAN PANGKAL BATANG TEBU (Xylaria warbugii ) DI SUMATERA DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA / The Development of Root and Basal Stem Rots of Sugarcane (Xylaria warbugii) in Sumatera and its Control Strategies Titiek Yulianti
Perspektif Vol 16, No 2 (2017): Desember 2017
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/psp.v16n2.2017.122-133

Abstract

ABSTRAK Di Indonesia, penyakit lapuk akar dan pangkal batangtebu yang disebabkan oleh jamur Xylaria warburgii, baru ditemukan di perkebunan tebu Lampung dan Palembang. Kerugian yang ditimbulkan cukup besar dan penyebarannya semakin luas.  Perubahan alih fungsi lahan dan intensifikasi usaha perkebunan tebu selama tiga dasa warsa menyebabkan degradasi kesuburan tanah, menipisnya bahan organik, dan perubahan dominasi dan komposisi mikroba. Kondisi ini dapat memunculkan penyakit baru, misalnya penyakit lapuk akar dan batang. Gejala penyakit lapuk akar dapat dilihat pada perubahan warna daun yaitu menjadi kekuningan, layu kemudian mengering dan akhirnya tanaman mati.  Di area yang endemik, gejala terlihat lebih jelas sebagai kelompok pertanaman yang kuning dan kering.   Jika tidak ada inang baru, jamur bertahan dalam tunggul tebu lebih dari tujuh bulan sebagai saprofit dan akan kembali menginfeksi akar/pangkal batang tebu jika sudah tersedia. Kemampuannya bertahan hidup menyebab-kan jamur ini sulit dikendalikan. Sampai saat ini pengendalian menggunakan fungisida selain mahal dan berdampak negatif, belum memberikan hasil yang memuaskan, Varietas tebu yang tersedia tidak ada yang tahan.  Mengingat X. warbugii merupakan jamur tular tanah, maka strategi pengendaliannya tidak hanya dengan menangani jamur patogennya saja, tetapi juga harus mengembalikan keseimbangan ekosistem mikro dalam tanah melalui pengelolaan tanah.   Perbaikan pengelolaan tanah dapat dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa komponen pengendalian, seperti pengolahan tanah minimum, solarisasi, penambahan pupuk silikon dan bahan organik termasuk vermikompos yang diperkaya dengan antagonis. Oleh karena itu, perlu upaya penelitian serius untuk menguji efektivitas komponen-komponen tersebut di atas dan kelayakan ekonominya kemudian memadukannya agar memperoleh hasil yang optimum. ABSTRACT In Indonesia, root and basal stem rots of sugarcane caused by Xylaria warburgii is only found in sugarcane plantations in Lampung and Palembang. However, the  disease has expanded gradually and caused significant yield losses. Land conversion and sugarcane plantation intensification for more than three decades have caused  soil degradation, shallow organic matter and a changed of microbial domination and composition. This conditions triggered a new borne disease, such as root and basal stem rots. As e result, the leaves became yellow, wilt, dry and eventually plant death.  In endemic area, the late symptomwas more clearly as yellow and dry spots., the fungus survive more than seven months in the diseased stubble as a saprophyte and would infect root or basal stem later. The capability of the fungus survived in the absence of the hosts made it difficult to control. So far, fungicide was used to control the disease, and yet has not given satisfactory result.  Beside expensive, fungicide was also gave negative impact to the environment.  Meanwhile, resistant varieties for the fungus was not available.  X. warbugii is a soil-borne pathogen, so the control strategy should not only control the fungus, but also repaired the soil microecosystem balance through improving soil management.  The management could be applied by integrating some control components such as minimum tillage, solarization, addition of silicon fertilizer and organic matter including antagonist enriched vermicompost are neaded to control the disease.  Therefore, we need intense studies to test effectiveness of those components and their feasibilty, and then integrate them to gain optimum result.