Amrin Borotan
Unknown Affiliation

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

LI’AN BAGI SUAMI YANG TUNAWICARA (TELA’AH TERHADAP PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH 80 H/699 M – 150H/767 M). Amrin Borotan
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 2, No 2 (2019)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (492.364 KB) | DOI: 10.55403/hukumah.v2i2.148

Abstract

Penelitian Ini ditulis berdasarkan latar belakang pendapat ulama, bahwa menurut jumhur ulama suami yang tunawicara dibolehkan untuk melakukan li’an jika bisa dipahami maksudnya. Namun berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang tidak membolehkan li’an bagi suami yang tunawicara. Dalam penulisan penelitian  ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan mengambil sumber data yang berasal dari kitab-kitab atau sumber lain yang berkenaan dengan pembahasan pada penelitian ini. Sedangkan dalam tehnik analisis data menggunakan metode deskriptif analitis dan metode conten analisis.Hasil penelitian menunjukkan, bahwasanya menurut Imam Abu Hanifah tidak ada li’an bagi suami yang tunawicara. Ini sesuai dengan yang tertulis di dalam salah satu kitabnya yaitu Badā’i al-Shanāi’ dan al-Mabasūth. Imam Abu Hanifah mengatakan syarat-syarat li’an salah satunya adalah harus bisa berbicara. Karena ketika seseorang yang berli’an  itu tunawicara (bisu) maka tidak ada  li’an  dan tidak ada had. Karena Imam Abu Hanifah menggolongkan li’an ke dalam bentuk syahādah (kesaksian), bukan termasuk dalam bentuk  yamīn (sumpah). Sehingga orang yang bisu tidak boleh berli’an karena orang bisu adalah orang yang kesaksiannya tidak dapat diterima atau bukan orang yang ahli bersaksi.Namun penulis kurang setuju dengan pendapat Imam Abu Hanifah, karena pendapat ini secara tidak langsung menyatakan bahwa orang bisu sebagai manusia yang tidak cakap hukum. Padahal ketika merujuk pada konsep mukallaf orang bisu termasuk seorang  mukallaf.  Sehingga dalam dirinya dapat dikenai taklif  hukum dam perbuatan yang dilakukannya dapat menimbulkan akibat hukum. Syarat menjadi seorang mukallaf  adalah mampu memahami dalil pentaklifan dan layak untuk dikenakan taklīf. Kemampuan untuk memahami dalil-dalil taklīf hanyalah dengan kesempurnaan akal, dan kesempurnaan akal diukur dari kedewasaannya. Sehingga ketika orang bisu tersebut ber akal maka tidak ada alasan untuk mendiskreditkan hak-haknya dengan tidak bolehnya ia berli’an.
PEMIKIRAN IMAM ASY-SYAFI’I TENTANG KEHARUSAN ISTERI MENERIMA RUJUK SUAMI (STUDY KITAB AL-UMM) Amrin Borotan
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 3, No 1 (2020)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v3i1.197

Abstract

Islam mensyari'atkan perkawinan bukanlah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai-nilai ibadah. Tetapi kadang-kadang suami istri gagal dalam usahanya untuk mengemudikan rumah tangganya, Sehingga jalan satu�satunya yang mereka tempuh adalah perceraian. Berakhirnya sebuah perkawinan ditinjau dari segi berhaknya suami merujuk istrinya kembali atau tidaknya dibagi menjadi dua : pertama perceraian yang berstatus raj‟i dan yang kedua yang berstatus ba‟in. Imam Asy-Syafi‟i berpendapat dalam kitab al-Umm bahwa isteri tidak punya hak untuk menolak dan tidak punya hak untuk mengganti atas rujuk suaminya karena rujuk adalah hak suami atas isterinya dan rujuk bukan hak isteri atas suaminya. Imam Asy-syafi‟i menggunakan dalil hukum yaitu Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat: 228, Dalam penafsiran Imam Asy-syafi‟i tentang firman Allah “in araaduu islaha” (jika mereka itu menghendaki perdamaian), ia berkata islah talaq (perdamaian dalam talaq) itu adalah rujuk. Maka barang siapa yang menginginkan rujuk maka perempuan itu harus menerimanya.Penulis berpendapat bahwa pendapat Imam Asy-Syafi‟i perlu diperluas karena seiring zaman semakin berkembang maka hukum bisa berubah sesuai kebutuhkan manusia, jika pendapat Imam Asy-Syafi‟i diberlakukan maka tidak ada hak untuk menolak bagi isteri atas ajakan rujuk suami karena perkawinan merupakan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah serta kekal. Maka harus ada hak rujuk bagi isteri. Semua ini diarahkan kepada terciptanya kemaslahatan kedua belah pihak demi tercapainya hakikat dari tujuan perkawinan. Dan hal itu sesuai dengan kondisi Negara Indonesia yang menempatkan wanita sebagai mitar sejajar dalam segala segi kehidupan tanpa harus mengabaikan posisi suami dan meletakkan pada posisi yang sebenarnya. Juga diharapkan dengan tindakan ini hak-hak kaum wanita menjadi lebih terlindungi dan dihormati.
QADHA PUASA TERHADAP ORANG YANG MENINGGAL DUNIA (TELA’AH TERHADAP PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH 80 H– 150 H) Amrin Borotan
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 4, No 2 (2021)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v4i2.288

Abstract

Menurut para ulama apabila seseorang meningggal dunia masih mempunyai kewajiban puasayang belum sempat di qadha sebelum dia wafat, sedangkan dahulunya ada waktu untukmengqadhanya, maka wali berkewajiban untuk mengganti puasa kerabat yang telah wafattersebut. Namun, berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang tidak mewajibkan qadha bagiwali. Dengan demikian dalam penelitian ini penulis menelusuri dan menganalisa bagaimanapendapat Imam Abu Hanifah, alasan Imam Abu Hanifah menolak hadist shaheh dari Aisyah,dan dalil apa yang dipakai dalam pendapat tersebut. Penelitian ini berbentuk penelitiankepustakaan (library research) dengan menggunakan kitab Al- Mabsuth dan kitab Bada’i asShana’i, sebagai rujukan primer, dan buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasanpenulis. Hasil yang temukan dalam penelitian ini adalah Abu Hanifah berpendapat bahwaTidak boleh bagi walinya berpuasa atas nama si mayit, alasan kedua bahwa bagi wali hanyaboleh menggantinya dengan memberi makan untuk satu hari satu orang miskin. Dalil yangdigunakan oleh Imam Abu Hanifah adalah hadis Ibnu Abbas dan Aisyah yang berfatwa untukmemberikan makanan kepada orang miskin atau dengan kata lain membayar kafarat. Jadidalam masalah qadha puasa terhadap orang yang meninggal dunia, Abu Hanifahmenggunakan istinbath hukumnya adalah aqwal al-Sahabah (fatwa sahabat)
STUDI KOMPARATIF PEMIKIRAN IBNU HAZM DAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG ‘AZL SEBAGAI METODE KONTRASEPSI DAN RELEVANSINYA DENGAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA (KB) DI INDONESIA Amrin Borotan
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 3, No 2 (2020)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v3i2.225

Abstract

Dalam pengembangan keturunan, Islam lebih mengutamakan pada masalah kualitas anak. Dan Islam tidak menghendaki keturunan yang lemah dan serba kekurangan baik lemah jasmani maupun rohani, dalam mengatasi masalah ini mungkin ada beberapa cara yang bisa kita lakukan sehingga himpitan ekonomi, pendidikan, yang tidak layak, kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi serta kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Pada masa Rasulullah Saw untuk mengatasi masalah ini hal yang bisa di lakukan adalah dengan cara ‘azl yaitu menumpahkan seperma di luar rahim, sehingga tidak terjadi pembuahan yang akan menjadi janin.  Namun sekarang karena zaman sudah semakin modren maka teknik yang bisa dilakukan juga semakin banyak. Dan salah satu solusi yang dicanangkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah yang di atas adalah dengan menganjurkan program KB (keluarga Berencana), yang selanjutnya disingkat dengan KB. Imam al-Gazali sebagai penganut ajaran madzhab Syafi'i berpendapat bahwa ‘azl diperbolehkan walau tanpa persetujuan istri. Selain mendasarkan argumennya pada hadis Nabi, Imam al-Gazali juga membahas masalah ini terutama dari sudut biologi dan ekonomi. Dan ia menegaskan bahwa 'azl bukan merupakan pembunuhan dan tidak seperti aborsi atau pembunuhan anak, dimana terdapat kejahatan janin. Sedangkan Ibnu Hazm berbeda pendapat dari kebanyakan Ulama'. Ibnu Hazm sebagai penganut ajaran madzhab Zahiri menentang pelaksanaan 'azl secara mutlak.
PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG HAK KEWARISAN ISTRI YANG DITALAK BA’IN OLEH SUAMI YANG SAKIT KERAS Amrin Borotan
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 5, No 1 (2022)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v5i1.331

Abstract

ABSTRAK Talak  merupakan  jalan  keluar  yang  mengakibatkan  putusnya  ikatan antara suami  dan  istri. Meskipun  ini  adalah  jalan keluar yang  dibenci  oleh Allah  akan tetapi  Allah  juga  membolehkannya.  Ini  bisa  diakibatkan  karena ada sesuatu hal yang tidak bisa dipertahankan oleh keduanya, sehingga satu-satunya penyelesaian adalah dengan jalan talak.Dalam  konteks ini, talak yang dibicarakan  adalah talak suami yang sakit keras atau talak  tiga yang dijatuhkan  oleh  orang  yang sedang sakit  keras. Para jumhur ulama menyebutkan  bahwa  talak  semacam  ini  dihukumi  sah  sebagaimana talak yang dijatuhkan oleh orang yang sehat serta memiliki implikasi hukum yang tidak berbeda. Akan  tetapi  menjadi  berbeda  ketika  beberapa  ulama  mengemukakan  ini, yaitu pendapat  mengenai  akibat  yang  ditimbulkan  oleh talak suami yang sakit keras mengenai  berhak  atau  tidaknya si bekas istri pada harta yang ditinggalkan mendiang suami. Ini dikarenakan hukum perkawinan sangat erat sekali dengan hukum kewarisan. Sebagian ulama atau Imam berpendapat bahwa si bekas  istri  berhak  mendapatkan  warisan  dan  sebagian  lagi  menyebutkan bahwa istri  sudah tidak  berhak lagi mendapatkan  warisan.  Pendapat  Imam  Syafi’i,  salah  satu  Imam  Empat  yang masyhur. Beliau berpendapat bahwa alasan istri tidak berhak lagi menerima warisan adalah karena status mereka sudah bukan suami istri lagi dalam  (tiga) sudah tidak memiliki hubungan kata lain, istri yang telah tertalak ba’in lagi dengan mendiang suami tersebut,sehingga mengharamkan dia untuk mendapatkan harta warisan. Adapun  sebab  perbedaan  pendapatnya  ini  dengan  imam-imam lain yang menyebutkan bahwa bekas istri masih berhak mendapat warisan adalah pada metode istinbath yang dipakai oleh nya. Dalam permasalahan ini  beliau  beristinbath  dengan  al  Qur’an,  as  Sunnah, Ijma’ dan  Qiyas  khususnya.  Beliau  tidak  menggunakan  klausul  Sadd  Adz  Dzari’ah sebagaimana  yang  digunakan  oleh  imam-imam  lain.  Pada  Qiyasnya,  beliau menganalogikan  sahnya  talak orang yang sakit sama dengan sahnya talak orang yang sehat sehingga memiliki implikasi hukum yang sama.
HUKUM SEMBELIHAN YANG TIDAK DISEBUTKAN NAMA ALLAH (TELAAH TERHADAP PEMIKIRAN IMAM ASY-SYAFI’I 150 H - 204 H) Amrin Borotan
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 4, No 1 (2021)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v4i1.341

Abstract

Menurut jumhur ulama, menyebutkan nama Allah (tasmiyah) ketika hendak menyembelih hewan adalah wajib. Ibnul Qayyim berkata,”Tidak diragukan lagi bahwa dengan mengucapkan basmallah akan menjadi hewan sembelihan menjadi baik dan menjadikan orang yang menyembelih serta hewan sembelihannya jauh dari setan. Jika hal itu tidak diucapkan, maka setan akan mengerumuni orang yang menyembelih dan hewan sembelihannya. Hal ini akan menjadikan hewan yang disembelih terlihat menjijikan. Nabi Saw. Jika menyembelih hewan beliau mengucapkan basmallah. Ayat al-An‟am 121 menunjukkan bahwa hewan yang tidak disembelih dengan menyebut nama Allah hukumnya haram, jika yang menyembelih adalah seorang muslim.” Akan tetapi menurut Imam Syafi‟i membaca tasmiyah ketika hendak menyembelih hewan adalah Sunnah. Dimana ayat ini menjelaskan bahwa hewan sembelihan yang haram dimakan adalah hewan yang di sembelih disebut selain nama Allah, atau sembelihan bagi berhala. Hasil penelitian ini adalah: Pertama, Imam Syafi‟i tidak mensyaratkan tasmiyah sebagai syarat sahnya sembelihan, al-Syafi‟i memahami surah al-An‟am ayat 121 bukan sebagai perintah untuk tidak memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah padanya. Akan tetapi ayat tersebut dipahami sebagai larangan untuk tidak memakan daging sembelihan yang padanya disebut nama selain Allah, seperti untuk berhala dan lain-lain. Kedua, Menurut Imam Syafi‟i Surah al-An‟am ayat 121 menjelaskan bahwa hewan sembelihan yang haram dimakan adalah hewan yang disembelih disebut selain nama Allah, atau sembelihan bagi berhala. Adapun dalil yang dipakai oleh Imam Syafi‟i adalah bahwasanya Allah membolehkan memakan sembelihan ahlul kitab, Artinya: “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orangorang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka”. Ketiga, Mazhab Asy-Syafi'i tetap memakruhkan orang yang menyembelih hewan bila secara sengaja tidak membaca lafadz basmalah. Tetapi walau pun sengaja tidak dibacakan basmalah, tetap saja dalam pandangan mazhab ini sembelihan itu tetap sah. Jadi penulis sependapat dengan pendapat Imam Syafi‟i dimana ketentuan sah atau tidak sahnya sebuah penyembelihan yang sesuai dengan syariah. Ketentuan lain merupakan adab atau etika yang hanya bersifat anjuran dan tidak memengaruhi kehalalan dan keharaman hewan itu.
KONSEP Al-QAWAMAH DALAM SURAT AN-NISA’ AYAT 34 PERSPEKTIF KEADILAN GENDER (STUDI PEMIKIRAN MUHAMMAD ‘ABDUH 1266- 1323H/1849-1905M) Amrin Borotan
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 5, No 2 (2022)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v5i2.377

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep Muhammad Abduh tentang al- qawwāmahdan implikasinya terhadap kedudukan perempuan dalam hukum Islam. Muhammad Abduhadalah salah seorang tokoh pembaharu hukum Islam yang terkemuka di era modern. Ia jugaterkenal sebagai salah satu mesin penggerak perubahan dan kebangkitan dunia Arab dan Islammodern. Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266 H/1849 M di desa Mahallat Nasr, provinsial-Buḥairah Mesir. Wafat di kota Iskandariyah (Alexandria) pada tanggal 8 Jumādil Ūlā 1322H/11 Juli 1905 M. Penelitian ini adalah penelitian tokoh dan merupakan kajian pemikirandengan pendekatan hukum. Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalahpenelitian kepustakaan (library reseach) dengan cara mengkaji dan menganalisis sumbersumber tertulis seperti buku atau kitab yang berkaitan dengan pembahasan mengenai pemikiranMuhammad `Abduh tentang konsep al-qawwāmah. Metode pengumpulan data dilakukandengan menggunakan metode library research yang mengandalkan atau memakai sumber karyatulis kepustakaan. Karena penelitian ini merupakan studi terhadap karya konsep dari seorangtokoh, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan data pustaka. Adapun metodeanalisis data menggunakan metode deskriptif-analitik dan metode content analysis. Penelitianini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: (1) konsep Muhammad Abduh tentang alqawwāmah berbeda dengan wacana al-qawwamah ulama klasik, (2) menurut MuhammadAbduh, al-qawwāmah (kepemimpinan) tidak mutlak dan yang dipimpin (isteri) berbuat sesuaidengan kehendaknya dan tidak dipaksa pemimpinnya (suami). Suami yang kurang mampusecara fisik (fiṭri) sehingga tidak dapat memberikan nafkah atau kurang mampu secarapendapatan atau materil (kasbi), tidak dapat mempertahankan haknya sebagai pemimpin rumahtangga, (3) konsep al-qawwamah Muhammad Abduh berimplikasi kepada pendapatnya yangmenolak poligami, menyatakan persamaan kedudukan perempuan dengan laki-laki dalamhukum Islam, perempuan memiliki kebebasan memilih calon suami, dan memberikan syaratyang cukup berat dalam masalah perceraian.
STATUS ANAK AKIBAT LI’AN (TELA’AH TERHADAP PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH 80 H/699 M – 150H/767 M). Amrin Borotan
HUKUMAH: Jurnal Hukum Islam Vol 6, No 1 (2023)
Publisher : STAI Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55403/hukumah.v6i1.479

Abstract

Nu‟man bin Tsabit bin Zautha bin Mah atau yang populer dengan sebutan Abu Hanifahseorang ulama besar yang berasal dari Kufah. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H/ 696 M danwafat pada tahun 150 H/ 767 M. Abu Hanifah adalah seorang ulama yang mendahulukanmenggunakan ro’yu dalam memecahkan sebuah masalah. Menurut Imam Abu Hanifah bahwaanak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Menurut AbuHanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibuanak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidakmemiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi)oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan. Adapun metode istinbathukum yang digunakan oleh Abu Hanifah adalah berdasarkan keumuman ayat tentang talak,jika suami saja yang meli‟an tanpa istri, dan atau telah diketahui siapa yang berbohongdiantara suami istri yang berli‟an. Karena li‟an merupakan salah satu bentuk dari perceraian.Tapi jika suami dan istri saling melakukan li‟an, maka merujuk kepada hadits Nabi