Bagas Haryotejo
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Dampak Ekonomi ASEAN China FTA Terhadap Produk Elektronik Indonesia Salam, Aziza R.; Haryotejo, Bagas
JURNAL STANDARDISASI Vol 13, No 3 (2011): Vol. 13(3) 2011
Publisher : Badan Standardisasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ASEAN-China Free Trade Area (AC-FTA) merupakan kerjasama perdagangan bebas antara negara-negaraanggota ASEAN dengan China mengenai penurunan tarif bea masuk dan pajak. Secara otomatis harga barangyang diimpor dari China akan lebih murah karena tidak ada lagi tarif yang menjadi biaya bagi para importir. Dalamrangka menanggulangi banjirnya produk impor China, pemerintah Indonesia menerapkan instrument non-tariffbarrier, dalam hal ini antara lain SNI (Standar Nasional Indonesia). Sampai saat ini, masih ditemukannya kasuskasusyang terkait dengan kualitas produk China yang rendah, khususnya produk elektronik. Berdasarkananalisa, setelah adanya kesepakatan ASEAN-China FTA, produk China yang sering dibeli adalah elektronik(34%), telepon seluler (19%), mainan anak (11,1%), alat rumah tangga non elektronik (9,9%), pakaian/tekstil(9,3%) dan selebihnya tas dan sepatu, alat transportasi, serta komputer dan perlengkapan. Hal ini sesuai denganpandangan bahwa salah satu produk China yang dapat membanjiri pasar dalam negeri dan menggerus industrilokal adalah produk elektronik yang dinilai relatif berdaya saing dengan harga jual yang murah. Untuk beberapaProduk, SNI yang diberlakukan cukup efektif, namun untuk sebagian besar produk elektronik SNI masih belumefektif, hal ini ditunjukan oleh meningkatnya impor setelah diberlakukannya kebijakan SNI. Sedangkan Akibatadanya perjanjian ASEAN-China FTA, penerimaan negara berkurang sebesar 546.146 ribu US$, penerimaannegara terbesar yang hilang adalah dari HS 841451. Dengan adanya penerapan perjanjian ASEAN-China FTA,Indonesia mendapatkan keuntungan kesejahteraan nasional sebesar 98,445 (ribu US$). Berdasarkan hasilsimulasi, baik terhadap Penerimaan negara maupun Kesejahteraan dengan besaran masing-masing (-546.146)ribu US$, dan 98.445 ribu US$, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya Perjanjian Kerjasama ASEAN-China,Indonesia mengalami kerugian ekonomi sebesar 447.701 ribu US$ (revenue + welfare) dari sektor EEE (Electricand Electronic Equipment)
KAJIAN DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN TEPUNG TERIGU BERBASIS SNI Salam, Aziza R Salam; Haryotejo, Bagas; Mahatama, Erizal; Fakhrudin, Umar
JURNAL STANDARDISASI Vol 14, No 2 (2012): Vol. 14(2) 2012
Publisher : Badan Standardisasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

yang berbeda atas impor gandum dan impor tepung terigu dimana untuk gandum sebesar 0% dan untuk tepung terigu sebesar 5%. Perbedaan ini untuk mendorong berkembangnya industri tepung terigu dalam negeri yang dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakat. Selain itu, untuk mencegah masuknya tepung terigu impor yang bermutu rendah dengan harga yang lebih murah serta demi melindungi konsumen dalam negeri, pemerintah Indonesia juga telah mengadopsi SNI tepung terigu dalam Peraturan Teknis. Seiring dengan berjalannya waktu serta kondisi perekonomian dunia yang semakin dinamis, memungkinkan masuknya tepung terigu impor dari luar dengan harga yang lebih murah dan mutu rendah. Hal tersebut menuntut perlu adanya evaluasi peraturan pemerintah yang dapat melindungi industri dan konsumen Indonesia. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur pasar tepung terigu Indonesia; mengetahui dampak perubahan besaran tarif bea masuk atas impor gandum dan tepung terigu; serta mengetahui kebijakan penerapan SNI wajib komoditi tepung terigu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis struktur pasar tepung terigu dan , analisis deskriptif untuk mengetahui dampak perubahan besaran tarif bea masuk atas impor gandum dan tepung terigu dan untuk mengevaluasi kebijakan penerapan SNI wajib untuk tepung terigu. Dari hasil kajian terlihat bahwa struktur pasar tepung terigu bersifat oligopoli. Disamping itu, dampak perubahan besaran tarif bea masuk atas impor tepung terigu tidak signifikan terhadap kenaikan harga rata – rata tepung terigu domestik. Adapun, untuk SNI perlu diberlakukan SNI wajib agar konsumen mendapatkan mutu tepung terigu yang baik.
Analisis Iklim Investasi Daerah (Studi Kasus: Kota Semarang) Haryotejo, Bagas
Jurnal Bina Praja: Journal of Home Affairs Governance Vol 4 No 1 (2012): Maret
Publisher : Research and Development Agency Ministry of Home Affairs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21787/jbp.04.2012.01-10

Abstract

AbstrakIklim investasi suatu negara atau suatu daerah mencerminkan kinerja kebijakan pemerintah dan peraturan dalam mengendalikan baik konsep dan tingkat operasional. Secara umum, saat ini iklim investasi di Indonesia tidak dalam kondisi memuaskan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan indikator kemajuan atau kondusifitas iklim investasi di Semarang, Jawa Tengah. Sedangkan tujuan khusus adalah, survei pada indikator iklim investasi berbagai kunci secara rinci, baik dari segi peraturan dan pelaksanaannya yang dapat diukur, dianalisis dan disajikan secara transparan dan lebih mudah untuk melakukan antisipasi kebijakan. Metode penelitian yang digunakan adalah survei mengenai aspek bisnis (mikro) dengan Daerah Jawa Tengah sebagai daerah studi. Untuk analisa, sedang mempertimbangkan berbagai aspek makro yang mendasarinya. Hasil pembobotan iklim investasi, untuk melihat tingkat kepentingan atau skala prioritas diperoleh, lima indikator prioritas dinilai dampak/efek luas pada iklim industri, yaitu: 1) lisensi indikator (0,146); 2) keamanan kondisi (0,146); 3) kondisi lingkungan bisnis (0,127); 4) layanan infrastruktur publik (0.114) dan hukum tenaga kerja; 5) (0,102). Sementara indikator dianggap berpengaruh adalah akses ke pembiayaan korporasi (dengan nilai bobot 0,059). Hasil penilaian iklim investasi di Semarang dengan menggunakan 10 indikator tertimbang menunjukkan bahwa Semarang telah dihargai 3,058 dan dikategorikan sebagai cukup kondusif. Tiga indikator yang memberikan kontribusi terbesar adalah keamanan kondisi (3,441), pelayanan infrastruktur publik (3,030), dan akses pembiayaan (2,923), sedangkan tiga indikator yang memiliki nilai terendah adalah pajak (2,631), kondisi lingkungan bisnis (2,742), dan kondisi jalan (2,864). Implikasi kebijakan adalah bahwa kemungkinan perbaikan iklim investasi, iklim investasi masih sangat diperlukan untuk meningkatkan, setidaknya dengan meningkatkan kinerja berbagai indikator yang disebutkan sebelumnya.AbstractInvestment climate of a country or a region reflects the performance of the relevant government policies and regulations in controlling both concept and operational level. In general, currently the investment climate in Indonesia is not in a satisfactory condition. The main objective of this research is to develop indicators of progress conduciveness or the investment climate in Semarang, Central Java. While the specific aim are, survey on various key investment climate indicator in detail, both in terms of regulation and its implementation that can be measured, analyzed and presented in a transparent and easier to do anticipate policy. Research method used, was a survey on the business aspects (micro) with the Region of Central Java as a study area. For the analysis, was considering various aspects of the underlying macro. The result of weighting the investment climate, to see the degree of importance or priority scale obtained, five priority indicators are assessed an impact / pervasive effect on the industry climate, namely: 1) licensing indicator (0.146); 2) the security conditions (0.146); 3) business environment conditions (0.127); 4) public infrastructure services (0.114); and 5) labor laws (0.102). While the indicator is considered to be no effect is access to corporate financing (with weight value 0.059). The result of the assessment of investment climate in Semarang by using 10 weighted indicators shows that Semarang, had valued 3.058 and categorized as quite conducive. Three indicators that provide the largest contribution are security condition (3.441), public infrastructure services (3.030), and financing access (2.923), while the three indicators that have the lowest value is taxation (2.631), business environment conditions (2.742), and road condition (2.864). Policy implication is that the chances of improving the investment climate, the investment climate still very necessary to improve, at least by improving the performance of various indicators mentioned earlier.
Dampak Ekspansi Hypermarket terhadap Pasar Tradisional di Daerah Haryotejo, Bagas
Jurnal Bina Praja: Journal of Home Affairs Governance Vol 6 No 3 (2014): September
Publisher : Research and Development Agency Ministry of Home Affairs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21787/jbp.06.2014.241-248

Abstract

AbstrakTujuan kajian ini adalah untuk melihat i) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen berbelanja di hypermarket dan pasar tradisional; (ii) melihat dampak keberadaan hypermarket di Indonesia terhadap jumlah pedagang, jam buka, jumlah pembeli, omzet pedagang di pasar tradisional, dan terhadap pasar tradisional itu sendiri; (iii) melihat dampak ekonomi hypermarket terhadap pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, konsumen dan pendapatan negara; (iv) merumuskan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan kinerja pasar tradisional dan pengaturan pendirian hypermarket. Analisis data sekunder menunjukkan bahwa setiap tambahan jumlah pasar modern belum bersifat menurunkan jumlah pasar tradisional (toko atau warung). Hal ini menunjukkan bahwa pasar modern dan pasar tradisional sama-sama berkembang dan bersifat "complementary" satu sama lainnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa kontribusi terhadap PDRB non migas lebih besar pasar tradisional (toko atau warung) dibandingkan pasar modern. Namun, kondisi yang sebaliknya terjadi, bahwa pasar modern (supermarket) di wilayah propinsi, dalam hal ini perkotaan, mempunyai kontribusi yang lebih besar terhadap penerimaan APBD dibandingkan dengan wilayah kota/kabupaten. Sebaliknya, pasar tradisional mempunyai keunggulan non ekonomi dari sudut pandang kepentingan ekonomi makro, yaitu penyediaan pilihan kesempatan usaha, penyediaan lapangan kerja, dan kontribusi output, meskipun pilihan-pilihan tersebut dapat berbenturan dengan kepentingan-kepentingan pemda untuk meningkatkan perolehan PAD. AbstractThe aim of this research are i) identify the factors that influence consumers willingness; (ii) the impact of hypermarkets in Indonesia to number of traders, opening hours, number of buyers, turnover traders in traditional markets, and the traditional market itself; (iii) economic impact of hypermarkets on economic growth, employment, consumer and government revenues; (iv) formulating policy recommendations to improve the performance of traditional markets and setting the establishment of hypermarkets. Secondary data analysis showed that every additional amount of modern markets (supermarkets) not decrease the number of traditional markets (shops or stalls). This shows that modern markets and traditional markets are both growing and is "complementary" to each other. The study results indicates that the contribution to non-oil GDP of traditional markets (shops or stalls) larger than the modern market (supermarket). However, the opposite condition occurs, the modern market (supermarkets) in the province, has a greater contribution to revenues, compared to the municipal / district. In contrast, non-traditional markets have economic advantages from the standpoint of macro-economic interests, such as the provision of choice of business opportunities, employment and output contribution, although those options may cause conflict with the interests of local governments to raise the revenue.
Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) di Daerah Haryotejo, Bagas
Jurnal Bina Praja: Journal of Home Affairs Governance Vol 5 No 2 (2013): Juni
Publisher : Research and Development Agency Ministry of Home Affairs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21787/jbp.05.2013.91-100

Abstract

AbstrakAkses terhadap sumber pembiayaan tunai yang liquid sangat penting guna kesinambungan kegiatan produksi petani, sehingga adanya kendala dalam mengakses pembiayaan pada akhirnya akan menghambat produksi, produktifitas dan pengelolaan pemasaran produk pertanian. Sistem Resi Gudang (SRG) dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah, dimana SRG dapat dijadikan sebagai agunan bank, untuk memperpanjang masa penjualan hasil produksi petani, mewujudkan pasar fisik dan pasar berjangka yang lebih kompetitif, mengurangi peran pemerintah dalam stabilisasi harga komoditi, dan memberi kepastian nilai minimum dari komoditi yang diagunkan.Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pilot project SRG di daerah yang menerapkan SRG; dan merumuskan usulan kebijakan dan petunjuk teknis untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan SRG. Prinsip metode analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan standard error sebesar 5 % dengan menggunakan software SPSS, untuk melihat korelasi faktor. Berdasarkan analisis terdapat hubungan antar faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pilot project SRG yaitu factor Koordinasi antar Bank, dimana Gudang dan Koperasi sejauh ini tidak berjalan dengan baik, hal ini disebabkan tidak adanya unsur kepercayaan dari pihak Bank sebagai institusi pembiayaan  Faktor berikutnya adalah Hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Koperasi, dimana saat ini sudah berjalan dengan baik, akan tetapi hubungan dengan perbankan dan para pengelola gudang belum berjalan dengan baik. Faktor lainnya yang mempengaruhi penerapan pilot project SRG adalah, faktor Produksi dan faktor Kredit Likuiditas. AbstractAccess to financing sources is very important for the sustainability of the production activities of farmers, the constraints in accessing financing will ultimately impede the production, productivity and management of the marketing of agricultural products. Warehouse Receipt System (SRG) could be an alternative way to overcome the problem, which can be used as collateral, to extend the sale of production of farmers, realizing the physical market and futures markets more competitive, reducing the governments role in the stabilization of commodity prices, and give certainty minimum of commodity collateral. The main objective of this study was to examine therelationship of the factors that affects the implementation of the pilot project, and formulate policy proposals and technical guidance to enhance the effectiveness of SRG implementation. The principle of the analysis method which used is use the standard error of 5% with SPSS software, and to see the correlation factor. Based on the analysis of relationship exists between the factors that affect the implementation of the pilot project are Bank Coordination, where storage and cooperative is not running well, this is due to the absence of the element of trust from the bank as a financial institution. The next factor is the relationship between the Local GovernmentCooperative, where its been going well, but the relationship with the banks and the managers of the warehouse is in the contrary. Another factor affecting the implementation of the SRG pilot project are production factors and factors Credit Liquidity.