Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

SIYASAH SYAR’IYYAH MENURUT SYI’AH ITSNA ‘ASYRIYYAH Firman Surya Putra
Jurnal EL-RIYASAH Vol 9, No 1 (2018): Administrasi Pembangunan Masyarakat
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/jel.v9i1.6837

Abstract

ABSTRAKTulisan ini didsarkan kepada perbedaan yang sangat mendasar dalam hal siyasah atau politik antara Islam Sunni dan Syi’ah Itsna ‘Asyriyah. Menurut pandangan Islam keetika seseorang memahami dengan baik bahwa dasar aturan siyasah syar’iyah berdiri di atas pemahaman terhadap tauhid Allah SWT, risalah kenabian dan khilafah yang bermakna wakil dalam menjalankan aturan Allah SWT, maka akan terwujud tujuan yang sesuai dengan keinginan Allah SWT.Syi’ah Itsna ‘Asyriyah atau al-Syi’ah al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyriyah adalah kelompok yang berpegang teguh dan berpendapat, bahwa Ali R.A lebih berhak memimpin dari pada Abu Bakar Assidiq, Umar Bin Khathab dan Utsman Bin ‘Affan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Mereka menamakan diri mereka dengan Itsna ‘Asyriyah karena mereka meyakini keberadaan Imam Muntazdhar yang berjumlah 12 orang imam dan mempunyai garis keturunan dengan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib R.A, dan istilah ini lahir setelah wafatnya Hasan al-‘Askari tahun 260 H.Dari tulisan ini dihasilkan bahwa : Menurut aqidah Syi’ah Itsna ‘Asyriyah, manusia tidak bisa menentukan pilihan terhadap imam, tapi seperti yang kita ketahui imamah ditentukan dan terwujud dengan nash dari Allah SWT, baik melalui lisan Nabi atau para imam sebelumnya. Imamah adalah dasar dari agama, orang yang tidak beriman kepada adanya imamah adalah orang yang tidak sempurna keimanannya. Imamah adalah perpanjangan tangan dari nubuwwah (kenabian), maka gambaran seorang imam seperti seorang nabi yang ma’sum, semua yang diperintahkan dan ia larang harus ditaati karena ia menyampaikan pesan tuhan. Selain sebagai seorang pemimpin umat imam juga diyakini menjadi rujukan dalam permasalahan agama. Karena mereka meyakini pengetahuan Rasulullah SAW berpindah dari Ali R.A sampai ke para imam setelahnya dengan cara yang gaib dan tidak bisa diketahui sama sekali. Imam pada gambaran kelompok Syi’ah Itsna ‘Asyriyah atau Imamiyah tidak hanya diyakini berpengetahuan tentang pemerintahan bahkan harus mengetahui hukum syariat. Kata Kunci : Siyasah Syar’iyah, Syi’ah Itsna ‘Asyriyah
Tathbiq Maslahah Menurut Ibn Daqiq Al-‘Id (625-702 H), dalam Bab Munakahat, (Studi terhadap Kitab Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘Umdah Al-Ahkam) Firman Surya Putra
Jurnal An-Nahl Vol. 8 No. 1 (2021): An-Nahl
Publisher : STAI H.M Lukman Edy pekanbaru

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54576/annahl.v8i1.27

Abstract

Tulisan ini membahas tentang mashlahah yang pada zahirnya merupakan ushul atau dalil yang dipertentangkan. Tetapi pada hakikatnya mashlahah secara langsung ataupun tidak langsung telah diterapkan dalam syari’at Islam. Dan jika diperhatikan secara seksama maka dari setiap syari’at yang Allah SWT tetapkan ada mashlahah untuk manusia, baik Allah SWT taklifkan dalam keadaan normal (tidak ada udzur syar’i) atau dalam keadaan darurat. Imam Ibn Daqiq al-‘Id (625-702 H), diakui para ulama sebagai mujtahid mustaqil (indefenden), kendatipun menguasai dua mazhab, mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i. Namun dalam berijtihad selalu mempunyai pendapat dan sisi pandang tersendiri dan tidak muqallid terhadap dua mazhab yang beliau kuasai, terutama dalam kitabnya Ihkam al-Ahkam Syarh ‘Umdatu al-Ahkam. Lalu bagaimana perhatian beliau terhadap mashlahah terutama pada bab Munakahat, apakah mengenyampingkan mashlahah atau sebaliknya? Untuk menjawab permasalahan di atas, dipergunakan penelitian kepustakaan, dengan mengumpulkan data primer (kitab Ihkam al-Ahkam Syarh ‘Umdatu al-Ahkam) dan data skunder. Peniliti mencoba menggambarkan pendapat-pendapat Ibnu Daqiq al-’Id dan pendapat ulama lain pada satu fokus permasalahan, kemudian menganalisa pendapat-pendapat tersebut..Penulis melihat Ibn Daqiq dalam berijtihad selalu memperhatikan sisi mashlahah yang disesuaikan dengan Qasd al-Syari’mashlahah yang diterapkan Imam Ibn Daqiq tidak terlepas dari keadaan yang beliau jalani semasa hidupnya dari berbagai permasalahan yang dialami masyarakat saat itu, mulai dari segi sosial, ekonomi, politik dan yang lainnya. Perhatian terhadap mashlahah suatu keniscayaan dan relevan dengan zaman dengan catatan tanpa mengedepankan hawa nafsu, karena permasalahan selalu terjadi dengan bersifat baharu terutama dalam bab Munakahat.
Urgensi dan Kedudukan Shodaq (Mahar) dalam Pernikahan Firman Surya Putra
Jurnal An-Nahl Vol. 8 No. 2 (2021): An-Nahl
Publisher : STAI H.M Lukman Edy pekanbaru

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54576/annahl.v8i2.33

Abstract

Tulisan ini terfokus dalam pembahasan tentang mahar (Shodaq) yang akarnya adalah adat kebiasaan masyarakat jahiliyah ketika mereka ingin melakukan pernikahan sebelum Allah SWT turunkan syari’at Islam melalui Rasulullah SAW. Ajaran Islam yang tidak bertentangan dengan akal sehat, sehingga ada beberapa ‘urf masyarakat jahiliyah dahulunya yang masih dipertahankan Islam, bahkan disyari’at Allah SWT. karena masuk dalam ‘urf yang sholih. Pada hakikatnya mahar (shodaq) adalah bentuk dari kejujuran dan keseriusan pria dalam menikahi seorang wanita untuk membangun keluarga yang diinginkan oleh syari’at. Tetapi pada kenyataannya banyak permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat yang terkait dengan mahar. Mulai dari bentuk mahar, takaran terendah dan tertinggi dari mahar, tidak menyebutkan mahar dalam ijab Kabul, sampai pada tahap penyamaan mahar dengan jihaz pernikahan. Sehingga timbul pertanyaan bagaimana urgensi mahar (shodaq) dan kedudukannya dalam pernikahan? Apakah penyebutan mahar diwajibkan dalam ijab Kabul? Bagaimana takaran mahar yang sebenarnya? Untuk menjawab permasalahan di atas, dipergunakan model penelitian deskriptif, dengan mengambarkan keadaan atau gejala yang terjadi kemudian menentkan hubungannya dalam masyarakat, lalu memberi penekanan dari konsep-konsep yang relevan. Penulis mencoba menggambarkan pendapat-pendapat para ulama pada satu fokus permasalahan, kemudian menganalisa pendapat-pendapat tersebut..Penulis melihat mahar (shodaq) merupakan kewajiban pria yang menikahi wanita, dan mahar adalah hak utuh wanita yang harus ditunaikan. Pembayaran mahar, secara mutlak bukan penganti dari jima’, ia merupakan gambaran dari ketulusan niat ingin menikah yang dimiliki oleh seorang pria, juga merupakan penghormatan kemuliaan yang dimiliki seorang wanita dalam Islam. Penetapan nilai mahar tidak ada secara mutlak dalam syariat Islam. Hadits-hadits Rasulullah SAW menggambarkan bermacam-macam ukuran dari mahar yang pernah ditunaikan, Bahkan dari surat al-Qashash ayat 27-28 nabi Syu’aib A.S menjadikan Musa A.S pekerja selama 8 tahun sebagai mahar pernikahan putri beliau dengan Musa A.S.
Urgensi Hukum Islam pada Masa Kenabian Firman Surya Putra
Jurnal An-Nahl Vol. 10 No. 1 (2023): An-Nahl
Publisher : Institut Agama Islam Lukman Edy pekanbaru

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54576/annahl.v10i1.73

Abstract

Tulisan ini membahas tentang urgensi hukum Islam yang diawali dengan pemaparan keadaan arab sebelum kenabian, kemudian menitikfokuskan masa kenabian Rasulullah SAW. Walaupun keberadaan Nabi saat itu mungkin dianggap sudah cukup, tapi bisa dipastikan sudah muncul banyak permasalahan di tengah masyarakat arab dan ini membutuhkan aturan agar kehidupan saat itu berjalan sesuai kehendak Syari’ Allah SWT. Aturan tersebut tentunya langsung beasal dari Allah SWT, kemudian disampaikan Nabi Muhammad SAW melalui al-Qur’an dan Hadits. Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui fenomena bangsa arab dimulai masa jahiliyah sampai masa kenabian, serta urgensi hukum Islam pada masa kenabian. Dalam pembahasan ini dipergunakan jenis penelitian kepustakaan, dengan menggunakan metode deskriptif terhadap fenomena yang digambarkan para ulama tentang kondisi masyarakat arab sebelum kenabian dan setelah kenabian. Adapun keadaan yang bisa ditemukan, bahwa masyarakat arab tetap mempunyai aturan dalam kehidupan mereka, kendatipun demikian ada adat atau kebiasaan yang berlaku yang musti diluruskan dengan aturan Allah SWT, disamping itu ada yang dipertahankan karena tidak menyalahi aturan Allah SWT. Kesimpulan dari pembahasan ini menyatakan bahwa fenomena masyarakat arab khususnya pada pra kenabian sangat banyak yang lari dari aturan Allah SWT, hukum Islam adalah satu-satunya solusi yang bisa meluruskan apa yang sudah berlaku saat itu. Sehingga segala sesuatu bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan Syari’ Allah SWT dan bukan sesuai dengan kehendak hawa nafsu individu atau golongan tertentu saja.
Alternative Legal Strategies and Ninik Mamak Authority: Dual Administration of Malay Marriage in Koto Kampar Hulu, Riau Mustafid Mustafid; Kemas Muhammad Gemilang; Firman Surya Putra; Azzuhri Al Bajuri; Mawardi Mawardi
Journal of Islamic Law Vol 5 No 1 (2024): Journal of Islamic Law
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24260/jil.v5i1.1972

Abstract

The regulation of marriage registration in several Muslim countries tends to emphasize administrative aspects rather than substantive ones. For the Malay customary community in Koto Kampar Hulu, Riau, Indonesia, their obligations are not only limited to fulfilling marriage administration under state law but also involve obtaining permission from ninik mamak (traditional leader). Therefore, this article aims to analyze marriage administration in the context of customary law and state law within the Malay customary community, as well as to reveal alternative legal strategies they employ to circumvent traditional marriage administration. Field research was conducted through interviews with 16 key informants and direct observation of the completeness of marriage administration. The results show that the Malay customary community must navigate dual marriage administrations—customary law and state law—to obtain the legality of marriage before the state. Permission from ninik mamak serves as the basis for acquiring documents from the village head, fulfilling the administrative requirements for marriage registration at the local religious affairs office. The authority of ninik mamak in granting marriage permission aims to resolve conflicts and customary obligations before marriage while preserving the identity and traditions of the customary community. For those who disregard customary administration, they adopt alternative legal strategies such as unregistered marriages (nikah sirri) or relocating to another village. The alignment between customary law and state law is reflected in this study, particularly in the context of marriage registration. [Regulasi pencatatan perkawinan di beberapa negara Muslim cenderung menekankan aspek administratif daripada substansial. Bagi komunitas Adat Melayu di Koto Kampar Hulu, Riau, Indonesia, kewajiban mereka tidak hanya terbatas pada pemenuhan administrasi perkawinan dalam hukum negara, tetapi juga melibatkan proses mendapatkan izin dari ninik mamak (tokoh adat). Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menganalisis administrasi perkawinan dalam konteks hukum adat dan hukum negara di kalangan komunitas Adat Melayu, serta mengungkap strategi hukum alternatif yang mereka terapkan untuk mengelabui administrasi perkawinan adat. Penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan 16 informan kunci dan observasi langsung terhadap kelengkapan administrasi perkawinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas Adat Melayu harus mengatasi administrasi perkawinan ganda, yaitu hukum adat dan hukum negara, guna mendapatkan legalitas perkawinan di hadapan negara. Izin dari ninik mamak menjadi dasar untuk memperoleh dokumen-dokumen dari kepala desa, persyaratan administratif untuk pencatatan perkawinan di kantor urusan agama setempat. Otoritas ninik mamak dalam pemberian izin perkawinan bertujuan untuk menyelesaikan konflik dan tanggungan adat sebelum perkawinan, sambil melestarikan identitas dan tradisi masyarakat adat. Bagi masyarakat yang mengabaikan administrasi adat, mereka mengadopsi strategi hukum alternatif seperti perkawinan siri atau pindah domisili ke desa lain. Keselarasan antara hukum adat dan hukum negara tercermin dalam studi ini, khususnya dalam konteks pencatatan perkawinan.]