Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Jurnal Masyarakat dan Budaya

Dari Fanatisme Ke Ekstremisme: Ilusi, Kecemasan, Dan Tindakan Kekerasan Nurish, Amanah
Jurnal Masyarakat dan Budaya Vol. 21 No. 1 (2019)
Publisher : P2KK LIPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.552 KB) | DOI: 10.14203/jmb.v21i1.829

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan hasil observasi tentang bagaimana menjamurnya sekaligus suburnya gerakan radikalisme di Indonesia yang berujung pada tindakan kekerasan, baik kekerasan simbolik maupun kekerasan fisik. Sulit dipungkiri bahwasanya eskalasi tindakan ekstremisme bermula dari fenomena keagamaan yang berkembang dalam masyarakat melalui doktrin-doktrin keagamaan yang berimplikasi pada watak fanatisme. Bagaimana sikap fanatisme itu bermula? Setidaknya ada dua gerbang sebagai arena yang sangat memungkinkan individu atau kelompok masyarakat sangat mungkin terjangkit ?penyakit fanatisme keagamaan?. Pertama, gerbang pendidikan yang di mana peran guru termasuk penceramah agama sekaligus kurikulum keagamaan turut memainkan peran signifikan di dalamnya. Kedua, melalui gerbang media di mana teks-teks berbau ?demagog? atau hasutan termasuk ujaran kebencian antar umat beragama yang saling bergulir kemudian menjadi konsumsi sehari-hari. Maka dari itu intisari dari tulisan ini ingin menjelaskan bagaimana sikap fanatisme keagamaan masyarakat di Indonesia memiliki dampak cukup serius yang berujung pada menjamurnya gerakan-gerakan ekstremisme dan hal ini mengakibatkan tindakan kekerasan atas nama agama, termasuk aksi bom bunuh diri.   
Dari Fanatisme Ke Ekstremisme: Ilusi, Kecemasan, Dan Tindakan Kekerasan Amanah Nurish
Jurnal Masyarakat dan Budaya Vol. 21 No. 1 (2019)
Publisher : LIPI Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14203/jmb.v21i1.829

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan hasil observasi tentang bagaimana menjamurnya sekaligus suburnya gerakan radikalisme di Indonesia yang berujung pada tindakan kekerasan, baik kekerasan simbolik maupun kekerasan fisik. Sulit dipungkiri bahwasanya eskalasi tindakan ekstremisme bermula dari fenomena keagamaan yang berkembang dalam masyarakat melalui doktrin-doktrin keagamaan yang berimplikasi pada watak fanatisme. Bagaimana sikap fanatisme itu bermula? Setidaknya ada dua gerbang sebagai arena yang sangat memungkinkan individu atau kelompok masyarakat sangat mungkin terjangkit “penyakit fanatisme keagamaan”. Pertama, gerbang pendidikan yang di mana peran guru termasuk penceramah agama sekaligus kurikulum keagamaan turut memainkan peran signifikan di dalamnya. Kedua, melalui gerbang media di mana teks-teks berbau “demagog” atau hasutan termasuk ujaran kebencian antar umat beragama yang saling bergulir kemudian menjadi konsumsi sehari-hari. Maka dari itu intisari dari tulisan ini ingin menjelaskan bagaimana sikap fanatisme keagamaan masyarakat di Indonesia memiliki dampak cukup serius yang berujung pada menjamurnya gerakan-gerakan ekstremisme dan hal ini mengakibatkan tindakan kekerasan atas nama agama, termasuk aksi bom bunuh diri.   
Resiliensi Komunitas Agama Baha’i Di Masa Pandemi: Perspektif Antropologi Amanah Nurish
Jurnal Masyarakat dan Budaya Vol. 23 No. 1 (2021)
Publisher : LIPI Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14203/jmb.v23i1.1270

Abstract

This research paper aims to explore the Indonesian Baha’is community and its conceptual discourse on resilience and social solidarity in religious actions during global pandemic of covid-19. Although the Baha’i faith is not registered as an official religion in Indonesia like Islam, Christianity, Buddhism, Hinduism, etc., the Baha’is community and its religious as well as social movement during covid-19 is interesting to analyze. As a new world religion promoting the principle and the moral value on unity in diversity, Baha’is community in Indonesia started to organize digital activism to build solidarity among interfaith and religious minority groups like penghayat kepercayaan. Religion and solidarity in this context refer to a Germany sociologist, Emile Durkheim (1858-1917), on his functionalism perspective stating that religion must have social function and solidarity. Durkheim demonstrated the function of religion can be understood as collective action as moral value in our society. Religion not only has a meaning but also a function, which is collectively built by society, based on collective consciousness. By digital ethnographic approach, this research paper tries to examine how the Baha’is community and other minority groups in Indonesia cope the global pandemic of covid-19 while activities have moved to virtual and digital space. It is also interesting to perceive how resilience of the Baha’is community in existing religious dakwah throughout digital activism. The Baha'is community has shown resilience by not only protecting their own groups, but also for the larger community by distributing assistance and fostering social cohesion regardless of ethnicity, language, race, or religion on the basis of humanity.