The research departs from the widespread phenomenon of ḥadīth posting on WhatsApp on the reading Qs. al-Kahf every Friday (narrated by al-Nasā’i, al-Dārimī, al-Bayhaqī, and others). This posting activity regularly runs every Thursday night. Two primary questions addressed are: first, on the validity of the ḥadīth; and second, on how does the posting activity explain a phenomenon of digital piety. By using a multidisciplinary approach of ḥadīth, virtual ethnography and hermeneutics, this study argues that there is no agreement among scholars regarding the ḥadīth validity, whether it is the saying of prophet or the companions (mawqūf), and whether reading the Qs. al-Kahf is recommended or not. The phenomenon of ḥadīth posting also describes a contemporary religious formation and social media development, especially among the millennial generation of Malang. The activity of posting the ḥadīth on their WhatsApp status becomes concrete evidence on how religiosity experiences the process of virtualization. This phenomenon signifies a new bonding space for digital piety, which is used to be found in offline sphere. Penelitian ini berangkat dari sebuah fenomena maraknya aktivitas posting status hadis di media sosial WhatsApp tentang keutamaan membaca Qs. al-Kahf pada setiap Jumat (hadis riwayat al-Nasā’i, al-Dārimī, al-Bayhaqī dan lain-lain). Aktivitas posting ini, berjalan secara rutin setiap menjelang malam Jumat. Terdapat dua persoalan utama yang dikaji dalam tulisan ini, pertama: tentang keabsahan dan autentisitas hadis tersebut; kedua, tentang bagaimana aktivitas posting hadis tersebut menjelaskan fenomena kesalehan digital. Dengan menggunakan pendekatan multidisiplin, yaitu ilmu hadis, etnografi virtual dan hermeneutika, penelitian ini menemukan bahwa pada dasarnya tidak ada kata sepakat di kalangan ulama terkait hadis tersebut, baik terkait statusnya apakah sampai kepada Nabi atau hanya pendapat sahabat (mawqūf), termasuk pula dalam memahami kesunahannya. Selain itu, fenomena posting hadis dalam tema ini pada dasarnya menggambarkan pola keberagamaan kontemporer yang beriringan dengan perkembangan media sosial, terutama di kalangan generasi milenial kota Malang. Aktivitas posting status hadis ini pada akun WhatsApp menjadi bukti konkrit bagaimana religiusitas mulai mengalami fase virtualisasi. Implikasi dari fenomena ini adalah terciptanya ruang ikatan baru kesalehan digital seperti biasa dijumpai pada ruang offline.