Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Jurnal Komunikasi

Problem Struktural dalam Praktek Peran Manajerial Public Relations: Kasus Indonesia Narayana Mahendra Prastya
Jurnal Komunikasi Vol 8, No 2 (2016): Jurnal Komunikasi
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jk.v8i2.62

Abstract

Praktek ideal Public Relations (PR) adalah ketika PR dapat melakukan peran-peran manajerial. PR baru disebut profesional ketika mereka telah melakukan peran-peran manajerial PR. Di Indonesia, praktek ideal ini masih sulit untuk dicapai. Minimnya pemahaman organisasi mengenai peran PR, kurangnya pengetahuan praktisi PR mengenai peran manajerial, dan materi pendidikan PR di Indonesia yang terlalu didominasi materi teknis PR merupakan penyebabnya. Apabila dirangkum, praktek peran manajerial PR di Indonesia terkendala problem struktural. Guna mengatasi persoalan tersebut memerlukan infrastruktur yang baik, dalam konteks ini adalah materi pendidikan PR di Indonesia. Untuk itu, peran praktisi PR, organisasi, dan pemerintah diperlukan guna mendukung terwujudnya peran manajerial bagi PR di Indonesia.  The ideal role for Public Relations is managerial role. The indicator for professional Public Relations is when they do the managerial role. In Indonesia, Public Relations find difficulties to do public relations managerial role. The lack of knowledge about public relations role --both in organization and public relations practitioner itself-- is the main factor.  In addition, the public relations education in Indonesia is dominated by technical skill. In the other word, public relations practice in Indonesia faces the structural problems. To solve this problem, Indonesia needs a good infrastructure related to the public relations -- in this context is the body of knowledge for PR education. To build a good infrastructure, it requires the support from Public Relations Practitioners, organization or corporation, and government. 
Kendala Struktural dan Kultural Praktek Keterbukaan Informasi Publik di Badan Publik Non-Pemerintah : Studi Kasus PSSI NARAYANA MAHENDRA PRASTYA
Jurnal Komunikasi Vol 9, No 2 (2017): Jurnal Komunikasi
Publisher : Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jk.v9i2.170

Abstract

This article discuss about case study on how Indonesian Football Association (Indonesian FA) give their respond to do the Public Information Disclosure. Indonesian FA than express their objection to the demand. Indonesian FA choose as the object in this case, as a representative of non-governmental public organization. This article use Indonesian FA statement related to the Public Information Disclosure, that posted on official website www.pssi.org. Then I use frame analysis Robert N.Entman model as a analytical tool to the statement. The results show that there are two factors that cause Indonesian FA objection. First is structural factor that came from the Indonesian Public Disclosure Act and Act related to the management of football federation. The second is cultural factor that non-governmental public organization in Indonesia, in general, not accustomed to public disclosure obligation.  Tulisan ini mengambil studi kasus bagaimana Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia merespon tuntutan untuk Keterbukaan Informasi Publik. Keputusan Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) bahwa PSSI harus menerapkan praktek Keterbukaan Informasi Publik mendapatkan keberatan dari pihak PSSI. Permasalahan pun berbuntut panjang hingga sampai di persidangan tingkat Mahkamah Agung. PSSI dipilih sebagai objek penelitian guna mengkaji bagaimana badan publik non-pemerintah memahami Keterbkaan Informasi Publik. Data dalam tulisan ini menggunakan pernyataan-pernyataan yang disampaikan PSSI melalui website www.pssi.org berkaitan dengan keputusan KI Pusat. Pernyataan tersebut kemudian dianalisis menggunakan framing model Robert N.Entman. Analisis menunjukkan terdapat kendala struktural dan kultural. Faktor struktural datang dari peraturan yang berkaitan dengan PSSI dan peraturan di UU KIP itu sendiri. Sedangkan faktor kultural berkaitan dengan kondisi badan publik non-pemerintah yang tidak terbiasa menghadapi tuntutan keterbukaan informasi.