Satrio Hari Wicaksono
Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

ANALISA POLITIK IDENTITAS DALAM KARYA-KARYA POTRET DIRI AGUS SUWAGE DENGAN PENDEKATAN SEMIOTIKA Satrio Hari Wicaksono; N Akbar Zuhri
Ars: Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol 23, No 1 (2020): APRIL 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1160.497 KB) | DOI: 10.24821/ars.v23i1.3703

Abstract

Potret diri dalam seni rupa seringkali identik sebagai pengungkapan identitas sang perupa. Banyak seniman yang kemudian menggunakan dirinya sebagai frame atau sudut pandang yang menempatkan sosoknya sebagai bagian dari permasalahan yang diangkat dalam karya. Dalam sejarah panjang seni rupa Indonesia, sudah banyak seniman yang berupaya mengangkat tentang trema potret diri sebagai penanda kedudukannya dalam masyarakat, seperti halnya Agus Suwage yang merupakan seniman kontemporer yang kerap menggunakan dirinya untuk mengkritisi nilai-nilai sosial dalam masyarakat.
Eksotika Lee Man Fong : Sebuah Kolaborasi Apik Seni Rupa Modern dan Seni Lukis Tradisi China Satrio Hari Wicaksono
Journal of Urban Society's Arts Vol 4, No 2 (2017): October 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jousa.v4i2.2163

Abstract

In the development of Indonesian art, many artists who then fill out the history of the art of this country with a wide range of distinctive characteristics as a statement of the identity of the artist in his work, not to mention Lee Man Fong. Characteristics that are present in his work is a new breakthrough that combines the character of modern Western art with Eastern art, particularly China. A different viewpoints but can be combined and harmonized beautifully by the artist. With the approach does, Lee Man Fong able to get admission in the middle of rampant identity themes that are starting to be an important theme in the struggle of Indonesia. While many doubted the sense of nationalism, because the themes present in his work is more about the daily life and explores the theme instead filled with the spirit of struggle, but the emotional intimacy that is present in his work is able to capture the reality of the life of the Indonesian people that might escape from the views of many. A manifestation of the artist's love of the little things around it. Didn’t many artists are able to portray himself as a strong identity in his work, but Lee Man Fong's capacity and unique views will present a new visual way to penetrate the sustainability of Indonesian art that has evolved during that time. The use of methods, techniques, perspectives, and understanding which is a collaboration between the schools of modern and classic is the force that makes Lee Man Fong became one of the distinguishing elements. An approach that provides a fresh new look and adds such a richness of Indonesian art.
LUKISAN CAT AIR DENGAN ESTETIKA CLOSURE Deni Junaedi; Satrio Hari Wicaksono
Imaji Vol 17, No 1 (2019): IMAJI APRIL
Publisher : FBS UNY

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2020.861 KB) | DOI: 10.21831/imaji.v17i1.25730

Abstract

Estetika closure merupakan nilai estetis yang diambil dari psikologi persepsi. Kaidahnya menyatakan bahwa persepsi seseorang akan menutup kekurangan bentuk agar menjadi bentuk utuh sebagaimana yang biasa dikenali. Nilai estetis ini dapat diaplikasikan untuk penciptaan lukisan cat air dengan efek-efeknya. Penelitian ini dijalankan dengan mempraktikkan penciptaan lukisan cat air di luar studio menggunakan estetika closure. Objek lukisan digolongkan menjadi dua jenis, yaitu objek terintegrasi dan objek disintegratif. Objek terintegrasi merupakan objek yang unsurnya merupakan satu kesatuan yang cenderung tidak terpisahkan; objek disintegratif adalah kebalikannya. Penghilangan elemen pada objek integratif dilakuakan dengan cara tidak melukiskan bagian tertentu dari kesatuan objek yang dipilih; sementara pada objek disintegratif dapat dilakukan dengan menghilangkan bagian tertentu dari tiap elemen yang ada. Bagian yang dihilangkan dapat diisi dengan efek cat air, baik efek wet on wet, cipratan, lelehan, maupun efek yang lain. Penelitian ini penting untuk pendidikan seni pada tingkat institut. Kata Kunci: Lukisan, cat air, estetika closure WATERCOLOR PAINTING ON CLOSURE AESTHETICSAbstract: Closure aesthetics is an aesthetic value based on perceptual psychology. The principle is perception will close reduced shapes for completing the whole shapes as they usually appear. This aesthetic value can be applied for creating watercolor paintings, especially on watercolor effects. This study is conducted by practicing outdoor paintings based on closure aesthetics. There are two kinds of painting objects, i.e. integrated objects and disintegrated objects. Elements of integrated objects tend uniting so cannot separate; contrary, the ones of disintegrated objects are easily to distract. Hiding of elements in integrated objects is by ignoring some sides of the objects; meanwhile, for disintegrated objects, it is by ignoring some side of elements of the objects. The hidden elements or hided sides are applied by watercolor effects, such as wet on wet, splashing, melting, and other effects. This research is important for education in an institute of art. Keywords: painting, watercolor, closure aesthetics
Semiotics Studies in Agan Harahap's Work: Manipulation of Reality on social media Satrio Hari Wicaksono; Shidqi Annas Al Haris Sholih
IJCAS (International Journal of Creative and Arts Studies) Vol 9, No 2 (2022): December 2022
Publisher : Graduate School of Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/ijcas.v9i2.8228

Abstract

Digital-based media art is growing massively because it is in line with the existence and usefulness of digital-based devices, which are increasingly crucial in their function in society, such as photography which is not just for capturing moments and aesthetic needs but the need to offer information to others. It no longer presents the image as it is but can also deliver a 'fantasy' and appearance that does not happen in the real world through the editing process. The easier it is for virtual access to be obtained through devices in their hands, people are increasingly flooded with text and images with different content. To minimize misinformation, it takes public agility to sort out information and maturity in tracing cyberspace, mainly social media. Agan Harahap, an artist who uses the medium of photography as his language, often uses the process of editing photos to provide a representation of the 'new reality in his work. Harahap, who is interested in this phenomenon, uses social media as a means of publication so that it can be appreciated and provide an overall awareness process. The method used in this study is a case study through a semiotic approach to reading the symbols used by Harahap in his work. With the direction of the medium of photography and social media, Harahap arouses people's awareness to be aware of the reality offered in a piece of information. Kajian Semiotika dalam Karya Agan Harahap: Manipulasi Realitas pada Media Sosial Abstrak Seni media berbasis digital tumbuh secara masiv karena sejalan dengan keberadaan dan kegunaan gawai berbasis digital yang semakin krusial fungsinya di masyarakat. Seperti fotografi yang tidak hanya sekedar untuk menangkap momen dan kebutuhan estetik saja namun kebutuhan menawarkan sebuah informasi bagi orang lain. Tak lagi menghadirkan gambar apa adanya, namun juga mampu menghadirkan sebuah ‘fantasi’ dan tampilan yang sebenarnya tak terjadi di dunia nyata melalui proses editing. Semakin mudahnya akses virtual didapatkan melalui gawai dalam genggaman, masyarakat kian dibanjiri oleh teks maupun image yang memiliki beragam konten. Dibutuhkan kesigapan masyarakat untuk memilah informasi dan kedewasaan dalam menelusuri dunia maya, khususnya media sosial untuk meminimalisir informasi yang salah. Agan Harahap, sebagai seniman yang memanfaatkan media fotografi sebagai bahasa ungkapnya, acapkali melakukan proses pengeditan foto untuk memberikan sebuah representasi ‘realitas baru’ dalam karyanya. Harahap yang tertarik dengan fenomena ini menggunakan media sosial sebagai sarana publikasi agar dapat diapresiasi dan memberikan proses penyadaran secara luas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi kasus melalui pendekatan semiotika untuk membaca simbol yang digunakan Harahap dalam karyanya. Dengan pendekatan medium fotografi dan media sosial, Harahap berupaya menggugah kesadaran masyarakat untuk mawas terhadap realitas yang ditawarkan dalam sebuah informasi.
Fungi as an Art Medium: The Study of the Art Medium of Philip Ross and Syaiful Aulia Garibaldi Satrio Hari Wicaksono; Budi Irawanto; Agung Hujatnika
Journal of Urban Society's Arts Vol 10, No 1 (2023): April 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jousa.v10i1.6793

Abstract

This research aims to read the creative process carried out by bio-art artists who use fungi as a medium of character, namely Phillip Ross and Syaiful ‘Tepu’ Garibaldi and explore the potential values in their nature. New media art became an essential umbrella for non-conventional art genres related to other disciplines, such as ecology- based art, kinetic art, video art, bio-art, etc. An interdisciplinary approach that is   no longer related to a single system but a synergy between fields of science to solve increasingly complex social and environmental problems. As a new genre, bio-art synergy art and science involving organic creation components. The use of animals, viruses, fungi, and plants is the differentiator that marks the formation of bio-art works. Research methods will be conducted with methodological approaches to art history, anthropology, and semiotics. The unusual process of fungi formation used as a medium of art and ecological issues became a powerful narrative that both artists generally raised. The synergy between art, science, and technology in the creation process is a new reference in the method of art creation, especially bio-art so that  the process of fungi formation that is not commonly used as a medium of art and ecological issues related to it as a powerful narrative that the two artists generally raise becomes the main subject of study. Jamur sebagai Media Seni: Kajian Media Seni Philip Ross dan Syaiful Aulia Garibaldi. Penelitian ini bertujuan untuk membaca proses kreatif yang dilakukan oleh seniman bio-art yang memanfaatkan fungi sebagai media kekaryaannya, yaitu Phillip Ross dan Syaiful ‘Tepu’ Garibaldi serta menggali potensi nilai-nilai yang ada dalam kekaryaannya.Seni media baru menjadi payung penting untuk genre seni non- konvensional yang terkait dengan disiplin ilmu lain, seperti seni berbasis ekologi, seni kinetik, seni video, bio-art, dll. Pendekatan interdisipliner yang tidak lagi terkait dengan pendekatan tunggal tetapi sinergi antara bidang sains untuk memecahkan masalah sosial dan lingkungan yang semakin kompleks. Sebagai genre baru, bio-art adalah sinergi antara seni dan sains yang melibatkan komponen penciptaan organik. Penggunaan hewan, virus, jamur, dan tumbuhan adalah pembeda yang menandai pembentukan karya bio-seni. Metode penelitian akan dilakukan dengan pendekatan metodologi sejarah seni, antropologi, dan semiotika. Proses pembentukan fungi yang tak lazim digunakan sebagai media seni dan isu-isu ekologi yang berkaitan dengannya, menjadi narasi besar yang secara umum diangkat oleh kedua seniman tersebut. Sinergi antara seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi dalam proses penciptaan adalah referensi baru dalam metode penciptaan seni, terutama bio-art, sehingga proses pembentukan fungi yang tak lazim digunakan sebagai media seni dan isu-isu ekologi yang berkaitan dengannya sebagai narasi besar yang secara umum diangkat oleh kedua seniman tersebut, menjadi pokok kajian utamanya.