Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

IDENTIFIKASI STATUS HUKUM PENGUASAAN HUTAN ADAT OLEH MASYARAKAT SAJANG KEC.SEMBALUN LOMBOK TIMUR Mas’adah Mas’adah; Galang Asmara; Rr Cahyowati
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 12 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (485.252 KB) | DOI: 10.24843/KS.2021.v09.i12.p16

Abstract

Tujuan penulisan ini yakni untuk mengkaji status hukum penguasaaan hutan adat oleh masyarakat sajang dan implikasi hukumnya. Jenis penelitian ini adalah adalah penelitian normatif empiris Hasil penelitian yang penyusun dapatkan bahwa status hukum penguasaan hutan adat oleh masyarakat Desa Sajang Kecamatan Sembalun Lombok Timur yakni berstatus sebagai hak ulayat masyarakat adat. Hal tersebut karena masyarakat adat desa sajang memiliki ciri-ciri sebagai masyarakat adat yakni: memiliki genelogi-teritorial adat, memiliki struktur adat, tradisi, dan ritual, memiliki norma/awiq-awiq hukum adat, serta diakui eksistensi hak asal-usul dan bawaan leluhurnya oleh konstitusi Indonesia. Hak Pengelolaan tanah kawasan hutan oleh masyarakat adat Desa Sajang merupakan hak kolektif dan hak bawaan dari leluhur mereka sebagai wilayah strategis dan fungsional untuk kepentingan kultur dan tradisi,ritual magis-religius, serta perlindungan ekologi hutan. Implikasi hukum atas penguasaaan hutan adat oleh Masyarakat Desa Sajang Kecamatan Sembalun Lombok Timur yakni sebagai hak kolektif masyarakat adat. Akan tetapi, hak koletif tersebut masih sangat lemah karena tidak adanya pengakuan secara yuridis keberadaan masyarakat adat Desa Sajang dalam bentuk perda kabupaten yang menyebabkan masyarakat adat tidak memiliki legitimasi yang mengakibatkan adanya pengambilan hutan adat oleh pihak TNGR ( Taman Nasional Gunung Rinjani). The purpose of this paper is to examine the legal status of customary forest tenure by the sajang community and its legal implications. The type of this research is normative empirical research. The results of the research that the authors get are that the legal status of customary forest tenure by the people of Sajang Village, Sembalun District, East Lombok, is the status of customary rights of indigenous peoples. This is because the adat community of the Sajang village has characteristics as indigenous peoples, namely: having genealogy-customary territories, having customary structures, traditions, and rituals, having norms/awiq-awiq of customary law, and being recognized the existence of the rights of origin and inheritance of their ancestors by the Indonesian constitution. The right to manage forest land by the indigenous people of Sajang Village is a collective right and innate right from their ancestors as a strategic and functional area for the benefit of culture and tradition, magical-religious rituals, and protection of forest ecology. The legal implications of the control of customary forest by the Sajang Village Community, Sembalun District, East Lombok, namely as a collective right of indigenous peoples. However, these collective rights are still very weak because there is no legal recognition of the existence of the Sajang Village indigenous community in the form of a district regulation which causes the indigenous people to have no legitimacy which results in the taking of customary forest by the TNGR (Gunung Rinjani National Park).
Penyuluhan Hukum Tentang Pencegahan Perdagangan Orang Di Desa Malaka Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara Any Suryani Hamzah; Lalu Husni; RR Cahyowati
Private Law Vol. 2 No. 1 (2022): Private Law Universitas Mataram
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (820.964 KB)

Abstract

Isu perdagangan orang (human trafficking) dalam dekade terakhir ini menjadi sorotan dari berbagai pihak baik di tingkat nasional maupun internasional, para pemerhatipun menyoroti segala sesuatu yang berkaitan dengan perdagangan orang (human trafficking), khususnya aspek pencegahan perdagangan orang, seiring dengan dibukanya tambang tambang besar dibeberapa wilayah NTB serta pekembangnya sector pariwisata NTB menjadi daerah wilayah sending area, transit dan penerima. Tujuan penyuluhan ini adalah untuk membantu pemerintah dalam mensosialisasikan peraturan perundang-undangan tentang Pencegahan Perdagangan Orang di Tingkat Desa.sedangkan tujuan khusus penyuluhan ini adalah agar masyarakat khususnya Desa Malaka merupakan salah satu pintu masuk Pariwisata menuju tiga Gili di Kabupaten Lombok Utara yaitu Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno. Masyarakat banyak terlibat dan berpatisipati dalam jasa pariwisata dengan menjadi pegiat pariowisata terutama dari mancanegara. pengetahuan dan pemahaman masyarakat desa tentang bahaya perdagangan orang, migrasi aman dan penempatan pekerja migran Indonesia.mengngat des amalaka merupakan pintu wisata tiga gili yaitu gili air,gili meno dan Gili Trawangan.dan sebagian masyarakat desa malaka menggantungkan kehidupan dengan teribat disektor wisata. Selain beradu nasib disektor pariwisata ,animo masyarakat masyarakat desa Malakayg untuk menjadi calon pekerja migran Indonesia di luar negeri tinggi, sehingga perlunya pemahaman tentang penempatan pekerja migran Indonesia di luar negeri , migrasi aman khususnya dapat memahami tata cara menjadi pekerja Migran yang berdokumen legal dan paham tentang bahaya perdagangan orang dalam mendompleng ketenaran penempatan pekerja Migran Indonesia .
IMPLIKASI HUKUM TIDAK TERPENUHINYA KUOTA 30% PEREMPUAN PADA HASIL PEMILU LEGISLATIF BAGI PARTAI POLITIK (PARPOL) Nurwahidah Nurwahidah; Galang Asmara; Rr Cahyowati
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 6 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KS.2023.v11.i06.p14

Abstract

Tulisan ini memiliki tujuan untuk mengkaji secara normatif mengkaji implikasi hukum bagi Parpol yang implementasi Kuota 30% perempuannya tidak terpenuhi dan peran serta partai politik dalam mewujudkan kuota 30% perempuan di Parlemen. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwasanya implikasi hukum bagi Parpol yang tidak memenuhi kuota 30% perempuan berdasarkan hasil Pemilu menurut Undang-Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pemilu, klausul ini tidak ada diatur secara tersendiri. Artinya bahwa secara hukum Parpol yang tidak mampu mengantarkan para caleg perempuan sebagai Anggota Dewan tidak mendapatkan sanksi hukum atau konsekwensi hukum lain, sebagai bentuk evaluasi. Dengan demikian aturan khusus tentang ketentuan affirmati action ini masih belum jelas ada kekaburan norma, karena tidak ada perlindungan dan kepastian hukum bagi para Caleg dan Politisi perempuan. Peran politik dalam mewujudkan implementasi Keterwakilan 30% Caleg Perempuan sebagaimana diatur di Undang-Undang Parpol dan Undang-Undang Pemilu. Sehingga dalam AD/ART dan aturan khusus tentang Pencalonan Bakal Calon Anggota Legisltif diatur tersendiri, hanya saja secara penerapan fungsi partai belum maksimal dilakukan. Baik itu fungsi rekruitmen, kaderisasi maupun fungsi pemberdayaan para anggota partai dan Caleg perempuan yang dimiliki. This paper aims to examine normatively the legal implications for political parties whose implementation of the quota of 30% women is not met and the role of political parties in realizing the quota of 30% women in Parliament. This research is a normative legal research. The results of this study indicate that there are legal implications for political parties that do not meet the 30% quota of women based on election results according to the Political Party Law and the Election Law, this clause is not regulated separately. This means that legally political parties that are unable to introduce women candidates as Council members do not receive legal sanctions or other legal consequences, as a form of evaluation. Thus the specific rules regarding affirmati action provisions are still not clear, there is a blurring of norms, because there is no protection and legal certainty for female candidates and politicians. The role of politics in realizing the implementation of the 30% Representation of Women Candidates as stipulated in the Political Party Law and the Election Law. So that the AD/ART and special rules regarding the Nomination of Candidates for Legislative Members are regulated separately, it's just that the implementation of party functions has not been carried out optimally. Both the recruitment, regeneration and empowerment functions of party members and women candidates.
Konsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Rizal Patoni; Gatot DH Wibowo; RR Cahyowati
Indonesia Berdaya Vol 4, No 3 (2023)
Publisher : Utan Kayu Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47679/ib.2023528

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Apakah Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengubah putusan sebelumnya yang mengatur hal yang sama dan Bagaimanakah konstitusionalitas Putusan Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan dalam penyelesaian sengketa PEMILUKADA Penelitian ini merupakan jenis penelitian normative dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang (Statute Approach), dan pendekatan sosiologi hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: Hasil dari penelitian ini antara lain: 1) Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengubah putusan sebelumnya yang mengatur hal yang sama, karena Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki karakteristik bersifat final dan mengikat (final and binding), maka tidak ada upaya lain yang dapat ditempuh. sedangkan Wewenang yang dimiliki oleh MK telah ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan ayat (2). 2) Konstitusionalitas Putusan Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan dalam penyelesaian sengketa PEMILUKADA tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 berdasarakan Putusan MK Nomor: 85/PUU-XX/2022, MK telah menafsirkan UUD 1945 tidak lagi Membedakan PEMILU Nasioanal dengan PEMILUKADA, secara sistematis jelas hal ini berakibat pada perubahan penafsiran atas kewenangan MK yang termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, Bahwa MK telah memiliki kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sudah bersifat permanent.