Ni Kadek Mulyantari
Bagian SMF Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Published : 27 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

Transfusion Reactions as an Indicator of Service Quality of Blood Transfusion in Sanglah General Hospital Denpasar Bali-Indonesia Mulyantari, Ni Kadek; Subawa, Anak Agung Ngurah; Yasa, I Wayan Putu Sutirta
BALI MEDICAL JOURNAL Vol 5 No 3 (2016)
Publisher : BALI MEDICAL JOURNAL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (275.123 KB)

Abstract

Background: One of the fatal side effects of transfusion is transfusion reactions. The incidence of transfusion reaction in Sanglah Hospital is still relatively high and far from national target which is 0.01%. To achieve the target of quality, it is necessary to set up an active program so that the number of incidence of transfusion reactions can be decreased. Methods: Pre and post test interventional study was conducted for 6 months in Sanglah Hospital Bali. All nurses in wards which is blood product frequently used was involved in this study. The intervention in this study was in the form of education and training programs on the application of the closed system and cold chain in the distribution of blood products as well as improved service system. Results: The results showed a decline in the incidence of transfusion reactions occurred every month during the study. The incidence of transfusion reactions occurred each month was 0.77%, 0.56%, 0.5%, 0.49%, 0.45% and 0.38% respectively. The average reduction in the incidence of transfusion reactions was 0.08% every month. The type of transfusion reaction that occurred was 59% urticaria, 29% fever, 7% shortness of breath, 4% fever and chills, and 1% shock. Conclusion: Education and training programs on the application of the cold chain system and closed system in the distribution of blood products as well as the improvement of service system helped reduce the number of the incidence of transfusion reactions in Sanglah Hospital Bali.
HUBUNGAN JUMLAH TRANSFUSI DARAH DAN PENGGUNAAN KELASI BESI DENGAN KADAR FERITIN PADA PASIEN TALASEMIA Fatqur Rochman; Ni Kadek Mulyantari; I WP Sutirtayasa
E-Jurnal Medika Udayana Vol 8 No 9 (2019): Vol 8 No 9 (2019): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (295.63 KB)

Abstract

Talasemia merupakan salah satu kelainan keturunan pembentukan darah yang menyebabkanjumlah kematian cukup signifikan (3,4%.) pada usia di bawah 5 tahun di dunia. Hingga kinimanajemen utama anemia pada pasien talasemia adalah transfusi darah. Pemberian transfusiyang sering akan meningkatkan kadar besi dalam tubuh sehingga membutuhkan obat kelasi besi.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah transfusi darah yangdiberikan dan penggunaan kelasi besi terhadap kadar feritin. Penelitian ini menggunakan rancangan studi potong lintang. Jumlah sampel penelitian adalah 25 sampel yang merupakanpasien talasemia di RSUP Sanglah dari Januari 2014 hingga Juni 2015. Pemilihan sampeldilakukan dengan teknik total sampling. Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil datasekunder dari rekam medis pasien talasemia. Pada hasil analisis, terlihat secara umumpeningkatan jumlah transfusi akan meningkatkan rerata kadar feritin . Dari penelitian ini dapatdisimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah transfusi darah yangdiberikan dengan kadar feritin pasien talasemia (p=0.003). Pada analisis hubungan antara kadarferitin dan ada atau tidaknya pemberian kelasi besi mendapatkan hasil yang tidak signifikansecara statistik (p>0.664). Penelitian ini diharapkan dapat dipakai untuk pembelajaran dan dapatdijadikan dasar untuk dilakukan penelitian lain yang serupa di masa depan. Kata kunci: talasemia, transfusi darah, obat kelasi besi dan kadar feritin.
HUBUNGAN MELEWATKAN SARAPAN TERHADAP KEJADIAN OVERWEIGHT DAN OBESITAS PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA Kadek Gyna Yadnya Swari; Ni Kadek Mulyantari; I Wayan Putu Sutirta Yasa
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 3 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/.MU.2022.V11.i3.P18

Abstract

ABSTRAK Overweight dan obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi sorotan dunia bahkan di Indonesia sekalipun. Prevalensi overweight dan obesitas dari tahun ketahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Mahasiswa kedokteran termasuk ke dalam golongan dewasa muda. Mahasiswa kedokteran memiliki komitmen akademik dan non akademik yang dapat berpengaruh terhadap perubahan pola makan, khususnya melewatkan sarapan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan melewatkan sarapan terhadap kejadian overweight dan obesitas pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas udayana. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlas sampel pada penelitian ini berjumlah 42 mahasiswa/i dengan Teknik pengambilan sampel yaitu purposive sampling. Melewatkan sarapan diukur menggunakan kuesioner sedangkan indeks massa tubuh diukur dengan menggunakan alat pengukur timbangan badan dan tinggi badan. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai signifikan 0,004 < 0,05. Ini berarti terdapat hubungan melewatkan sarapan terhadap kejadian overweight dan obesitas pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Hasil penelitian ini diharapkan mahasiswa lebih memperhatikan sarapan pagi dan penelitian selanjutnya diharakan dapat memasukkan kategori food recall 24 hours. Kata Kunci: Sarapan, Overweight, Obesitas
PREVALENSI HIPERURISEMIA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR BALI PERIODE JULI-DESEMBER 2017 Ni Made Linda Pertiwi; I Nyoman Wande; Ni Kadek Mulyantari
E-Jurnal Medika Udayana Vol 8 No 10 (2019): Vol 8 No 10 (2019): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (226.155 KB)

Abstract

Kumpulan gejala dan tanda yang dapat terjadi oleh karena gangguan pengeluaran dan kerja insulin sehingga terjadi kondisi hiperglikemia yang berakibat pada penyakit diabetes melitus (DM). Hasil akhir dari metabolisme purin dapat berupa asam urat. Hiperurisemia atau peningkatan kadar serum asam urat dikaitkan dengan terjadinya onset awal dari sindroma resistensi insulin atau peningkatan perkembangan nefropati pada DM tipe 2, sehingga kondisi hiperurisemia bisa terjadi oleh karena gangguan fungsi ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan kadar asam urat pada penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah Denpasar periode Juli-Desember 2017. Sampel yang digunakan adalah populasi yang telah sesuai dengan kriteria penelitian. Deskriptif cross-sectional merupakan desain yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan dari 100 sampel, sejumlah 56 sampel (56%) mengalami peningkatan kadar asam urat. Dimana pada perempuan yang mengalami hiperurisemia 62,5% dan pada laki-laki 52,9% dengan rerata kadar asam urat pada perempuan 6,49 ± 1,55 mg/dL dan laki-laki 6,88 ± 1,78 mg/dL. Sedangkan berdasarkan HbA1C, proporsi hiperurisemia pada HbA1C tidak terkontrol 54,1% dan 59,0% pada HbA1C terkontrol. Jadi pada DM terjadi peningkatan serum asam urat yang cenderung terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Kata Kunci: Diabetes Melitus tipe 2, Prevalensi, Asam Urat, Hiperurisemia
PREVALENSI ANEMIA PADA DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR TAHUN 2014 I Gusti Agung Ngurah Radhitya Wijaya Radhitya Wijaya; Ni Kadek Mulyantari; I Wayan Putu Sutirta Yasa
E-Jurnal Medika Udayana Vol 7 No 10 (2018): Vol 7 No 10 (2018): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (189.156 KB)

Abstract

Diabetes Mellitus sampai saat ini masih menjadi ancaman global, dengan jumlah penderita yang selalu meningkat di setiap negara. Terdapat 2 jenis Diabetes, dari kedua tipe tersebut yang memiliki prevalensi lebih tinggi adalah diabetes Mellitus tipe 2 dan jumlah penderitanya terus meningkat setiap tahunnya. Diabetes Mellitus dapat menyebabkan banyak komplikasi, salah satunya adalah anemia. Penderita Diabetes lebih banyak mengalami kondisi anemia dibandingkan penderita penyakit lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi anemia pada penderita Diabetes tipe 2 di RSUP Sanglah pada tahun 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan total sampling, dengan sampel yaitu data rekam medik pasien diabetes mellitus tipe 2 di RSUP Sanglah pada tahun 2014. Hasil penelitian ini yaitu dari 192 sampel, terdapat 80 sampel (41,67 %) yang menderita anemia. Dari 80 sampel tersebut, didapatkan anemia pada DM Tipe 2 pada laki – laki berjumlah 49 orang (61,25 %), dan perempuan berjumlah 31 orang (38,75 %). Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa mayoritas penderita anemia pada Diabetes Mellitus tipe 2 berjenis kelamin laki – laki. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber referensi bagi penelitian selanjutnya. Kata kunci: Anemia, Diabetes Mellitus
PREVALENSI ANTIBODI IgM ANTI-SALMONELLA PADA PENDERITA DIDUGA DEMAM TIFOID DI RUMAH SAKIT PURI BUNDA, DENPASAR BULAN APRIL – OKTOBER 2014 Zulaikha Binti Osman; Ni Kadek Mulyantari
E-Jurnal Medika Udayana Vol 5 No 9 (2016): E-jurnal medika udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (419.295 KB)

Abstract

Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enteric serotype typhi, paratyphi A dan B. Kedua jenis paratyphi Salmonella masih dapat ditemukan secara luas di banyak negara berkembang terutama di daerah tropis dan subtropis, yang kini mulai berkembang di seluruh Bali yaitu sebuah objek wisata yang terkenal. Demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan masyarakat karena presentasi klinis yang dapat disalah pahami dengan penyakit atau infeksi lain. Demam tifoid juga bisa menyebabkan berbagai komplikasi yang membuatnya menjadi kondisi yang sangat serius yang telah menjadi beban global. Prevalensi S.typhi terdeteksi pada peserta demam tertinggi di Indonesia. Penelitian telah dilakukan dengan menggunakan rencana cross-sectional, yang menggunakan data sekunder yang diambil di Laboratorium Patologi Klinik di Rumah Sakit Puri Bunda. Hasil laboratorium tes serologi ini diambil oleh pasien yang diduga demam tifoid di Rumah Sakit Puri Bunda. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dari Agustus 2014 hingga Oktober 2014, dan data dibagi menjadi kelompok usia, jenis kelamin, dan skor tes. Di antara 116 sampel yang dikumpulkan, jumlah tertinggi penderita adalah kelompok usia 2-20 tahun, yang 82 sampel. Kelompok usia ini juga mencatat jumlah tertinggi penderita mencetak skor uji ? 2, yang menunjukkan hasil negatif, dengan 47 sampel (63,5%). 23 sampel berasal dari kelompok usia 0-1 tahun (31,1%), 3 dari mereka milik 21-40 tahun kelompok usia tua (4,1%) dan 1,4% untuk kelompok usia> 40 tahun, terdeteksi dengan skor uji ? 2. Hasil tes batas skor 3 menunjukkan jumlah tertinggi sampel yang tercatat adalah 11 (84,6%) yang termasuk kelompok usia 2-20 tahun. 15,4% dari sampel milik kelompok usia 0-1 tahun dan tidak skor 3 untuk kelompok usia 21-40 dan> 40 tahun. Kelompok umur berusia 2-20 tahun tercatat 23 sampel (79,3%) untuk lemah positif demam tifoid (skor 4), kelompok umur 0-1 tahun dengan 6 sampel (20,7%), 3 sampel (2,6%) dan 1 sampel (0,9%) dari kelompok usia 21-40 tahun dan> 40 tahun masing-masing tua. Untuk skor ? 2, laki-laki memiliki beberapa nomor, 46 (55,4%) dibandingkan perempuan dengan 37 (44,6%). Pria dan wanita memiliki persentase yang sama dari sampel yang dikumpulkan dengan tes skor 3 di batas. Untuk tes skor 4, lemah positif, ada 13 laki-laki (48,1%) dan 14 perempuan (51,9%) yang tercatat. Hal ini menyimpulkan bahwa kelompok usia 2-20 tahun memiliki lazim tertinggi demam tifoid, sedangkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita memiliki prevalensi positif terhadap demam tifoid. Ada kebutuhan untuk penelitian yang akan dilanjutkan untuk jangka waktu yang lebih lama untuk memahami lebih baik tentang dinamika dan data distribusi demam tifoid di setiap bulan selama satu tahun.
PREVALENSI DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PRIMER DAN SEKUNDER BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN SEROLOGIS DI RUMAH SAKIT BALIMED DENPASAR Luh Putu Citta Saraswati; Ni Kadek Mulyantari
E-Jurnal Medika Udayana Vol 6 No 8 (2017): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (304.76 KB)

Abstract

Dengue infection is one of antrhopoda-virus infection caused by dengue virus with broad clinical spectrum. Primary infection caused by one serotipe virus manifest as dengue fever virus or dengue hemorrhagic fever. But, if infected with different serotipe virus, the manifestation will be more severe and increases the risk of dengue hemorrhagic fever and dengue shock syndrome. This condition affirm the importance of clinical laboratory examination especially serology examination that could be used to distinguish between primary dengue infection or secondary dengue infection more quickly. A cross sectional study was done at Balimed Hospital Denpasar in Januari-June 2014. The diagnosis following WHO criteria and immunocromatographic test (ICT) for Anti dengue IgM-IgG have been conducted. The data were grouped by aged and gender. Among 454 clinically suspected cases analysed, 366 (80,61%) cases were seropositive for dengue infection. Among the seropositive, 61 (13,43%) were positive for Anti dengue IgM and 238 (52,42%) were positive for Anti dengue IgG. Both Anti dengue IgM & IgG were positive in 67 (14,75%). Based on gender, the results show primary dengue infection in male 13,16 % and female 12,79 %.While secondary dengue infection in male 68,72 % and female 65,40 %. Based on aged, most of primary dengue infection were the age group 6 -11 years (26,66%) and secondary dengue infection were the age group 26-45 years (82,17%). It can be concluded the prevalence of primary and secondary dengue infection is higher in male than female. Most of primary dengue infection are children and most of secondary dengue infection occurring in adult. The result of this research was expected can be used as the basis of further research to find the risk factors associated with dengue infection. Keywords: primary dengue infection, secondary dengue infection, IgM, IgG
Prevalensi Antibodi IgM Anti-Salmonella pada Penderita Diduga Demam Tifoid di Rumah Sakit Puri Bunda, Denpasar Bulan April – Oktober 2014 Zulaikha Binti Osman; Ni Kadek Mulyantari
E-Jurnal Medika Udayana Vol 6 No 11 (2017): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (242.616 KB)

Abstract

Typhoid fever is a systemic infection disease which is caused by Salmonella enteric serotype typhi, paratyphi A and paratyphi B. These two types of Salmonella can still be found widely in many developing countries especially those in tropical and subtropical region, which is now began developing around Bali, a well-known tourist-attraction place. Typhoid fever has become a public health concern because of its clinical presentations that can be misunderstood with other types of diseases or infections. Typhoid fever also can lead to numerous complications which make it a very serious condition that has become a global burden. The prevalency of S.typhi detected in febrile participants is highest in Indonesia. Research has been done using a cross-sectional plan, which uses a secondary data taken at the Clinical Pathology Laboratory at Puri Bunda Hospital. These are the laboratory results of the serological tests taken by the patients suspected with typhoid fever at Puri Bunda Hospital. The research was done for three months from August 2014 to October 2014, and the data were divided into age groups, sex and test scores. Among 116 samples collected, the highest number of patients belong to age group 2-20 years old, which is 82 samples. This age group also recorded the highest number of patients scoring a test score of ? 2, which shows a negative result, with 47 samples (63.5%). 23 samplesare from the age group of 0-1-year-old (31.1%), 3 of them belong to 21-40 years old age group (4.1%) and 1.4% for age group >40 years old, detected with test score of ? 2. A borderline test result (score 3) shows the highest number of samples recorded are 11 (84.6%) which belongs to age group 2-20 years old. 15.4% of samples belong to age group 0-1-year-old and neither score 3 for age group 21-40 and >40 years old. Age group 2-20 years old recorded 23 samples (79.3%) for positive weak of typhoid fever (score 4), age group of 0-1-year-old with 6 samples (20.7%), 3 samples (2.6%) and 1 sample (0.9%) from the age groups of21-40 years old and >40 years old respectively. For score ? 2, males have more numbers, 46 (55.4%) compared to females with 37 (44.6%). Male and female has the same percentage of samples collected with a test score 3 at borderline. For test score 4, a positive weak, there are 13 males (48.1%) and 14 females (51.9%) recorded. It is concluded that age group 2-20 years old have the highest prevalent of typhoid fever, meanwhile there is no significant different between males and females to have positive prevalency towards typhoid fever. There is a need for the research to be continued for a longer period of time to understand better on the dynamics and distribution data of typhoid fever in each month for a year. Keyword : Typhoid Fever, IgM, Salmonella typhi, Age, Gender, Test Score
GAMBARAN HEPATOTOKSISITAS (ALT/AST) PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS LINI PERTAMA DALAM PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU RAWAT INAP DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2014 I Gede Juliarta; Ni Kadek Mulyantari; I Wayan Putu Sutirta Yasa
E-Jurnal Medika Udayana Vol 7 No 10 (2018): Vol 7 No 10 (2018): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.878 KB)

Abstract

Hepatotoksisitas merupakan keadaan dimana sel-sel hati mengalami kerusakan karena zat-zat kimia yang bersifat toksik. Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dalam pengobatan Tuberkulosis (TB) paru menjadi salah satu penyebab tersering hepatotoksisitas. Dalam tes fungsi hati, indikator yang sering digunakan untuk menilai derajat hepatotoksisitas adalah kadar SGPT/SGOT. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran hepatotoksisitas (SGPT/SGOT) penggunaan OAT di RSUP Sanglah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif potong lintang. Sampel yang digunakan adalah pasien TB paru yang dirawat inap di RSUP Sanglah pada Januari 2014 sampai Desember 2014. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medik. Hasil penelitian ini yaitu dari 71 sampel penelitian didapat prevalensi hepatotoksisitas sebesar 22,5% dengan mayoritas jenis kelamin laki-laki (56,25%). Angka kejadian tertinggi pada kelompok umur 41-60 tahun (68,75%), 4). Berdasarkan kadar ALT, mayoritas derajat ringan, sedangkan berdasarkan AST, mayoritas derajat sedang. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagian besar sampel yang positif mengalami hepatotoksisitas OAT termasuk dalam kategori ringan. Kata kunci: tuberkulosis paru, hepatotoksisitas OAT, kadar SGPT/SGOT
GAMBARAN HASIL SKRINING HEPATITIS B DAN HEPATITIS C PADA DARAH DONOR DI UNIT DONOR DARAH PMI PROVINSI BALI Putu Mita Wulandari; Ni Kadek Mulyantari
E-Jurnal Medika Udayana Vol 5 No 7 (2016): E-jurnal medika udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.918 KB)

Abstract

Hepatitis B dan hepatitis C terjadi pada penduduk di seluruh dunia dan merupakan masalah kesehatan utama dunia. Hepatitis B dan hepatitis C merupakan penyakit infeksi yang menular melalui paparan darah dan tidak menimbulkan gejala spesifik, sehingga bisa melakukan aktivitas donor darah. Oleh karena itu, skrining pada darah donor diperlukan untuk menyediakan darah yang aman. Penelitian dilakukan di Unit Donor Darah PMI Provinsi Bali dari bulan Januari 2014 sampai dengan Juni 2014. Selama penelitian 17526 kantong darah diskrining adanya HBsAg reaktif dan Anti HCV reaktif yang kemudian dikelompokkan berdasarkan umur, jenis kelamin dan jenis donor darah (donor pengganti dan donor sukarela).Data hasil skrining menunjukkan 333 (1.9%) kantong darah memiliki HBsAg reaktif, 78 (0.4%) kantong darah memiliki Anti HCV reaktif dan hanya 2 (0.01%)  kantong darah yang memiliki HBsAg reaktif dan Anti HCV reaktif  Berdasarkan data hasil skrining di UDD PMI Provinsi Bali, kelompok usia 31 sampai 40 tahun (2.2%) dan jenis donor sukarela (2.4%) memiliki persentase HBsAg reaktif paling tinggi sedangkan pada laki-laki dan perempuan memiliki persentase HBsAg yang sama (1.9%). Dilihat dari jenis kelamin, kelompok usia dan jenis donor yang memiliki persentase Anti HCV reaktif paling banyak yaitu perempuan (0.5%), kelompok usia 31 sampai 40 tahun (0.8%) dan donor sukarela (0.5%).