I Ketut Suardamana
Departemen/KSM Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

GAMBARAN DERAJAT KLINIS TERHADAP FAKTOR RESIKO PADA PASIEN REAKSI HIPERSENSITIVITAS DI RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR PERIODE 2012-2013 I Gede Aswin Arinata; I Ketut Suardamana
E-Jurnal Medika Udayana vol 4 no 2 (2015):e-jurnal medika udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (142.15 KB)

Abstract

Derajat klinis dari reaksi hipersensitivitas dibedakan  menjadi derajat ringan, derajat sedang, dan derajat berat. Secara epidemiologi dikatakan prevalensi reaksi hipersensitivitas 1-2% dari populasi penduduk dunia. Faktor risiko yang berkaitan dengan beratnya derajat klinis antara lain usia tua, jenis kelamin, riwayat  alergi/asma, dan allergen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran derajat klinis terhadap faktor resiko pada pasien reaksi hipersensitivitas di rumah sakit sanglah denpasar tahun 2012 hingga 2013. Penelitian ini menggunakan rancangan studi deskriptif cross sectional. Data diperoleh secara sekunder melalui rekam medis yang tercatat di Bagian Allergy dan Imunology Penyakit Dalam RSUP Sanglah. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Pada penelitian ini didapatkan 144 sampel. Jumlah jenis kelamin yang didapatkan berimbang antara laki-laki dengan perempuan yaitu 73 pasien (50,7%) dan 71 pasien (49,3%). Derajat klinis berat didapatkan paling banyak pada laki-laki yaitu 24 pasien (16,7%). Usia rata-rata sampel adalah 39,5 tahun. Derajat klinis berat ditemukan paling banyak pada usia 41-60 tahun yaitu 16 pasien (11,1%). Jumlah pasien yang memiliki riwayat allergy/asma lebih banyak memiliki derajat klinis berat yaitu 34 pasien (23,6%). Obat paling banyak menyebabkan reaksi hipersensitivitas yaitu sebanyak 114 pasien (79,2%) dengan derajat klinis berat yaitu 33 pasien (22,9%). Pasien dengan allergen makanan paling banyak mengalami derajat klinis sedang yaitu sebanyak 12 pasien (8,3%). Allergen lain terjadi pada 7 pasien (4,9%) dengan derajat klinis berat sebanyak 5 pasien (3,5%).  
Seorang penderita syok anafilaksis dengan allergic myocardial infarction (kounis syndrome) I Putu Ary Wismayana; I Ketut Suardamana
Intisari Sains Medis Vol. 12 No. 3 (2021): (Available online: 1 December 2021)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (429.212 KB) | DOI: 10.15562/ism.v12i3.1207

Abstract

Background: Kounis syndrome (KS) is defined as the concurrence of acute coronary syndromes associated with mast-cell and platelet activation in the setting of allergic or anaphylactic insults. Prevalence of KS is considered rare, estimated 1.1% of hospitalized allergic reaction patient, with mortality rate 7%. Case Report: Case of 39 years old male without history of coronary artery disease, having dyspnea, chest discomfort, and pruritus after eating skipjack tuna. 12 lead electrocardiogram showing ST depression segment on lead II, III, and aVF. Patient diagnose as Kounis syndrome variant type I. Treatment of Kounis Syndrome begins with cessation of the causative agent. After therapy using epinephrine and intravenous corticosteroid, clinical improvement was achieved, and ST segment depression on electrocardiogram resolved. Conclusion: Kounis syndrome is a rare disorder which need careful assessment and swift management. The diagnosis confirmed with sign and symptoms of allergic along with disorder in cardiovascular system.   Latar Belakang: Kounis Syndrome (KS) didefinisikan sebagai sindrom koroner akut yang terjadi bersamaan dengan aktivasi sel mast dan trombosit dalam keadaan alergi atau anafilaksis. Prevalensi KS tergolong jarang, diperkirakan 1,1% dari pasien reaksi alergi yang dirawat di rumah sakit, dengan angka kematian 7%. Laporan Kasus: Laki-laki 39 tahun tanpa riwayat penyakit jantung koroner, sesak nafas, rasa tidak nyaman di dada, dan pruritus setelah makan ikan cakalang. Elektrokardiogram 12 sadapan menunjukkan segmen depresi ST pada sadapan II, III, dan aVF. Diagnosis pasien sebagai sindrom Kounis varian tipe I. Pengobatan Sindrom Kounis dimulai dengan penghentian agen penyebab. Setelah terapi menggunakan epinefrin dan kortikosteroid intravena, perbaikan klinis dicapai serta depresi segmen ST pada elektrokardiogram teratasi. Simpulan: Kounis syndrome adalah kelainan langka yang membutuhkan penilaian yang cermat dan penanganan yang cepat. Diagnosis ditegakkan dengan adanya tanda dan gejala alergi disertai gangguan pada sistem kardiovaskular.
Profil deskriptif pasien reaksi anafilaksis Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode 2018-2021 I Gede Aswin Arinata; I Ketut Suardamana
Intisari Sains Medis Vol. 13 No. 1 (2022): (Available Online : 1 April 2022)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.294 KB) | DOI: 10.15562/ism.v13i1.1294

Abstract

Introduction: The clinical degree of allergic reactions is divided into acute hypersensitivity reactions, anaphylactic reactions, and anaphylactic shock. Systemic anaphylactic reaction is a rare condition with a prevalence of around 1.6-5.1%. Clinical manifestations involved in anaphylactic reactions include skin and mucosal symptoms, respiratory system, cardiovascular system, digestive system. The purpose of this study was to determine the descriptive profile of patients with anaphylactic reactions at the Sanglah Central General Hospital for the period 2018 to 2021. Methods: This study used a cross-sectional descriptive study design. Data were obtained secondary through medical records recorded at the Allergy and Immunology Division of Internal Medicine at Sanglah Hospital. Data analysis was done descriptively. Results: In this study, 115 samples were obtained. The mean age in this study was 39.0±15.6. The sample consisted of 41 men (35.7%) and 74 women (64.3%). The most common allergens that cause anaphylactic reactions are drugs (53%) and food (22.6%). Based on clinical manifestations, the most experienced by patients were skin and mucosal symptoms (97.4%), respiratory system symptoms (86.1%), cardiovascular system symptoms (50.4%), and digestive system symptoms (23.5%). Patients who experienced anaphylactic shock 51 patients (44.3%). Conclusion: Anaphylactic reactions experienced mostly by women. The most common allergens are drugs. Meanwhile, in terms of the severity of patients experiencing anaphylactic shock, almost half of the cases of anaphylactic reactions.   Pendahuluan: Derajat klinis dari reaksi alergi dibedakan menjadi reaksi hipersensitivitas akut, reaksi anafilaksis, dan syok anafilaksis. Reaksi anafilaksis sistemik merupakan kondisi yang jarang dijumpai dengan prevalensi sekitar 1,6-5,1%. Manifestasi klinis yang terlibat dalam reaksi anafilaksis meliputi gejala kulit dan mukosa, sistem pernafasan, sistem kardiovaskular, sistem pencernaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil deskriptif pasien reaksi anafilaksis di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode 2018 hingga 2021. Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan rancangan studi deskriptif potong lintang. Data diperoleh secara sekunder melalui rekam medis yang tercatat di Bagian Alergi dan Imunologi Penyakit Dalam RSUP Sanglah. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan 115 sampel. Rerata usia pada penelitian ini yaitu 39,0±15,6. Sampel terdiri dari laki-laki 41 (35,7%) dan perempuan 74 (64,3%). Alergen penyebab reaksi anafilaksis terbanyak didapatkan dari obat (53%) dan makanan (22,6%). Berdasarkan manifestasi klinis yang terbanyak dialami pasien adalah gejala kulit dan mukosa sebanyak 97,4%, gejala sistem pernapasan sebanyak 86,1%, gejala sistem kardiovaskular sebanyak 50,4%, dan gejala sistem pencernaan sebanyak 23,5%. Pasien yang mengalami syok anafilaksis 51 pasien (44,3%). Simpulan: Reaksi Anafilaksis dialami sebagian besar oleh perempuan. Alergen terbanyak adalah obat-obatan. Sedangkan dari sisi derajat keparahan pasien yang mengalami syok anafilaksis hampir setengah dari kasus reaksi anafilaksis.
PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN REAKSI HIPERSENSITIVITAS AKUT AKIBAT MEDIA KONTRAS Ni Made Nova Andari Kluniari; I Ketut Suardamana
Ganesha Medicina Vol. 3 No. 1 (2023)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/gm.v3i1.57851

Abstract

The used of iodinated contrast media have increased in recent years. It has been estimated that in the United States alone, 15 million procedures a year contrast media. Approximately 2-3 % patient do pyelogram and myelogram retrograde occurred anaphylactoid reaction. The reaction event during procedure using iodinated contrast media could be fatal. The activated mast cell was not mediated by IgE. Although the use of Low Osmolarity iodinated contrast media could lower the risk of allergic reaction, it was still possible to occur anaphylactoid reaction during the procedure. Here we reported allergic event after using contrast media during PCI procedure. The symptom was relieved with steroid and antihistamin therapy. In this report we focus to discuss the management of preventing allergic reaction and the therapy if the allergic reaction occur.