Nur Hajriya Brahmi
Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi Semarang

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Validitas Skor Apache II, MSofa, dan SAPS 3 Terhadap Mortalitas Pasien Non Bedah di Perawatan Intensif Dewasa RSUP dr Kariadi Semarang Nur Hajriya Brahmi; Danu Soesilowati; Jati Listiyanto Pujo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 8, No 3 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (431.031 KB) | DOI: 10.14710/jai.v8i3.19815

Abstract

Latar Belakang : Terdapat berbagai model sistem severity of illness, digunakan untuk memprediksi mortalitas, keefektifitasan dan lama rawat di perawatan intensif, memprediksi jumlah perawat yang secara efektif dapat menangani pasien, banyaknya pasien yang dirawat dirumah sakit, penghitungan beban biaya kesehatan, dan salah satu komponen evaluasi performance ICU. Diperlukan penilaian validitas antara sistem severity of illness sehingga dapat diterapkan secara maksimal di perawatan intensif.Tujuan : Membandingkan validitas sistem skoring APACHE II, MSOFA, dan SAPS3 terhadap mortalitas pasien ICU non bedah di RSUP dr. Kariadi Semarang.Metode : Penelitian ini adalah uji diagnostik dengan desain kohort retrospektif. Sampel sebanyak 135 sampel dipilih berdasarkan simple random sampling, yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Missing value yakni bilirubin dinilai dan dipertimbangkan dalam interpretasi data. Validitas diperoleh dengan melakukan kalibrasi dan diskriminasi dari hasil penelitian kemudian dibandingkan antara hasil yang didapat.Normalitas data menggunakan uji kolmogorov smirnoff, sementara homogenitas menggunakan uji Levenne. Sampel dikalibrasi denganuji Hosmer Lameshow goodness of fit C, dan area under the receiver operating curve. Penilaian diskriminasi dilakukan dengan uji diagnostik dengan membuat tabel 2x2 dengan komponen pasien outcome, dengan model parsimoni dari tiap-tiap model skoring.Hasil : Kurva ROC memberikan nilai auROC untuk skoring APACHE II, MSOFA, dan SAPS 3 dengan hasil 0,7981, 0,7620, 0,785. Dari hasil tersebut, ketiga penilaian.Kesimpulan : Sistem skoring APACHE II, MSOFA dan SAPS 3 cukup baik untuk digunakan sebagai prediktor mortalitas, dengan APACHE II lebih valid dibandingkan  MSOFA dan SAPS 3.
Ketamin Dan Blok Peritonsiler Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Tonsilektomi Pada Anak Nur Hajriya Brahmi; Doso Sutiyono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 7, No 2 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (324.627 KB) | DOI: 10.14710/jai.v7i2.9824

Abstract

Latar Belakang : Nyeri post operasi tonsilektomi pada anak merupakan hal yang sulit dicegah karena daerah orofaring dan fossa peritonsiler merupakan daerah sensitif nyeri, karena dipersarafi oleh cabang nervus trigeminal dan nervus glossofaringeus, di korteks somatik serebral. Blok peritonsiller diketahui mampu memblok ransang nyeri ini hingga 24 jam post operasi, tergantung dari jenis obat yang diberikan.Tujuan : Mengetahui keefektifitasan blok peritonsiler menggunakan ketamin untuk tata laksana nyeri post operasi adenotonsilektomi pada anak, dan memantau komplikasi mual muntah atau efek psikomimetik dari ketamin (nyeri kepala, halusinasi, mimpi buruk, depersonalisasi) post operasi.Metode : dilakukan observasi terhadap anak laki-laki usia 6-8 tahun, masing-masing diwakili oleh 1 pasien yang menderita adenotonsilitis akan dilakukan adenotonsilektomi.  Masing-masing mendapatkan perlakuan yang sama yakni premedikasi : midazolam 0,07 mg/kgBB, Induksi dengan propofol 2 mg/kgBB lalu dilakukan cuff dalam dengan sevoflurane, baru dilakukan intubasi.  Dexametason 0,1 mg/KgBB intravena diberikan sesaat setelah pemberian propofol.  Lama operasi rerata 10 menit, tehnik operasi adalah diseksi dan dilakukan blok peritonsiler sesaat sebelum pasien dilakukan ekstubasi.  Blok peritonsiler dilakukan pada fossa peritonsiler dengan menggunakan ketamin 0,2 mg/kgBB diencerkan dengan 2 ampul pehakain, disuntikkan 1 ml posterior dan 1 ml anterior fossa peritonsiler sebelum pasien diekstubasi. Dinilai tingkatan nyeri dengan menggunakan skala wong baker, skala numerik, dan skala FLACC1 pada 15 menit pertama di ruang pemulihan, jam pertama, dan jam ke enam, dan dilakukan observasi adakah mual-muntah maupun efek psikomimetik akibat pemberian ketamin post operasi.Hasil : Hasil penilaian 15 menit pertama diruang pemulihan pada pasien pertama  skala wong baker 4, skala numerik 4, skala FLACC 4. Pasien ke dua skala wong baker 2, skala numerik 2, skala FLACC 0. Pasien ke tiga skala wong baker 4, skala numerik 5 dan skala FLACC 2. Hasil penilaian jam ke 1, pasien pertama skala wong baker 2, skala numerik 3, skala FLACC 3. Pasien kedua skala wong baker 2, skala numerik 2, skala FLACC 0. Pasien ke 3 skala wong baker 2, skala numerik 2, skala FLACC 0. Hasil penilaian jam ke 6, pasien pertama skala wong baker 2, skala numerik 2, skala FLACC 0. Pasien kedua   skala wong baker 0, skala numerik 1, skala FLACC 0. Pasien ke tiga skala wong baker 2,skala numerik 1, skala FLACC 0.  Observasi komplikasi PONV post operasi memberikan hasil 1 dari 3 pasien mengalami mual-muntah, tidak ada pasien yang mengalami nyeri kepala, halusinasi atau gangguan prilaku post operatif. Pasien dipulangkan 8 jam post operasi dengan diberikan analgetik post operasi paracetamol 20 mg/kgBB peroral.Simpulan : Blok peritonsiler dengan menggunakan ketamin dan pehakain sebagai pelarut eektif untuk meminimalkan nyeri post operasi hingga 6 jam post operasi, pada ketiga pasien yang diobservasi. Akan dilakukan penelitian menggunakan jumlah sampel besar untuk menilai keefektifitasan blok peritonsiler ini sebagai manajemen nyeri post operasi.