Hasanuddin Yusuf Adan
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Media Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial

Keputusan Mahkamah Rendah Syariah Kuantan Pahang Tentang Tunggakan Nafkah Pasca Perceraian Menurut Hukum Positif Malaysia Dan Hukum Islam Hasanuddin Yusuf Adan; Mohamad Firdaus Bin Tokimin
Media Syari'ah Vol 20, No 2 (2018)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v20i2.6516

Abstract

Abstrak: Menurut Enakmen (Undang-undang) Keluarga Islam Pahang  bahwa, di dalam pasal (seksyen) 70 (1) dan (2): Tunggakan nafkah yang tidak berpanjar, boleh dituntut sebagai suatu utang daripada pihak yang melanggar janji dan, jika tunggakan itu terkumpul harus dibayar sebelum suatu perintah penerimaan dibuat terhadap pihak yang melanggar janji, tunggakan itu boleh dibuktikan dalam kebangkrutannya pailit dan, jika tunggakan itu terkumpul harus dibayar sebelum dia meninggal dunia, tunggakan itu hendaklah menjadi suatu utang yang harus dibayar dari pusakanya. Dan  tunggakan nafkah yang terkumpul harus dibayar sebelum orang yang berhak meninggal dunia dan boleh dituntut sebagai utang oleh warisnya. Oleh karena itu, nafkah tertunggak merupakan nafkah selama perkawinan yang selama ini tidak atau belum diberikan oleh suami kepada isterinya. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana keputusan Mahkamah Syariah Rendah Kuantan Pahang tentang tunggakan nafkah pasca perceraian menurut Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri Pahang dan bagaimana pemberian tunggakan nafkah isteri pasca perceraian menurut perspektif fikih Islam. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kajian lapangan dan kajian kepustakaan (library research). Mahkamah Rendah Syariah Kuantan Pahang mengambil inisiatif terhadap tunggakan nafkah isteri pasca perceraian dengan memerintahkan setiap suami harus bertanggung jawab tentang hal tersebut supaya membayar nafkah kepada seseorang yang lain jika dia tidak mampu, baik sepenuhnya atau sebagiannya. Selain itu, Mahkamah dapat menentukan nafkah tersebut dengan memerintahkan suami untuk membayar nafkah tersebut daripada jaminan dari semua harta benda miliknya. Mayoritas, ulama sepakat bahwa tunggakan nafkah isteri otomatis menjadi utang suami jika ia menolak memberikannya pada isteri, dan utang nafkah itu tidak bias selesai kecuali dilunasi atau direlakan oleh isteri seperti layaknya utang-utang pada umumnya. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa suami tidak akan terlepas dari kewajiban memberikan nafkah kepada isteri baik dalam perkawinan maupun sesudah perceraian.Abstract: According to the enactment (law) of the Pahang Islamic family that, in sections (section) 70 (1) and (2): Arrears of a non-long living, may be prosecuted as a debt from the party violating the pledge and, if the arrears are accumulated should be Paid before an acceptance order is made against the party in violation of the pledge, the arrears can be proved in his resurrection of bankruptcy and, if the arrears are accumulated must be paid before he dies, the arrears should be A debt to be paid from its inheritance. And the arrears of the accumulated living shall be paid before the right person dies and may be prosecuted as debt by his heirs. Therefore, the outstanding living is living during the marriage that has not been given by the husband to his wife. The research question in this thesis is how the decree of Sharia Court of low Kuantan Pahang about the arrears of post-divorce living according to the enactment of the Pahang state Islamic Family law and how the provision of arrears for the wives After a divorce in Islamic jurisprudence. In this research, the authors use the method of field studies and literature studies (library research). Syariah Low Court Kuantan Pahang took the initiative against the arrears of the post-divorce fund by ordering each husband to be responsible for it to pay a living to someone else if he could not afford, either completely or partially. Besides, the court may make a living by ordering the husband to pay the living from the guarantees of all his possessions. The majority, the clerics agreed that the arrears would automatically become a husband's debt if he refused to give him to the wife, and the debt was not completed unless it was repaid or made by wives like debts in general. From the above exposure can be concluded that the husband will not be separated from the obligation to provide a living to the wife either in marriage or after divorce.
Eksistensi Kota Madani dalam Perspektif Siyasah Syar'iyyah (Kajian Eksplisit Kota Madani Banda Aceh) Hasanuddin Yusuf Adan
Media Syari'ah Vol 19, No 2 (2017)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v19i2.2022

Abstract

Istilah Kota Madani sering dikaitkan dengan keberadaan kota Madinah di zaman Nabi dan Khulafaurrasyidin sehingga sebahagian orang cenderung mengartikan kata madani sebagai padanan kata madinah. Dalam memimpin kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Jamal sering sekali mengkampanyekan istilah kota madani untuk Banda Aceh sehingga istilah kota madani sudah sangat akrab bagi warga kota tersebut. Pertanyaan yang muncul di sini adalah; bagaimana konsep kota madani yang sebenarnya? Dan mana contoh konkrit kota madani yang pernah wujud dalam kehidupan ummat manusia di dunia? Serta bagaimana kedudukannya dalam konteks siyasah syar’iyyah. Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut perlu kehadiran teknis dan metodologi penulisan sebagai penguat keabsahan suatu tulisan ilmiah seperti metode kualitatif yang sangat layak digunakan untuk tulisan ini sebagai jenis penelitian ilmu sosial. Dari hasil kajian yang ada ditemukan bahwa konsep kota madani merupakan sebuah kota yang dihuni dan dipimpin oleh ummat Islam yang berlaku amalan ketauhidan, amalan syari’ah, dan amalan akhlak karimah di dalamnya sebagaimana yang pernah wujud dalam wilayah Madinah yang dipimpin Rasulullah SAW dan para khulafaurrasyidin dahulu kala, kota tersebut harus dipimpin oleh pemimpin muslim yang tha’at, beriman, dan bersyari’ah. Dengan demikian kota Banda Aceh yang sering disebut-sebut sebagai kota madani perlu dipersiapkan unsur-unsur kemadaniannya sehingga ia layak disebut Kota Madani.