Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

PERLINDUNGAN HAK PEKERJA DALAM SATU PERUSAHAAN UNTUK MELANGSUNGKAN PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XV/2017 Karo Karo, Rizky; Sukardi, Ellora; Purnama, Sri
JURNAL HUKUM MEDIA BHAKTI Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32501/jhmb.v3i1.36

Abstract

Latar belakang didasari oleh diskriminasi hak pekerja yang ingin melangsungkan perkawinan dalam satu perusahaan namun dilarang oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) Pasal 153 ayat (1) huruf f. Rumusan masalah yang diangkat ialah: (1). Bagaimanakah hak pekerja dalam satu perusahaan yang ingin melangsungkan perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017?; (2). Upaya apakah yang harus dilakukan oleh pihak pemberi kerja pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017?.Tujuan hasil kajian ini adalah: (1). menganalisis konsekuensi hukum dan hak kepada pekerja yang melakukan hubungan perkawinan dengan rekan kerja satu perusahaan; (2). Untuk mengedukasi pekerja untuk tidak takut diberhentikan oleh pelaku usaha karena melangsungkan perkawinan dengan rekan sekerja dalam satu perusahaan yang sama. Metode penelitian adalah yuridis normatif, penulis menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 terhadap UU Ketenagakerjaan, menggunakan analisis kualitatif dan menarik kesimpulan dari umum ke khusus.Hasil penelitian adalah (1). Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan hak asasi manusia oleh Mahkamah Konstitusi, dan pengusaha tidak dapat lagi memberhentikan pekerja yang akan melangsungkan perkawinan dengan teman di satu perusahaan yang sama; (2). Pemberi kerja wajib segera merubah Peraturan Perusahaan, perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dengan menyesuaikan kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XV/2017 jika tidak diubah maka peraturan perusahaan, perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama adalah batal demi hukum (nietigheid vanrechtswege).Adapun saran penulis ialah (1). Pengusaha wajib mengubah Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama dengan menyesuaikan Putusan MK yang pada pokoknya tidak dapat memberhentikan pekerja yang menikah dengan rekan satu perusahaan; (2). Jika pengusaha/pemberi kerja khawatir kedua pekerja tersebut akan melakukan kolusi maka kedua pekerja tersebut sebaiknya ditempatkan di divisi pekerjaan yang berbeda.
Kajian Terhadap Hak Eksklusif Atas Jingle Dari Perspektif Hak Cipta Dan Merek Hosiana Daniel Adrian Gultom; Ellora Sukardi; Serlly Waileruny
Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Serang Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30656/ajudikasi.v5i2.3978

Abstract

Jingle is included in the category of creation in the form of songs or music under copyright law and is included in the type of sound mark in trademark law. Therefor there is a double legal protection for the jingle, namely copyright and trademark. Copyright law protection uses a declarative system while trademark law protection uses a constitutive system. In copyright law and trademark law there are exclusive rights, namely rights granted by the state to the rightful owner. Exclusive rights in copyright are moral rights and economic rights while exclusive rights in trademarks are called trademark rights. With the existence of moral rights and economic rights in the context of copyright law and rights to trademarks in the context of trademark law, various privileges arise for the owner of the jingle. These features are reviewed by the author in this paper with the aim that the jingle owner can understand the moral rights and economic rights in the copyright law system and the rights to trademarks in the trademark legal system that are related to the jingle in a precise and comprehensive manner.
PENAHANAN IJAZAH PEKERJA OLEH PEMBERI KERJA DALAM PERSPEKTIF TEORI KEADILAN BERMARTABAT [Detention of Diploma Certificates by Employers from the Perspective of the Dignified-Justice Theory] Ellora Sukardi; Debora Pasaribu; Vanessa Xavieree Kaliye
Law Review Volume XX, No. 3 - March 2021
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan | Lippo Karawaci, Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/lr.v0i0.3107

Abstract

A diploma certificate is a document that has a value to a person has after he/she has completed one stage of education. A diploma certificate is useful for job applications depending on the qualifications that were acquired. However, there is a custom in society where employers withhold their workers’ diplomas for a specified period of service. Withholding diplomas sometimes gives workers disadvantages because of the lack of security guarantee and also it creates greater risk and responsibility for employers. This research is conducted with juridical-normative methods. In terms of the Dignified Justice Theory which was coined by Teguh Prasetyo, the theory focuses on the concept of humanizing humans (nge wongke wong), therefore detention of diplomas that is carried out unilaterally by the employer without any guarantee of security protection for the workers’ diploma is considered as unfair and violates the rights or harms workers. In this case, it is necessary to have detailed clauses set out in the work agreement. In addition, the employer must have a Standard Operating Procedure regarding the holding of diplomas to ensure the security as long as they are kept.Bahasa Indonesia Abstrak: Ijazah merupakan dokumen yang bernilai bagi seseorang setelah yang bersangkutan menyelesaikan satu tahapan pendidikan. Ijazah berguna untuk melamar pekerjaan sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki pemegang ijazah tersebut. Namun, terdapat sebuah kebiasaan di masyarakat dimana pemberi kerja menahan ijazah pekerjanya dalam masa kerja yang ditentukan. Penahanan ijazah terkadang merugikan pekerja dikarenakan keamanan ijazah yang kurang terjamin serta menimbulkan risiko dan tanggung jawab yang lebih besar pada pemberi kerja untuk menyimpan dokumen berharga tersebut. Metode yang digunakan adalah yuridis-normatif. Ditinjau dari Teori Keadilan Bermartabat yang dicetuskan oleh Teguh Prasetyo, yang menitikberatkan pada konsep memanusiakan manusia (nge wongke wong), penahanan ijazah yang dilakukan secara sepihak oleh pemberi kerja tanpa adanya jaminan atas perlindungan keamanan bagi ijazah pekerja dinilai kurang adil dan melanggar hak atau merugikan pekerja. Dalam hal ini, perlu adanya klausul yang terperinci yang dituangkan di dalam perjanjian kerja. Selain itu, pemberi kerja harus memiliki prosedur pelaksanaan mengenai penahanan ijazah untuk menjamin keamanan ijazah pekerja selama ijazah tersebut disimpan oleh pemberi kerja.
Pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam Dinamika Perubahan Kebijakan Pendidikan Anak dan Teknologi Selama Pandemi Covid-19 Ellora Sukardi; Graceyana Jennifer; Vanesia Ciayadi Kwang
Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan Vol 3, No 1 (2022): Maret
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/jphk.v3i1.12427

Abstract

Penelitian yuridis normatif ini dilakukan untuk mengkaji implikasi dinamika regulasi Pemerintah dalam bidang pendidikan terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di masa pandemi Covid-19.  Pandemi Covid-19 memberikan tantangan bagi Pemerintah untuk tetap memperhatikan kesejahteraan hidup masyarakatnya, terutama di bidang Pendidikan. Pendidikan merupakan hak asasi setiap orang yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena melalui pendidikanlah individu dapat mengembangkan kemampuan intelektualnya sehingga berdaya saing di kemudian hari. Pemerintah mengubah kebijakan sistem pembelajaran yang dilakukan secara langsung menjadi daring, yang membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. Akan tetapi kebijakan Pemerintah ini tidak dibarengi dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga kebijakan ini justru menghambat anak-anak dalam mengikuti pembelajaran daring. Bahkan ada beberapa siswa yang mengalami putus sekolah. Kejadian ini menunjukan kelalaian pemenuhan HAM yang sudah semestinya dipenuhi, mengingat amanat dari UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Penelitian ini menemukan fakta bahwa dinamika hukum yang ada selama pandemi tidak menjadi penyelesaian yang tepat terhadap problematika pendidikan yang ada dan justru menimbulkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya, sehingga perlu adanya instrumen hukum dengan parameter yang jelas mengenai mekanisme pendidikan yang tepat, guna menjamin pemenuhan HAM atas pendidikan oleh setiap anak.
Upaya Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga Akibat Covid-19 Perspektif Teori Keadilan Bermartabat Ellora Sukardi; Debora Pasaribu; Vanesia Ciayadi Kwang
Jurnal Lemhannas RI Vol 9 No 1 (2021)
Publisher : Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55960/jlri.v9i1.373

Abstract

Pandemi Covid-19 sudah lebih dari setahun melanda seluruh dunia termasuk Indonesia. Hal yang sangat memprihatinkan adalah dampak ekonomi seperti banyak yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Kesulitan finansial ini menjadi pemicu terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai pelampiasan atas perasaan yang kesal, kecewa, stres, hingga depresi. Perempuan dan anak sebagai pihak yang lemah sering dijadikan sasaran kemarahan dari suami. Perlindungan hukum bagi perempuan dan anak-anak terdapat pada Undang-Undang Penghapusan KDRT. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai bagaimana perlindungan hukum dan pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga akibat Covid-19 serta upaya penanggulangannya yang tepat apabila ditinjau dari perspektif Teori Keadilan Bermartabat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif, menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Peraturan Pemerintah terkait serta bahan hukum sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan. Analisis data bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa KDRT merupakan kejahatan yang bertentangan dengan teori keadilan bermartabat, hukum positif, serta dapat merusak ketahanan nasional. Untuk menanggulangi hal tersebut, perlunya penyuluhan/edukasi oleh pemerintah kepada masyarakat mengenai KDRT ini.
Memberantas Prostitusi Online pada Masa Pandemi Covid-19 Melalui Sosialisasi Hukum Perspektif Teori Keadilan Bermartabat Ellora Sukardi; Debora Pasaribu; Graceyana Jennifer; Vanessa Xavieree Kaliye
Jurnal Lemhannas RI Vol 9 No 1 (2021)
Publisher : Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55960/jlri.v9i1.380

Abstract

Covid-19 tidak mengurangi penyakit masyarakat, yaitu prostitusi. Pelaku (Pekerja Seks Komersial, Muncikari, Pengguna) memanfaatkan teknologi internet, media online untuk bertransaksi dan bertemu nantinya. Pasalnya, Prositusi Online adalah cara pelaku bertahan hidup di masa Covid-19, sekalipun prostitusi telah melanggar protokol kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis relevansi antara prostitusi online dan pemberantasan Covid-19, serta menghasilkan suatu rekomendasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan hukum normatif, dimana Peneliti juga menggunakan data sekunder dan pendekatan peraturan perundang-undangan untuk mengambil suatu kesimpulan secara deduktif. Hasil penelitiannya ialah prostitusi online memang hanya menggunakan media online, whatsapp, facebook, instagram untuk perantara bertransaksi, namun tetap berujung pada suatu pertemuan dan kegiatan prostitusi secara langsung. Pada masa Covid-19 kegiatan amoral tersebut rentan dengan penularan penyakit kelamin dan penularan Covid-19 secara signifikan. Cara memberantasnya tidak cukup dengan memberikan pelatihan keterampilan, atau bimbingan moral, namun juga perlu sosialisasi hukum dan akibat hukum, baik dari denda dengan nominal yang besar maupun penjara dalam rentang waktu tertentu. Oleh sebab itu, sejatinya sosialisasi hukum adalah cara memanusiakan manusia (nge wong ke wong) sebagai tujuan dari teori hukum keadilan bermartabat, sebab dengan sosialisasi hukum maka pelaku akan memiliki budaya hukum yang lebih baik dan enggan untuk melakukan prostitusi.