Nursyamsudin Nursyamsudin
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

STATUS HUKUM WAKĀLAH ṬALAK (Studi Komparatif antara Pandangan Imᾱm Syᾱfi’ῑ dan Ibnu Hazm) Nursyamsudin Nursyamsudin; Burhanudin Burhanudin
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (865.573 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v2i2.2168

Abstract

AbstrakWakālah talak yaitu pengucapan talak seorang suami dengan menggunakan utusan atau wakil untuk menyampaikan kepada istrinya yang berada di tempat lain, bahwa suaminya telah menalaknya. Dalam kondisi seperti ini, orang yang diutus tersebut bertindak sebagai orang yang mentalak. Mengenai hukum keabsahan dalam mewakilkan talak, para ulama berbeda pendapat. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah a. Bagaimana pendapat Imᾱm Syᾱfi’ῑ dan Ibnu Hazm mengenai status hukum wakālah  talak, b. Bagaimana istinbāṭ hukum Imᾱm Syᾱfi’ῑ dan Ibnu Hazm, c. Apa persamaan serta perbedaan dari keduanya. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah penelitian pustaka, dalam menganalisis data penelitian ini bersifat deskriptif analitis-komparatif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer yaitu kitab al-Umm dan al-Muhallā Sedangkan sumber data skunder yaitu kitab-kitab lain serta buku-buku yang membahas tentang status hukum wakālah  talak. Imᾱm Syᾱfi’ῑ berpendapat bahwa wakālah talak adalah hukumnya boleh dan sah, dengan alasan bahwa perwakilan merupakan hal yang diperbolehkan agama termasuk didalamnya masalah talak. Karena perkara talak sama halnya seperti perkara muamalah lainnya yang perlu untuk diwakilkan, seperti jual beli, salam, rahn, dan pernikahan. Adapun menurut pendapat Ibnu Hazm bahwa wakālah talak adalah tidak boleh dan tidak sah, dengan alasan bahwa tidak ada naṣ yang menjelaskan tentang membolehkan mewakilkan talak, karena mewakilkan talak mempunyai arti pemberian hak milik, sedang menurut hukum syara’ hak talak itu milik laki-laki (suami). Metode istinbāṭ yang digunakan oleh Imᾱm Syᾱfi’ῑ adalah al-Qur’an, al-Hadīṡ, ijma’ sahabat dan qiyᾱs. Sedangkan metode istinbāṭ yang digunakan oleh Ibnu Hazm adalah al-Qur’an. Dalam analisa akhir, dapat diketahui persamaan dan perbedaan pemikiran Imᾱm Syᾱfi’ῑ dan Ibnu Hazm yaitu sama-sama mengambil dalil dari sumber utama yakni al-Qur’an. Sedangkan perbedaannya yaitu, dalil yang dijadikan landasan Imᾱm Syᾱfi’ῑ adalah QS. Surat an-Nisā ayat 35, Sedangkan yang dijadikan landasan Ibnu Hazm  adalah QS. al-Baqarāh ayat 229. Kata Kunci: Hukum Perceraian, Talak, Wakālah. Abstract Wakālah divorce is the pronunciation of a husband by using a messenger or representative to convey to his wife somewhere else, that her husband has yelled at her. Under these circumstances, the person who is sent is acting as a bully. Regarding the law of legitimacy in representing divorce, the scholars differed. Formulation of problem in this research is a. What is the opinion of Imᾱm Syᾱfi'ῑ and Ibn Hazm regarding the legal status of wakālah divorce, b. How istinbāṭ law Imᾱm Syᾱfi'ῑ and Ibn Hazm, c. What are the similarities and differences between the two. The method used in collecting data is literature research, in analyzing the data of this study is analytical-comparative descriptive. Sources of data used in this study in the form of primary data is the book of al-Umm and al-Muhallā While secondary                                                                                                                data sources are other books and books that discuss the legal status wakālah divorce. Imᾱm Shᾱfi'ῑ argues that wakālah divorce is law permissible and legitimate, on the grounds that representation is a religious thing, including divorce. Because divorce case is the same as other muamalah matters that need to be represented, such as buying and selling, greetings, rahn, and marriage. In Ibn Hazm's view that wakālah divorce is unlawful and unlawful, on the grounds that there is no naṣ explaining about allowing representation of the divorce, since representing divorce has the meaning of granting property right, while under the law the right of the right belongs to a man husband). The istinbā Metode method used by Imᾱm Shᾱfi'ῑ is al-Qur'an, al-Hadīṡ, ijma 'companions and qiyᾱs. The istinbā metode method used by Ibn Hazm is the Qur'an. In the final analysis, we can see the similarities and differences of thought Imᾱm Syᾱfi'ῑ and Ibn Hazm regarding the legal status of wakālah divorce. The equality of both, that is equally take the proposition from the main source of the Qur'an. While the difference is, the proposition that the foundation of Imᾱm Syᾱfi'ῑ is QS. Surat an-Nisā verse 35, While the basis of Ibn Hazm is QS. Al-Baqarāh verse 229. Keywords: Divorce Law, Divorce, Wakālah.
PEMBAGIAN HARTA WARIS SEBELUM MUWARIS MENINGGAL DUNIA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM Nursyamsudin Nursyamsudin
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.951 KB) | DOI: 10.24235/mahkamah.v3i1.2747

Abstract

ABSTRAK Islam memandang bahwa pembagian harta peninggalan kepada yang berhak mewarisi mewujudkan kasih dan sayang antara keluarga untuk menanggung dan saling menolong dalam kehidupan sesama keluarga. Karena itu Allah telah memberikan ketentuan-ketentuan-Nya yang baik dan adil dalam al-Qur’an yang dapat menimbulkan kemaslahatan dalam keluarga. Hukum waris dapat diartikan sebagai ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup. Baik mengenai harta yang ditinggalkan maupun orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut. Bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan itu. Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggalan orang yang hartanya diwarisi. Agama Islam menghendaki prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat ditegakkan (al-Qur’an surat al-Nisa ayat 11). Problematika yang muncul sekarang ini adalah banyak orang yang tidak memahami ilmu mawaris, disisi lain banyak anggota masyarakat yang tidak mau tahu dengan ilmu mawaris, ini berakibat pada pembagian harta waris menurut kehendak mereka sendiri dan tidak berpijak pada cara-cara yang benar menurut Islam. Misalnya pembagian harta warisan sama rata antara semua anak. Bahkan anak angkat memperoleh bagian, cucu mendapat bagian walaupun ada anak si mayit dan lain-lain. Kata Kunci: Harta Waris, Hukum Waris, Muwaris Islam considers that the division of inheritance to the inherited rights manifests the love and affection between the family to bear and help each other in the life of the family. Therefore God has given His good and just provisions in the Qur'an which can lead to the welfare of the family. The law of inheritance can be interpreted as a science that discusses the removal of the relics of someone who died to the living. Both about the property left behind and the people who are entitled to receive the relics. Part of each heir, as well as how to settle the division of the estate. Islam regulates the provision of inheritance in detail in order to avoid disputes between fellow heirs left behind people whose property is inherited. Islam wants the principle of justice and justice as one of the joints of community development can be upheld (al-Qur'an letter al-Nisa verse 11). The problems that arise today are many people who do not understand the science of mawaris, on the other hand many members of the community who do not want to know with mawaris science, this result in the distribution of inheritance according to their own will and not based on the right way according to Islam. For example the division of inheritance equally between all children. Even a foster child gets a share, grandchildren gets a share even though there is a son of the dead and others. Keywords: Inheritance, Inheritance Law, Muwaris