Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

ANALISIS ISTINBATHUL AHKAM TERHADAP FATWA MUI TENTANG PENYELENGGARAAN SHALAT JUM’AT DAN JAMAAH UNTUK MENCEGAH PENULARAN WABAH COVID 19 Ahmad Sanusi; Dian Febriyani; Usman Mustofa; Edy Setyawan
Mahkamah : Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24235/mahkamah.v6i2.8149

Abstract

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa Nomor no 31 tahun 2020 Teantang Penyelenggaraan Shalat Jumat dan Jamaah Untuk mencegah Penularan Wabah Covid 19. Secara umum MUI sudah menyusun Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U596/MUI/X/1997. Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa setiap fatwa harus berupa pendapat hukum yang mempunyai dasar-dasar paling kuat dan membawa maslahat bagi umat. Dasar dasar yang dijadikan pegangan dalam melahirkan fatwa adalah al-Quran, hadits, ijma’, qiyas dan dalil-dalil hukum lainnya.. namun demikian  ada  masalah dalam fatwa itu yaitu bagaimana bristidlal dan  beristinbath al ahkam dalam fatwa tersebut. Makalah ini menjelaskan analisis istinbathul ahkam terhadap fatwa MUI di atas serta apa implikasi fatwa tersebut. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskripsi analisis. Makalah ini merupakan hasil penelitian literatur. Hasil dari penelitian ini adalah pertama: pertama: Istidlal atau Istinbathul ahkam  yang dilakukan MUI dalam mengeluarkan fatwa no. 31 tahun 2020 adalah:  sebagai berikut: Pertama Ayat al Al Quran surah al Jumu’ah ayat 9, al Baqarah ayat 43, an nisa 102, al Hajj ayat 77, al Baqarah ayat 195 dan 185, al haj ayat 78, at Thagabun 16, ayat -ayat di atas kebanyakan terkait dengan kewajiban shalat Jum’at dan wajibnya Shalat serta adanya rukhsah dan keringanan dalam Islam, serta menjelaskan bahwa Allah Swt menghendaki kemudahan dalam melaksanakan beribadah bukan menyulitkan atau memberatkan dalam menjalankan ibadah bagi mukallaf.Kedua Hadis, yakni hadis Riwayat Abu dawud, hadis Riwayat Bukhari, Riwayat Ibnu Majah, Riwayat Muslim, Riwayat Baihaqi, Riwayat Ahmad, Riwayat ad Daruquthni, al baihaqi dan al hakim, ketiga: Atsar Sahabat yakni bersumber dari Riwayat musonnaf Abdurrazaq as shon’aniKeempat: Qaidah Fiqhiyah yakni ada enam kaidah fiqhiyah yang intinya terkait adanya keringanan dalam beribadah selagi ada hajat atau ada kebutuhan atau kedharuratan Keenam:  Pendapat para ulama. Yakni ar Ramli dari madzhab Syafei, Ibnu Alan Ash Shiddiqi al Syafei, dari madzhab Syafei,  al Kasani dari madzhab Hanafi, Syaikh Ibnu Abidin dari madzhab Hanafi, Imam Nawawi dari madzhab Syafei, Syaikh al Murawad, Syaikh Muhammad Syamsul Haq Abadi, Imam Nawawi dari madzhab Syafei, imam al Mawardi dari madzhab Syafei, Imam Nawawi dari madzhab Syafei, Syaikh Manshur al Bahuty. Dari urutan di atas sebenarnya dapat dikatakan bahwa fatwa tersebut sudah memenuhi syarat dalam beristidlal sesuai dengan pendapat jumhur ulama.  
Pemikiran Ushul Fiqh Imam Syafi’i Ahmad Sanusi
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 19 No 2 (2018): Juli - Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v19i2.3304

Abstract

Ilmu Ushul fiqh yang beliau kemukakan dihadapan para ulama adalah merupakan cara atau metode baru yang mana di saat itu belum pernah diungkapkan yang sama dengan metodologi yang Imam Syafei ungkapkan dengan gaya diskusi dan cara beliau beristimbath, sehingga kebanyakan mengatakan bahwa Syafii lah orang yang pertama kali pembuat dan pencetus Ushul Fiqh secara metodologis atau bias juga dikatakan sebagai arsitek ilmu ushul fiqh. Imam Syafei dalam beristimbath suatu hukum tidak pernah terlepas dari dalil Kitab dan Sunnah serta pendekatan Bahasa yang sangat dalam (Daqiq) sehingga beliau berbeda pendapat dengan madzhab Hanafiyah dalam masalah Istihsan, karena menurutnya istihsan sudah lepas dari al quran dan sunnah.Metodolgi istimbath hukum yang Syafei gagas ini yang kemudian hari dikenal dengan ilmu Ushul Fiqh ini adalah merupakan pemikiran moderat beliau dalam memahami ayat al quran dan hadis, moderat dalam arti pertengahan antara aqli dan naqli, namun demikian Syafei menghormati orang yang berbeda pendapat dengannya, seperti dengan Imam Muhammad bin Hasan dari Madzhab Hanafi.
Hak-Hak Pekerja dalam Islam Ahmad Sanusi
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 21 No 2 (2020): Juli-Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v21i2.3845

Abstract

Seorang yang memeluk agama Islam bukan hanya diajarkan beribadah kepada Allah Swt. akan tetapi juga dijarkan bagaimana berinteraksi antara sesamana manusia, yang mana hal ini yang biasa disebut dengan muamalah, maka di dalam Islam diajrakan bagaimana bermuamalah dengan baik dengan dibuatnya hukum beragama dalam muamalah yang kemudian dikembangkan oleh para ulama fiqih dalam muamalh tersebut.Islam telah menjamin hak-hak pekerja, maka Islam telah meletakkan kaedah-kaedah yang menjamin terlaksananya hak-hak itu dan mengayominya. Artikel ini kesimpulanya adalah sebagai berikut: pertama; Islam mengakui prinsip pembagian pekerja kepada pekerjaan langka, dan tidak langka. Dan ia juga menjelaskan bahwa di sana ada jenis pekerja tetap atau stabil seperti petani dan pedagang. Dan tujuan pembagian ini adalah untuk menerapkan keadilan dalam membagikan upah dan pekerjaan. Kesamaan Pekerja dalam mendapatkan kelayakan martabat dan kehormatan sebagai manusia. Kedua: Pada asalnya Islam menganggap bahwa semua kelompok pekerja, baik itu yang spesialis dan upah yang tinggi, dan selian yang tidak spesialis, pada hakikatnya sama dalam kemuliaan manusia, dan dalam melaksanakan memuliakan manusia maka semuanya adalah anak Adam dan manusia sama semuanya adalah hamba Allah, Ketiga: Islam tidak memberikan hak istimewa kepada kelompok tertentu atas kelompok yang lainnya dan tidak mengakui dominasi salah satu kelompok atas yang lainnya. Keempat: Islam telah meletakkan kaedah-kaedah umum dan prisnsip-prinsip untuk melindungi pekerja dari pekerjaannya, kelima: Islam memperhatikan kontrak kerja, untuk menjaga atas hak-hak pekerja dengan konsekwen.
Teori Maqoshid Syariah dan Penerapannya pada Fatwa Korona (Studi Analisis Kritis) Ahmad Sanusi
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 21 No 1 (2020): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v22i1.2914

Abstract

Abstrak Setelah mewabahnya corona atau covid 19 di seluruh dunia termasuk Indonesia mau tidak mau dalam rangka memutus rantai penyebaran itu para ulama membuata fatwa terkait ibadah di dalam wabah corona, fatwa itu tentu berdarkan masukan-masukan dan ajuran-anjuran dari ahli Kesehatan dan organisasi Kesehatan dunia (WHO)yang mana dalam anjurannya di antaranya adalah hindari kontak fisik di antaranya bersalaman, dan hindari kerumunan. Dalam hal bagaimana beribadah di tengah pandemic virus corona atau covid 19 para ulama dunia sudah mengeluarkan fatwanya terkait hal itu, seperti ulama Saudi arabia, ulama al azhar, Mesir, Lembaga Fatwa Kerajaan Jordania, dan juga Majelis Ulama Indonesia (MUI), mereka sepakat untuk kebolehan meninggalkan shalat jumat dan diganti shalat dhuhur, menganjurkan shalat di rumah, mengajurkan tidak bersalaman, mengajurkan shalat tarawih di rumah, semua hal itu berdasarkan pendekatan masalahta dan maqoshid Syariah. Setelah dikaji penulis menyimpulkan dalam makalah ini adalah; pertaman: Tujuan Allah Swt. Menciptakan hukum, atauran dalam syariat Islam adalah untuk kemasalahatan manusia dan mencegah kemudharatan, maka wajar produk ulama dalam fiqh selalu berubah sesuai dengan zaman waktu dan keadaan di mana manusia itu hidup.Kedua: Penggunaan teori maqoshid Syariah dalam masalah hukum fiqih terkait dengan wabah corona atau covid 19 adalah sudah sesuai dengan dhawabit dan kaedah-kaedah umum dalam berijtihad, sehingga menurut penulis hal itu sudah tepat penerpanya.
Konsep Negara Menurut Ihkwanul Muslimin Ahmad Sanusi
Al Ahkam Vol. 14 No. 2 (2018): Juli - Desember 2018
Publisher : Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/ajh.v14i2.1426

Abstract

Tulisan ini ingin mengungkapkan konsep bernegara menurut sebuah kelompok yang berdiri di Mesir yang bernama ikhwanul muslimin. Kelompok ini bermula bertujuan untuk mendidik rakyat, meningkatkan standard hidup mereka, dan menyebarkan pesan “pranata Islam (al nizham al-Islami)”. Gerakan yang didirikan oleh Hasan al banna ini menegaskan kembali visi Islam yang komprehensif, yang meliputi kehidupan politik, sosial, dan ekonomi: “Islam adalan iman dan ritual, negara (wathan) dan kebangsaan, agama dan negara, spiritualitas dan amal, Alquran dan pedang”. Pada saat yang sama, mereka mengungkapkan kembali, sebagai cita-cita mereka, institusi Kekhalifahan selaku kepala seluruh umat Islam didunia. Sebelum cita-cita itu tercapai, mereka cukup puas dengan pandangan modernis tentang demokrasi kontitusional bagi negara-negara Islam yang berlainan Al-Banna memandang patriotisme (membela tanah air) sebagai kewajiban suci, dan menetapkan Mesir sebagai negara pillihan mereka untuk mewujudkan cita-cita itu. Namun kemudian kelompok ini tidak puas hanya dengan gerakan social tetapi ia merambah ke gerakan politik, maka mulailah mereka menguasai beberapa jabatan-jabatan penting di Mesir dan akhirnya terjadilah insiden berdarah yaitu Pada bulan Desember 1948, diantaranya pembunuhan atas kepala kepolisian Kairo, pemerintah Mesir di bawah raja Faruk akhirnya memutuskan melarang kegiatan al-Ikhwan al- Muslimin dan menangkap tokoh-tokoh utama organisasi itu selain Hasan al-Banna.hal itu sebagai reaksi terhadap terjadinya serentetan insiden berdarah. Konsep negara menurut ikhawanul muslimin sebagaiman yang diungkpakan oleh salah seorang tokoh ikhwanul muslimin Sayid Qutub dalam bukunya Al- Adalah al-Itjima’iyah fi al-Islam adalah sebagai berikut pertama: Pemerintah Supra Nasional kedua: Persamaan Hak Antara Para Pemeluk Berbagai Agama ketiga: negara harus berdasar tiga asas, yakni keadilan penguasa, ketaatan eakyat dan permusyawaratan antara pengusaha dan rakyat.selain itu menurutnya bahwa pemerintah atau negara harus melaksanakan syariat Islam secara keseluruhanKata kunci: ikhwanul muslimin, konsep, negara, pemikiran
Ijtihad Progresif Mahmud Syaltut tentang Hukum Pidana Islam dan Perbandingannya dengan Madzhab-Madzhab Fiqih Muhammad Ghufron; Ahmad Sanusi
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 8 No. 2 (2022): Desember 2022
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tulisan ini akan menganalisis ijtihad Mahmud Syaltut tentang hukum pidana Islam serta perbandinganya dengan ulama-ulama madzhab fiqih lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah comparative analysis di mana penulis akan menganalisis ijtihad Mahmud Syaltut tentang hukum pidana Islam lalu membandingkannya dengan ijtihad ulama -ulam madzhab fiqih lainnya. Untuk menganalisis ijtihad Mahmud syaltut penulis akan menggunakan buku-buku karangan Mahmud Sylatut yang berbahasa Arab di antaranya: mintaujihaat al Islam, al Islam Aqidah Wasyariah, al fatawa, Tafsir al Quranul Karim dan lain-lain, Adapun untuk menganalisis ijtihad ulama-ulama madzhab fiqih penulis menggunakan rujukan asli berbahasa Arab seperti: Fathul Qodir, Al Mughni li Ibnu Qudamah, Bada’iu Shonaii dan Mughnil Muhtaj. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa ijtihad Mahmud Syaltut dalam bidang hukum pidana lebih erat mendudukan pidana dengan Sad dzariah di mana hal itu agar tercapai tujuan Syariah Islam atau Maqoshid Syariah, selain itu agar terwujudnya kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. adapun persamaannya adalah sama-sama berpegang pada nash-nash al quran dan hadis, sedangkan perbedaanya adalah Ijtihad Mahmud Syaltut lebih banyak mengaitkan masalah pidana dengan masa sekarang serta selalu berpegang pada maqoshid Syariah, sedangkan ulama-ulama Fiqih lebih pada teksnya tanpa memperhatikan kondisi zaman perbuatan pidan itu dilakukan. Selain itu ada perbedaan yang mencolok dalam hukuman pidana bagi had riddah (murtad) di mana Syaltut berpendapat bahwa hukuman mati bagi pelaku riddah atau murtad yang difatwakan para ulama madzhab adalah hukuman yang salah dan Islam tidak mengenal hukuman tersebut menurutnya, oleh karena itu hukuman itu harus dibatalkan.
Analysis of Buying and Selling Mystery Boxes on the Online Marketplace in the Islamic Law Perspective Mabruroh Mabruroh; Dedi Sunardi; Naf'an Tarihoran; Ahmad Sanusi; Usman Usman
MUAMALATUNA Vol. 15 No. 1 (2023): Januari-Juni 2023
Publisher : Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/mua.v15i1.8157

Abstract

Buying and selling is an activity in everyday life and has a long history for humans, it has become a daily social interaction, humans cannot live alone but must help each other in every matter, this also happens in the matter of buying and selling, in Islamic law this is has been regulated as well as the legal process, because this buying and selling activity can also cause doubts or damage to goods where it cannot be ascertained how the quality sold, in the online marketplace there are activities using this scheme, we try to analyze the Islamic religious perspective for this scheme. This research uses a qualitative research approach, which boils down to literature research methods, and collects source sources from Books, E-books, E-journals, Thesis, Qur'an and Hadith. The results of the analysis of this study show that buying and selling (Mystery box) on the online marketplace in the online buying and selling scheme some opinions related to jurisprudence show permissible, but Imam Shafi'i forbids it because it can be called buying and selling with the Gharar method
PEMIKIRAN RASYID RIDHA TENTANG PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM Ahmad Sanusi
Tazkiya Vol 19 No 02 (2018): Juli-Desember 2018
Publisher : Pusat Kajian Islam dan Kemasyarakatan (PKIK), UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Muhammad Rasyid Ridho dilahirkan pada tahun 1865 M di Alqolamun suatu desa di lebanon Latar belakang pendidikannya dimulai dari madrasah tradisional di Al-Qolamun. Kemudian dia meneruskan pelajarannya kesekolah nasional Islam (madrasah Al-Wathoniyah Al- Islamiyah) di Tripoli. Disekolah ini selain pengetahuan agama dan bahasa arab, diajarkan pula pengetahuan modern dan bahasa Perancis serta Turki. Rasyid Rida adalah murid dari Syaikh Muhammad Abduh, rasyid ridolah yang meneruskan karya penafsiran tersebut, yang dimulai dari surat An-Nisa ayat 126, karena Muhamad Abduh hingga wafatnya hanya berhasil menafsirkan Al-Quran sampai ayat 125 dari surat An-Nisa. Rasyid Rida seorang pembaharuan asal Libanon ini wafat pada agustus 1935M. Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Rida, tidak banyak dengan ide-ide gurunya. Muhamad Abduh dan Jamaludin Al- Afghani, ia juga berpendapat bahwa umat Islam mudur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam sebenarnya. Pengertian umat Islam tentang ajaran-ajaran agama salah dan perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam sebenarnya. Kedalam islam telah banyak masuk bid‟ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat. Di antara bid‟ah itu pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan bathin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedang kebahagian diakhirat dan didunia diperoleh melalui hukum alam yang diciptakan tuhan, demikian rasyid rida berpendapat. Rasyid Rida sebagaimana Muhamad Abduh menghargai akal manusia. Sungguh pun penghargaanya terdapat akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan gurunya. Menurutnya akal dapat dipakai terhadap ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak untuk ibadah, ijtihad diperlukan hanya untuk soal-soal ibadah tidak di berikan lagi. Ijtihad diperlukan hanya untuk soal-soal hidup masyarakat terhadap ayat dan hadist yang mengandung arti tegas. Ijtihad tidak dipakai lagi. Akal dapat dipergunakan terhadap ayat-ayat dan hadist yang tidak mengandung TAZKIYA Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan & Kebudayaan 29 arti yang tegas. Dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak tersebut dalam al quran dan hadist.