Boy M Bachtiar
Department of Oral Biology, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Elderly nutritional status effection salivary anticandidal capacity against Candida albicans Ria Puspitawati; Nurtami Soedarsono; Elisabeth A Putri; Anissha D Putri; Boy M Bachtiar
Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi) Vol. 44 No. 2 (2011): June 2011
Publisher : Faculty of Dental Medicine, Universitas Airlangga https://fkg.unair.ac.id/en

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (349.566 KB) | DOI: 10.20473/j.djmkg.v44.i2.p72-76

Abstract

Background: Elderly often suffer malnutrition and oral candidiasis. Candida albicans (C. albicans) which is the most prominent cause of oral candidiasis, is one of commensal oral micro-flora. Nutritional status affect the characteristic of saliva. Saliva is the regulator in the development of C. albicans from comensal into pathogen. Purpose: The purpose of this study was to determining the correlation between elderly nutritional status with salivary total protein and its activity in inhibiting C. albicans growth and biofilm formation. Methods: Using mini nutritional assessment 30 elderly were classified into normal and malnutrition groups. Total protein of unstimulated saliva was measured using Bradford protein assay. The colony forming unit (CFU) of C. albicans was counted on 72 hours on SDA cultures without (control) or with 2 hour saliva exposure. Biofilm formation was analyzed from the optical density of 10–5 C. albicans suspension without saliva exposure (control) or with exposure of 10.000 μg/ml saliva and incubated in 37° C for 2 days. The suspension was put into 96 well plates, stained with crystal-violet dye, and analyzed using microplate reader. Differences between groups were analyzed using independent t-test or Kruskall-Wallis. Correlation between variables was analyzed using Spearman test. Results: Salivary total protein of normal elderly (1.113.5 ± 1.1143.3) was higher than those of malnutrition (613.6 ± 253.6) but not statistically significant (p > 0.05). The CFU of C. albicans exposed to saliva of normal samples (2.060 cfu/ml) was significantly lower than control (24.100 cfu/ml) and those exposed to malnutrition saliva (5.513.3 cfu/ml). C. albicans biofilm formation is highest in controls (0.177), lower in those exposed to malnourished saliva (0.151) and lowest in those exposed to saliva of good nourished elderly (0.133). Conclusion: Although does not cause significant decrease of salivary total protein, malnutrition in elderly results in lower capacity of saliva in inhibiting the growth and declining the virulence of C. albicans.Latar belakang: Lansia sering menderita malnutrisi dan kandidiasis oral. Candida albicans yang merupakan penyebab utama terjadinya candidiasis, adalah salah satu mikroflora rongga mulut yang bersifat konvensional. Malnutrisi memengaruhi karakteristik saliva. Saliva merupakan regulator utama perkembangan Candida albicans (C. albicans) dari sifat konvensional menjadi bersifat patogen.Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan korelasi antara status gizi lansia dengan total protein dan aktivitas saliva dalam menghambat pertumbuhan dan pembentukan biofilm C. albicans. Metode: Menggunakan mini nutritional assessment, 30 lansia diklasifikasikan menjadi kelompok gizi baik dan gizi buruk. Total protein unstimulated saliva diukur dengan metode Bradford protein assay. Colony forming unit (CFU) dihitung pada kultur C. albicans pada saburaud dextrose agar (SDA) berusia 72 jam yang sebelumnya telah dipaparkan saliva selama 2 jam. Kontrol adalah kultur C. albicans tanpa paparan saliva. Pembentukan biofilm adalah pengukuran optical density suspensi 10–5 C. albicans tanpa paparan saliva (kontrol) atau dengan paparan saliva 10.000 μg/ml dan diinkubasi pada suhu 37° C selama 2 hari. Suspensi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam 96 well plates, diberi pewarna crystal violet, dan diukur menggunakan microplate reader. Analisis data menggunakan uji beda t Independen atau Kruskall-Wallis, dan uji korelasi Spearman. Hasil: Total protein saliva lansia gizi baik (1.113,5 ± 1.1143,3) lebih tinggi dari lansia gizi buruk (613,6 ± 253,6) tetapi tidak bermakna secara statistik (p > 0,05). Pembentukan koloni C. albicans yang terpapar saliva lansia gizi baik (2.060 cfu/ml) secara signifikan lebih rendah dari kontrol (24.100 cfu/ml) dan daripada yang terpapar saliva lansia gizi buruk (5.513,3 cfu/ml). Pembentukan biofilm C. albicans tetinggi pada kontrol (0,177), lebih rendah pada yang terpapar saliva gizi buruk (0,151) dan terrendah pada yang terpapar saliva gizi baik (0,133). Kesimpulan: Meskipun malnutrisi tidak menyebabkan penurunan total protein saliva lansia, tetapi menurunkan kapasitasnya dalam menghambat pertumbuhan dan mengurangi virulensi C. albicans.
The frequency of bottle feeding as the main factor of baby bottle tooth decay syndrome Mochamad Fahlevi Rizal; Heriandi Sutadi; Boy M Bachtiar; Endang W Bachtiar
Dental Journal (Majalah Kedokteran Gigi) Vol. 43 No. 1 (2010): March 2010
Publisher : Faculty of Dental Medicine, Universitas Airlangga https://fkg.unair.ac.id/en

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (289.131 KB) | DOI: 10.20473/j.djmkg.v43.i1.p44-48

Abstract

Background: Dental caries remains as main problem in Indonesia and its prevalence is high (90.05%). However, there is no appropriate data that can be used to analyze dental caries in toddlers, especially baby bottle tooth decay syndrome (BBTD), though the number of BBTD cases is high in some pediatric dental clinics (90% of patients visiting the clinics). Even though some factors have already been considered to be the risk factor of BBTD, the main risk factor of BBTD is still unknown, especially BBTD in Indonesia. Purpose: This research was aimed to obtain data relating with bottle-feeding habit in 3-5 year old children in Indonesia and its caries risk. Method: The study was an observational research conducted with clinical examination through caries status (deft) of each child deserved by pediatric dentists and through questionnaire distributed to parents to examine the risk factor of BBTD. Observation was conducted on 62 children in the range of age 3 to 5 years old with bottle-feeding habit. Result: The results revealed that status of caries was various. The data showed that the frequency of bottle feeding more than twice could trigger BBTD 2.27 times higher than other factors such as the use of bottle feeding as a pacifier prior sleeping, the period of bottle-feeding, and the breast-feeding experience. Conclusion: though milk as subtract can possibly become a factor triggering caries, the frequency of bottle-feeding is highly considered as main factor. Since it could modulated the bacterial colonization on dental surface, which affects its virulence.Latar belakang: Karies masih menjadi masalah utama di Indonesia. Dalam praktek sehari-hari prevalensi karies masih sangat tinggi (90.05%). Belum ada data yang memadai dalam penelaahan karies yang spesifik pada anak balita selama ini khususnya kasus sindroma karies botol (SKB) sementara itu kasus SKB ditemukan sangat tinggi di beberapa klinik gigi anak (90% dari jumlah pasien yang datang ke klinik). Beberapa faktor menjadi resiko kejadian SKB dan belum diketahui faktor resiko utama kejadian karies khususnya di Indonesia. Tujuan: Penelitian ini dilakukan guna mendapatkan data yang berhubungan dengan kebiasaan minum susu botol pada anak usia 3-5 tahun di Indonesia serta resiko kejadian karies yang ditimbulkannya. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilakukan dengan metode pemeriksaan klinis melalui pencatatan status karies (deft) setiap anak oleh dokter gigi anak serta pengisian kuesioner yang dilakukan oleh orang tua untuk menentukan faktor resiko kejadian SKB. Pengamatan dilakukan pada 62 orang anak usia 3-5 tahun yang mempunyai kebiasaan minum susu botol sesuai dengan kriteria inklusi. Hasil: Hasil pemeriksaan klinis dan kuesioner memberikan gambaran status karies yang bervariasi. Data yang didapat dari penelitian ini menjelaskan, bahwa frekuensi minum susu botol lebih dari dua kali menyebabkan SKB 2.27 kali lebih besar dibandingkan dengan beberapa faktor lain, seperti menjadikannya pengantar tidur, lamanya mengonsumsi, dan riwayat minum ASI. Kesimpulan: Susu sebagai subtrat mungkin dapat dijadikan alasan kejadian karies akan tetapi yang menjadi resiko utama kejadian adalah frekuensi konsumsi susu botol itu sendiri. Kondisi ini dapat dihubungkan dengan modulasi substrat terhadap perkembangan kolonisasi bakteri di permukaan gigi, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi virulensinya.