Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Mengkaji Serangan Balik Koruptor Terhadap KPK dan Strategi Menghadapinya Muttaqin, Labib; Susanto, Muhammad Edy
Integritas : Jurnal Antikorupsi Vol. 4 No. 1 (2018): INTEGRITAS Volume 04 nomor 1 Tahun 2018
Publisher : Komisi Pemberantasan Korupsi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (436.688 KB) | DOI: 10.32697/integritas.v4i1.146

Abstract

ABSTRAK Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan mandat kepada KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi terhadap tiga hal; pejabat publik, penegak hukum, dan pihak-pihak yang terkait dengan keduanya. Dengan landasan yuridis yang jelas KPK dianggap berhasil memenuhi harapan publik dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun nampaknya terdapat sebagian kalangan yakni para koruptor dan pihak yang anti-pemberantasan korupsi yang gerah sekali dengan keberadaan KPK sehingga muncullah usaha-usaha untuk melemahkan bahkan membubarkan KPK, usaha itulah yang disebut sebagai corruptor fight back atau serangan balik koruptor. Namun sayangnya, gencarnya corruptors fight back tidak diimbangi dengan kesiapan KPK dalam menghadapi serangan balik tersebut. Belum terpetakanya pola serangan balik koruptor merupakan salah satu indikasi gagapnya KPK dalam menghadapinya. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah memberikan masukan kepada KPK tentang strategi dalam menghadapi setiap serangan balik terhadap KPK. Untuk mencapai tujuan tersebut paling tidak ada tiga hal yang dikaji secara mendalam untuk mencegah dan melawan setiap serangan balik koruptor. Pertama, mempelajari bentuk-bentuk dari serangan balik koruptor. Kedua, membaca pola atau cara kerja dari serangan balik koruptor. Ketiga, menentukan desain dan strategi yang ideal bagi KPK untuk mencegah dan melawan setiap serangan balik koruptor. Kata Kunci: Kewenangan KPK, Serangan Balik Koruptor, Pola Serangan Balik Koruptor, Strategi Menghadapi Serangan Balik Koruptor.
Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman terhadap Doktrin Kewarisan Islam Klasik Muttaqin, Labib
Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 7 No 2 (2013)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2478.391 KB) | DOI: 10.24090/mnh.v7i2.564

Abstract

Perbedaan metode tafsir mengakibatkan perbedaan produk hukum. Salah satu dari berbagai banyak isu yang kerap kali menjadi tema perdebatan adalah kewarisan Islam. Dalam hal waris, mayoritas ulama klasik memandang bahwa ketentuannya bersifat tetap (qat’i) dan tidak boleh ada perubahan atas dirinya. Berbeda dengan pendapat yang dilontarkan kalangan progressif bahwa perlu adanya redefinisi terhadap istilah qat’i dengan melihat sejarah atas eksistensinya. Tawaran segar muncul dari Fazlur Rahman, intelektual muslim asal Pakistan yang berpikiran maju. Dalam memahami dan menafsiri teks al-Qur’an ia memperkenalkan teori gerak-ganda, yaitu teori yang menghendaki adanya pemahaman terhadap makna al-Qur’an dalam konteks kesejarahannya (sosio-historikal) sehingga tidak memunculkan istilah subyektifitas tafsir, dengan harapan teks dan makna yang ada dalam al-Qur’an tidak dipahami secara stagnan tetapi dinamis dengan tujuan Islam tetap bisa menjawab isu-isu kontemporer yang berkembang pada saat ini dan tetap menjadi agama yang rahmatan lil ‘alamin dan likulli zaman wa makan.
Kelengkapan Informed Consent Pada Pasien Operasi Hernia Ditinjau Dari Aspek Hukum Di RSUD Wonogiri Suharto, Bekti; Muttaqin - Universitas Muhammadiyah Surakarta, Labib; Ambarwati - Poltekkes Bhakti Mulia, Niken
IJMS - Indonesian Journal on Medical Science Vol 7, No 2 (2020): IJMS 2020
Publisher : IJMS - Indonesian Journal on Medical Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract : Approval of Medical Action (informed consent) is an agreement given by the patient or immediate family after getting a full explanation of the Medical Actions to be performed on the patient. The information contained in the Medical Action Form (informed consent) must be clear and complete. This study aims to determine the completeness of filling the Medical Action Form (informed consent) in hernia surgery patients in terms of the legal aspects of the Regional General Hospital (RGH) dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. This type of research is descriptive research using observation and interview methods, and using a retrospective approach. The results showed that of the 70 medical record documents in hernia surgery patients that had been analyzed were all incomplete. The highest incompleteness in the patient's identity reaches 100% and the lowest item in the type of information is the alternative items and risks there are 81.43% or 57 informed consent forms. This happens because of the weak coordination between the medical records officer and other units, especially doctors and nurses.Keyword: informed consent, legal aspects, health workers, patients.Abstrak : Persetujuan Tindakan Kedokteran (informed consent) merupakan suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai Tindakan Kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien. Informasi yang terkandung dalam Formulir Tindakan Kedokteran (informed consent) harus jelas dan lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelengkapan pengisian Formulir Tindakan Kedokteran (informed consent) pada pasien operasi hernia di tinjau dari aspek hukum di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode observasi dan wawancara, serta menggunakan pendekatan retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 70 dokumen rekam medis pada pasien operasi hernia yang telah dianalisis seluruhnya belum lengkap. Ketidaklengkapan tertinggi pada identitas pasien mencapai 100% dan item terendah pada jenis informasi yaitu butir alternatif dan risiko terdapat 81,43% atau 57 formulir Persetujuan Tindakan Kedokteran (informed consent). Hal ini terjadi karena lemahnya koordinasi antara petugas rekam medis dengan unit lain khususnya dokter dan perawat.Keyword: informed consent, aspek hukum, tenaga kesehatan, pasien.
PENGHAPUSAN HAK OPSI WARIS DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA DITINJAU DARI TEORI OTORITARIANISME KHALED ABOU EL-FADL Labib Muttaqin
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum,September 2016
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Labib Muttaqin Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Email: labib_osh@yahoo.com Fakultas Syariah UIN Mulana Malik Ibrahim Malang Email: labib_osh@yahoo.com   Abstrak Penelitian ini dilatar belakangi oleh dihapusnya hak opsi waris dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Dari latar belakang tersebut, penelitian ini mencoba untuk menganalisis penghapusan hak opsi waris dalam UU No.3 Tahun 2006 ditinjau dari teori otoritarianisme Khaled Abou El-Fadl, sehingga secara teoritik dapat diketahui apakah penghapusan hak opsi waris dalam UU No. 3 Tahun 2006 masuk dalam kategori otoriter atau tidak. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa penghapusan hak opsi waris dalam UU No. 3 Tahun 2006 telah terjatuh kepada sikap otoritarianisme, hal ini bisa dilihat dari empat indikator; Pertama, penghapusan hak opsi waris dalam UU No. 3 Tahun 2006 merupakan tindakan mengunci teks dan mengurung kehendak tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah penetapan makna, dan kemudian menyajikan penetapan tersebut sebagai sesuatu yang pasti, absolute, dan menentukan. Kedua, penghapusan hak opsi waris dalam UU No. 3 Tahun 2006 merupakan tindakan yang melampaui otoritas atau kekuasaan yang dimandatkan sedemikian rupa sehingga menyelewengkan atau mengambil alih kekuasaan dari pemberi mandat. Ketiga, penghapusan hak opsi waris dalam UU No. 3 Tahun 2006 merupakan tindakan yang menggunakan simbolisme dari komunitas interpretasi hukum tertentu untuk mendukung argumentasinya. Keempat, penghapusan hak opsi waris dalam UU No. 3 Tahun 2006 merupakan pengabaian terhadap realitas ontologis Tuhan dan pengambilalihan kehendak Tuhan sehingga ia secara efektif kemudian mengacu kepada dirinya sendiri. Kata Kunci: Penghapusan Hak Opsi Waris, UU Peradilan Agama, Teori Otoritarianisme, Khaled Abou El-Fadl.
POSITIFISASI HUKUM ISLAM DAN FORMALISASI SYARI’AH DITINJAU DARI TEORI OTORITARIANISME KHALED ABOU EL-FADL Labib Muttaqin
AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial Vol. 11 No. 1 (2016)
Publisher : Faculty of Sharia IAIN Madura collaboration with The Islamic Law Researcher Association (APHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/al-lhkam.v11i1.859

Abstract

Abstrak:Salah satu agenda reformasi di Indonesia adalah mewujudkan demokratisasi yang lebik, konsekwensinya kebebasan dan keterbukaan harus dibuka seluas-luasnya baik dalam bidang politik, hukum, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Pada era ini telah menciptakan suatu kondisi yang mendukung bangkitnya kembali gerakan politik Islam di Indonesia, salah satu gerakanya adalah usaha positifisasi hukum Islam. Gerakan tersebut diasumsikan sebagai gerakan yang kontra produktif, karena positifisasi hukum Islam hanya akan terjebak dalam bingkai otoritarianisme sehingga dikhawatirkan akan menutup pintu ijtihad. Menurut Khaled Abou El-Fadl, hukum Islam bukanlah hukum Tuhan itu sendiri. Hukum Islam hanyalah hasil dari proses interpretasi manusia akan hukum Tuhan. Oleh karena itu, hukum Islam tidak boleh berwatak otoriter. Dalam konteks Indonesia, praktik-praktik otoritarianisme berbasis hukum Islam kerapkali dilakukan baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat tertentu, yaitu dengan menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif. Hal ini berakibat terwujudnya hukum Islam yang kaku, mengikat, absolut, dan otoriter. Dengan demikian, terbangunlah suatu asumsi bahwa tindakan positifisasi hukum Islam hanya akan terjatuh kepada tindakan otoritarianisme.Abstract:One of the reform agenda in Indonesia is to achieve a better democratization, consequently, freedom, and openness must be opened wide as possible both in the fields of politics, law, economics, culture, etc. In this era has created a condition that supports the revival of Islamic political movements in Indonesia. One of the movements is an attempt positivization of Islamic law. The movement is assumed as the movement of the counter-productive, because positivization of Islamic law will only be stuck in the frame of authoritarianism, so feared would close the door of ijtihad. According to Khaled Abou El-Fadl, Islamic law is not the law of God itself. Islamic law is merely the result of the process of human interpretation of the law of God. Therefore, Islamic law should not be authoritarian character. In the Indonesian context, the practices of Islamic law based authoritarianism is often done either by the government or certain groups of people, namely by making Islamic law as a positive law, this has resulted in the establishment of strict Islamic law, binding, absolute, and authoritarian. Thus awakened an action positivization assumption that Islamic law would only fall to the action of authoritarianism. 
ANALYSING THE SETTLEMENT OF MARITIME SOVEREIGNTY’S DISPUTE CASES BASED ON UNCLOS 1982 Enno Haya Gladya Naranta; Labib Muttaqin
Interdisciplinary Social Studies Vol. 1 No. 5 (2022): Interdisciplinary Social Studies
Publisher : International Journal Labs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55324/iss.v1i5.126

Abstract

This paper was written to describe maritime sovereignty disputes under the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS). UNCLOS' 1982 role was enormous in resolving the South China Sea dispute, Indonesia's Malaysian dispute, and the Natuna islands dispute. The theoretical framework used in this paper to analyze case studies is the international regime and the theory of compliance with maritime dispute resolution. The results of this paper show that the jurisdiction of UNCLOS 1982 offers several paths in dispute resolution and prevents the occurrence of perpetual sea disputes.
Brandish Red Report Card: Eliminating Corruption in Indonesia Awhan Ibaad El-Adzkiyaa; Labib Muttaqin; Adrian Adrian
Interdisciplinary Social Studies Vol. 1 No. 7 (2022): Interdisciplinary Social Studies
Publisher : International Journal Labs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55324/iss.v1i7.164

Abstract

Background: Provide an adequate background covering the literature review and the gap of the research with other relevant former research works. Aim: Mention the main purpose of the research. Method: Give a brief explanation regarding the method used, along with the sample, data collection technique, and data analysis technique. Findings: Summarize the collected data and the analysis performed on those data relevant to the issue that is to follow.
23 Years of Reformation, Freedom is Still a Utopia Muhammad Alfian Rizki Ananda; Labib Muttaqin
Interdisciplinary Social Studies Vol. 1 No. 7 (2022): Interdisciplinary Social Studies
Publisher : International Journal Labs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55324/iss.v1i7.168

Abstract

Background: Freedom of expression is still a problem in the implementation of democracy in Indonesia. Amnesty noted that throughout 2020 there were 132 cases of alleged violations of the right to freedom of expression using the ITE Law with a total of 156 victims, among them 18 activists and four journalists. In 2021, there have been 56 similar cases with a total of 62 victims. Aim: This research aims to discuss Indonesia’s reformation along with its obstacle throughout the years. Method: This study used a qualitative approach and a case study. The data was gathered from a number of different places. The sources explore the challenges that Indonesia has faced in its reformation over the years. Findings: The ITE Act is still needed to prevent and punish crime in the digital world. However, there are several articles in this Law that need to be revised because there are multi-interpretation articles, rubber articles, and semantic improvements of several articles to be better. If it is not immediately revised, then the public will be afraid to convey criticism for fear of making the critic's party entangled in the punishment of libel and defamation charges.
Aplikasi Teori Double Movement Fazlur Rahman terhadap Doktrin Kewarisan Islam Klasik Labib Muttaqin
Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 7 No 2 (2013)
Publisher : Sharia Faculty of State Islamic University of Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2478.391 KB) | DOI: 10.24090/mnh.v7i2.564

Abstract

Perbedaan metode tafsir mengakibatkan perbedaan produk hukum. Salah satu dari berbagai banyak isu yang kerap kali menjadi tema perdebatan adalah kewarisan Islam. Dalam hal waris, mayoritas ulama klasik memandang bahwa ketentuannya bersifat tetap (qat’i) dan tidak boleh ada perubahan atas dirinya. Berbeda dengan pendapat yang dilontarkan kalangan progressif bahwa perlu adanya redefinisi terhadap istilah qat’i dengan melihat sejarah atas eksistensinya. Tawaran segar muncul dari Fazlur Rahman, intelektual muslim asal Pakistan yang berpikiran maju. Dalam memahami dan menafsiri teks al-Qur’an ia memperkenalkan teori gerak-ganda, yaitu teori yang menghendaki adanya pemahaman terhadap makna al-Qur’an dalam konteks kesejarahannya (sosio-historikal) sehingga tidak memunculkan istilah subyektifitas tafsir, dengan harapan teks dan makna yang ada dalam al-Qur’an tidak dipahami secara stagnan tetapi dinamis dengan tujuan Islam tetap bisa menjawab isu-isu kontemporer yang berkembang pada saat ini dan tetap menjadi agama yang rahmatan lil ‘alamin dan likulli zaman wa makan.
Kelengkapan Informed Consent Pada Pasien Operasi Hernia Ditinjau Dari Aspek Hukum Di RSUD Wonogiri Bekti Suharto; Labib Muttaqin - Universitas Muhammadiyah Surakarta; Niken Ambarwati - Poltekkes Bhakti Mulia
Indonesian Journal on Medical Science Vol 7 No 2 (2020): IJMS 2020
Publisher : Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Politeknik Kesehatan Bhakti Mulial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.448 KB)

Abstract

Abstract : Approval of Medical Action (informed consent) is an agreement given by the patient or immediate family after getting a full explanation of the Medical Actions to be performed on the patient. The information contained in the Medical Action Form (informed consent) must be clear and complete. This study aims to determine the completeness of filling the Medical Action Form (informed consent) in hernia surgery patients in terms of the legal aspects of the Regional General Hospital (RGH) dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. This type of research is descriptive research using observation and interview methods, and using a retrospective approach. The results showed that of the 70 medical record documents in hernia surgery patients that had been analyzed were all incomplete. The highest incompleteness in the patient's identity reaches 100% and the lowest item in the type of information is the alternative items and risks there are 81.43% or 57 informed consent forms. This happens because of the weak coordination between the medical records officer and other units, especially doctors and nurses.Keyword: informed consent, legal aspects, health workers, patients.Abstrak : Persetujuan Tindakan Kedokteran (informed consent) merupakan suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai Tindakan Kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien. Informasi yang terkandung dalam Formulir Tindakan Kedokteran (informed consent) harus jelas dan lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelengkapan pengisian Formulir Tindakan Kedokteran (informed consent) pada pasien operasi hernia di tinjau dari aspek hukum di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode observasi dan wawancara, serta menggunakan pendekatan retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 70 dokumen rekam medis pada pasien operasi hernia yang telah dianalisis seluruhnya belum lengkap. Ketidaklengkapan tertinggi pada identitas pasien mencapai 100% dan item terendah pada jenis informasi yaitu butir alternatif dan risiko terdapat 81,43% atau 57 formulir Persetujuan Tindakan Kedokteran (informed consent). Hal ini terjadi karena lemahnya koordinasi antara petugas rekam medis dengan unit lain khususnya dokter dan perawat.Keyword: informed consent, aspek hukum, tenaga kesehatan, pasien.