Yasraf Amir Pilliang
Program Magister Seni Rupa dan Desain, FSRD, Institut Teknologi Bandung

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

BUDAYA TEKNOLOGI DI INDONESIA: KENDALA DAN PELUANG MASA DEPAN Yasraf Amir Pilliang
Jurnal Sosioteknologi Vol. 12 No. 28 (2013)
Publisher : Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5614/sostek.itbj.2013.12.28.1

Abstract

Teknologi adalah manifestasi dari imajinasi manusia tentang sebuah dunia yang lebih baik. Melalui teknologi manusia membangun masa depan kebudayaan dan kehidupan mereka. Perkembangan teknologi tidak saja ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang ada, tetapi ia justru dapat membentuk budaya-budaya baru: budaya media, budaya informasi atau budaya virtual. Dalam relasi antara teknologi dan budaya, ada sebuah paradoks. Di satu pihak, untuk menumbuhkan teknologi, diperlukan semacam "budaya teknologi", yaitu nilai-nilai budaya yang mendorong perkembangan teknologi : daya kreativitas, rasionalitas, mental produktif, dan berorientasi ke depan. Di pihak lain, ada berbagai benturan nilai akibat keberadaan teknologi tertentu di dalam masyarakat. Benturan ini terjadi bila teknologi tak hanya dipandang sebagai sebuah alat guna dan utilitas, tetapi sebagai pencipta makna. Nihilisme adalah kondisi ketika manusia menyerahkan diri mereka pada bingkai teknologi, yang kemudian mengendalikan makna hidup mereka: panik, serba cepat, instan, dan tercabut dari alam. Teknologi lalu menjadi semacam "žbeban sosial"Ÿ. Untuk menghindarkan sifat nihilisme teknologi, berbagai paradigma baru diusulkan: "budaya berpikir holistik", yang melihat teknologi dalam sudut pandang seluas-luasnya; "budaya ketiga", yaitu simbiosis antara paradigma teknologi dan kebudayaan; dan "teknologi yang manusiawi", yaitu kombinasi teknologi tinggi dan sentuhan manusia. Kata kunci: teknologi, manusia, kebudayaan, makna, kreativitas Technology is a manifestation of human imagination about a better world. Through technology, humans build their future culture and their lives. Technological development is not only determined by cultural values that exist, but it establishes new cultures instead: the media culture, virtual culture or cultural information. In the relationship between technology and culture, there is a paradox. On the one hand, to develop the technology, some kind of "technological culture" is needed, i.e. cultural values that encourage the development of technology: creativity, rationality, mentally productive and future oriented. On the other hand, there are various conflicts of values due to the existence of certain technologies in society. This collision occurred when the technology is not only seen as a tool for and utility, but as a creator of meaning. Nihilism is the condition when humans submit themselves within the frame of technology, which then controls the meaning of their lives: frantic, fast-paced, instant and unplugging nature. Technology then becomes a sort of 'social burden'. To avoid the nihilism nature of technology, various new paradigm proposed "holistic thinking culture", which saw the technology in the widest angle of view; "third culture", which is a symbiosis between technology and cultural paradigms, and "human technology", which is a combination of high technology and the human touch. Key words: technology, humans, culture, meaning, creativity.
FORENSIK DALAM PERSFEKTIF BUDAYA: SEBUAH TANTANGAN BAGI SEMIOTIKA Yasraf Amir Pilliang
Jurnal Sosioteknologi Vol. 12 No. 29 (2013)
Publisher : Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5614/sostek.itbj.2013.12.29.1

Abstract

Kebudayaan memiliki dimensi-dimensi yang bersifat material dan non-material. Begitu juga bila kejahatan dipandang dari perspektif kebudayaan, tidak dapat dipisahkan dari dimensi-dimensi kebudayaan non-material: pikiran, karakter, ideologi, hasrat dan nilai-nilai. Ada nilai-nilai tertentu yang hidup di dalam sebuah kelompok atau masyarakat yang mendorong anggotanya melakukan aneka kejahatan: materialisme, keserakahan, individualisme; sebaliknya ada nilai-nilai yang meredam tindak kejahatan: kebersamaan, komunalitas dan persaudaraan. Kejahatan dilandasi oleh kebudayaan, karena esensi setiap kejahatan adalah ajang perebutan "hegemoni", sebagaimana dipahami Gramsci, yaitu manifestasi dari hasrat "supremasi" dan "dominasi" individu atau kelompok sosial atas individu atau kelompok-kelompok lainnya. "Forensik" adalah sebuah ilmu dan cara kerja yang berkaitan dengan aktivitas memperlihatkan pada "publik" bukti-bukti, khususnya yang terkait dengan kasus kejahatan dan hukum. Untuk mampu memahami kompleksitas budaya dalam kerja forensik itu diperlukan "kompetensi budaya" (cultural competency), antara lain: "kepekaan budaya", "pengetahuan budaya" dan "empati budaya". Semiotika dapat berperan dalam menganalisis bukti-bukti forensik"”baik yang bersifat materi, fisik, atau linguistik"”untuk menemukan "logika" "kode" dan "makna kultural". Pekerjaan forensik yang melibatkan tubuh manusia, benda, alat, tempat, ruang, dan lingkungan hidup, pekerjaan forensik antropologi dan forensik budaya dapat dibantu oleh "pembacaan semiotik" (semiotic reading), yaitu pemahaman struktur tanda-tanda (signs), relasi signifikasi di antara tanda-tanda, dan makna atau konotasi yang dibangun di dalamnya. Kata kunci: Forensik, budaya, semiotika, kejahatan Culture has material and non-material dimensions. Similarly, when crime is viewed from the perspective of culture, it cannot be separated from non-material cultural dimensions: minds, characters, ideology, desires and values. There are certain values that thrive in a group or society that encourage its members to commit various crimes: materialism, greed, individualism; on the contrary, there are values that refrain crimes: togetherness, commonality and brotherhood. Crimes are based on culture; the essence of every crime is a battle field of "hegemony" as defined by Gramsci, which is the manifestation of the desire for "supremacy" and "domination" of individuals or social groups over individuals or other groups. "Forensic" is a science and a way of work that shows evidence to "public", particularly in relation to crimes and laws. To be able to understand the complexities of culture in forensic work, "cultural competence" is required, among others: "cultural sensitivity", "knowledge of culture" and "cultural empathy". Semiotics can play a role in the analysis of forensic evidence - material, physical, or linguistic - to find the "logic" "code" and "cultural significance". Forensic work involving human body, objects, tools, places, space, and environment, forensic anthropology and cultural forensic, can be assisted by "semiotic reading", which is an understanding of the structure of signs, significance relation among the signs, and meanings or connotations that are built within. Keywords: Forensics, culture, semiotics, crime