Kebudayaan memiliki dimensi-dimensi yang bersifat material dan non-material. Begitu juga bila kejahatan dipandang dari perspektif kebudayaan, tidak dapat dipisahkan dari dimensi-dimensi kebudayaan non-material: pikiran, karakter, ideologi, hasrat dan nilai-nilai. Ada nilai-nilai tertentu yang hidup di dalam sebuah kelompok atau masyarakat yang mendorong anggotanya melakukan aneka kejahatan: materialisme, keserakahan, individualisme; sebaliknya ada nilai-nilai yang meredam tindak kejahatan: kebersamaan, komunalitas dan persaudaraan. Kejahatan dilandasi oleh kebudayaan, karena esensi setiap kejahatan adalah ajang perebutan "hegemoni", sebagaimana dipahami Gramsci, yaitu manifestasi dari hasrat "supremasi" dan "dominasi" individu atau kelompok sosial atas individu atau kelompok-kelompok lainnya. "Forensik" adalah sebuah ilmu dan cara kerja yang berkaitan dengan aktivitas memperlihatkan pada "publik" bukti-bukti, khususnya yang terkait dengan kasus kejahatan dan hukum. Untuk mampu memahami kompleksitas budaya dalam kerja forensik itu diperlukan "kompetensi budaya" (cultural competency), antara lain: "kepekaan budaya", "pengetahuan budaya" dan "empati budaya". Semiotika dapat berperan dalam menganalisis bukti-bukti forensik"”baik yang bersifat materi, fisik, atau linguistik"”untuk menemukan "logika" "kode" dan "makna kultural". Pekerjaan forensik yang melibatkan tubuh manusia, benda, alat, tempat, ruang, dan lingkungan hidup, pekerjaan forensik antropologi dan forensik budaya dapat dibantu oleh "pembacaan semiotik" (semiotic reading), yaitu pemahaman struktur tanda-tanda (signs), relasi signifikasi di antara tanda-tanda, dan makna atau konotasi yang dibangun di dalamnya. Kata kunci: Forensik, budaya, semiotika, kejahatan Culture has material and non-material dimensions. Similarly, when crime is viewed from the perspective of culture, it cannot be separated from non-material cultural dimensions: minds, characters, ideology, desires and values. There are certain values that thrive in a group or society that encourage its members to commit various crimes: materialism, greed, individualism; on the contrary, there are values that refrain crimes: togetherness, commonality and brotherhood. Crimes are based on culture; the essence of every crime is a battle field of "hegemony" as defined by Gramsci, which is the manifestation of the desire for "supremacy" and "domination" of individuals or social groups over individuals or other groups. "Forensic" is a science and a way of work that shows evidence to "public", particularly in relation to crimes and laws. To be able to understand the complexities of culture in forensic work, "cultural competence" is required, among others: "cultural sensitivity", "knowledge of culture" and "cultural empathy". Semiotics can play a role in the analysis of forensic evidence - material, physical, or linguistic - to find the "logic" "code" and "cultural significance". Forensic work involving human body, objects, tools, places, space, and environment, forensic anthropology and cultural forensic, can be assisted by "semiotic reading", which is an understanding of the structure of signs, significance relation among the signs, and meanings or connotations that are built within. Keywords: Forensics, culture, semiotics, crime