Article Per Year (5 Year)
p-Index From 2019 - 2024
0
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Jurnal Sosioteknologi Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities
Wahyudi Akmaliah
Unknown Affiliation
Humanities Engineering Environmental Science Law, Crime, Criminology & Criminal Justice Social Sciences

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

 1 
Ponsel, Gaya Hidup, dan Kelas Menengah Dalam Negara Orde Baru: Telaah Awal Wahyudi Akmaliah
Jurnal Sosioteknologi Vol. 15 No. 1 (2016)
Publisher : Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5614/sostek.itbj.2016.15.1.1

Abstract

Berbeda dengan pasca rejim Orde Baru, di mana kebanyakan orang memiliki ponsel, dengan pilihan dan bentuk yang berbeda-beda, saat rejim Orde Baru berkuasa, khususnya sejak tahun 1990-an, hanya segelintir kelas menengah yang memiliki ponsel. Tulisan ini memaparkan signifikansi ponsel bagi orang Indonesia dengan memfokuskan pada era rejim Orde Baru. Di sini, saya mengajukan tiga pertanyaan mengenai hal tersebut; bagaimana kemunculan ponsel pada era rejim Orde Baru? Bagaimana respon masyarakat ketika itu? Apa makna kehadiran ponsel bagi masyarakat Indonesia kebanyakan? Kehadiran ponsel pada era Orde Baru disambut hangat oleh anggota masyarakat, khususnya kelas menengah (elit) Indonesia seiring dengan perubahan sistem ponsel dari analog menuju digital. Alih-alih sekedar sebagai alat komunikasi untuk memudahkan pembicaraan, kehadiran ponsel menjadi gaya hidup sama seperti barang-barang ternama lain yang mereka konsumsi. Ponsel sebagai gaya hidup ini memunculkan ketegangan kelas antara kelas menengah dan bawah yang ditandai dengan munculnya aksi kriminal. Sebagaimana saya tunjukkan dalam artikel ini, maksud aksi kriminal ini bukanlah melulu sebagai bentuk tindakan kriminal sebagaimana umumnya, melainkan sebagai bentuk, yang saya sebut Hidup Nggayani (lifestyling), ketidakmampuan seseorang untuk mengkonsumsi barang-barang yang lebih mahal tetapi kemudian ia membeli barang-barang bekas atau mencari ponsel tiruan yang lebih murah. Artikel ini menyimpulkan bahwa gaya hidup kelas menengah itu tidak melulu dikontruksikan sebagai kelas yang mengkonsumsi pakaian, musik, dan makanan, tetapi juga terkait dengan tindakan mereka dalam menyikapi ponsel.  
Breaking the Silence: Articulating the Memories of the Tanjung Priok Victims Wahyudi Akmaliah
Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities Vol 5 (2015): General Issue: Indonesian Social Sciences and Humanities
Publisher : Deputy of Social Sciences and Humanities, the Indonesia Institute of Sciences (LIPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (202.719 KB) | DOI: 10.14203/jissh.v5i1.21

Abstract

For the victims of atrocities, the past is not the past: it remains a trauma. The more they try to forget, the more entrenched their memories become. Hence, memory is a means for sustaining their quest for justicea way victims and their advocates can keep faith in their pursuit of truth, accountability and legal restitution. Unlike the situation during the Suharto presidency when the Indonesian people were silenced, this paper is now able to examine the memories, now articulated, of the people a?ected by the Tanjung Priok tragedy, which have appeared since Suhartos fall. This gives momentum to a new phase of political development in which Indonesians, particularly the victims of violence, may break their silence to pursue justice. The following questions need to be asked: what are the circumstances that have encouraged the victims to articulate their memories in the 17 years since Suhartos departure? In what way have they kept their memories fresh? This paper argues that the main reason they articulate their memory is because of the traumas that always haunted them during the Suharto presidency. The trauma and injustices experienced; the torture, gaol, and the stigma attached to them by the Suharto regimes propaganda, all ensured that the general Indonesian social memory of the events at Tanjung Priok was false and distorted. But those sites of memory, the rites, monuments, and memoirs served to strengthen the articulation of those memories to enable some redress after Suharto regime had ended.
Co-Authors