This Author published in this journals
All Journal Mozaik Humaniora
Sri Pamungkas
Sebelas Maret University

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Menafsir Perilaku Latah Coprolalia pada Perempuan Latah dalam Lingkup Budaya Mataraman : Sebuah Kajian Sosiopsikolinguistik (Interpreting Coprolalia Latah Behaviour Among Women With Latah in The Mataraman Cultural Sphere A Socio-Psycholinguistic Study) Sri Pamungkas
MOZAIK HUMANIORA Vol. 17 No. 2 (2017): MOZAIK HUMANIORA VOL. 17 NO. 2
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (304.536 KB) | DOI: 10.20473/mozaik.v17i2.5752

Abstract

AbstrakLatah merupakan perilaku yang tidak bisa lepas dari kungkungan sosial budaya yang melingkupi. Perilaku latah muncul ketika seseorang dalam kondisi kesadaran menurun akibat tepukan, jatuhnya sebuah objek atau kebisingan. Reaksi yang ditunjukkan dari stimulus salah satunya adalah berupa perilaku latah coprolalia. Perilaku latah coprolalia merupakan perilaku latah verbal, yaitu berupa reaksi memunculkan bentuk lingual baik berupa kata, frasa, maupun kalimat yang merujuk pada alat kelamin laki-laki atau perempuan. Pengungkapan bentuk lingual yang merujuk pada alat kelamin laki-laki atau peremnpuan tersebut terungkapkan dalam diksi bahasa daerah (baca: Jawa) dan tidak pernah ditemukan dalam bahasa Indonesia (bahasa nasional) apalagi bahasa asing (Inggris, Perancis, dll). Pengungkapan bentuk lingual yang merujuk pada alat kelamin secara vulgar tersebut menggiring peneliti barat membangun persepsi bahwa individu latah adalah orang-orang sakit jiwa atau berperilaku ubnormal. Hal ini kemudian dianulir peneliti Indonesia dan sebagian peneliti luar negeri yang menegaskan bahwa perilaku tersebut muncul pada saat kesadaran seseorang menurun dan mereka akan hidup normal ketika kesadaran mereka penuh. Penelitian ini difokuskan pada perempuan latah yang berdomisili di Pacitan Jawa Timur yang termasuk dalam lingkup budaya Mataraman, yang dalam berbahasa dan berbudaya merujuk pada Solo dan Yogyakarta. Menariknya penelitian ini adalah bahwa diksi yang terungkapkan antara penyandang latah pribumi dan pendatang mengalami sedikit perbedaan, utamanya dalam mengungkapkan alat kelamin lakil-laki dan perempuan. Diksi yang vulgar lebih tampak pada pribumi, sementara pada pendatang membuat kosa kata baru yang tidak pernah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kamus bahasa Jawa, dengan maksud untuk menyamarkan. Kata kunci     : Latah, Mataraman,  Perempuan, Sosiopsikolinguistik  AbstractLatah is a type of behaviour that cannot be separated from the social and cultural confinements in which it occurs. Latah behaviour appears when a person is in a state of decreased consciousness as a result of being startled by a tap to the body, an object being dropped, or a loud noise. One kind of reaction that is produced by such a stimulus is coprolalia latah behaviour. Coprolalia latah behaviour is a type of verbal latah, or a reaction that gives rise to a lingual form such as a word, phrase, or sentence which makes reference to the male or female genitalia. The expression of lingual forms that refer to the male or female genitalia is always uttered in the diction of the local language (Javanese) and is never found in the Indonesian language (the national language), and especially not in a foreign language (English, French, etc). The utterance of lingual forms that refer to the genitalia in a vulgar manner has led western research scholars to develop the perception that individuals with latah are suffering from a mental illness or displaying abnormal behaviour. This has been disputed by Indonesian researchers and a number of other foreign researchers who attest that this behaviour appears only when a person’s level of consciousness falls and that he or she will behave normally when in a state of full consciousness. The current research study focuses on women with latah living in the Pacitan region of East Java, which is in the Mataraman cultural sphere where the language and culture correspond to those of Solo and Yogyakarta. What is interesting about this research is that the diction used by the latah women who are originally from this area differs slightly from those who are originally from another area, especially in the case of uttering words or phrases that refer to the male or female genitalia. The indigenous women use a more vulgar diction, while settlers or migrants create new vocabulary that is never found in day to day life or in the Javanese dictionary, with the intention of disguising the particular word or phrase. Keywords: Latah, Mataraman, Women, Socio-psycholinguistic