S., Suyoto
Dosen Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

VOKAL DALAM KARAWITAN GAYA SURAKARTA (Studi Kasus Kehadiran Kinanthi dalam Gending) S., Suyoto; Timbul Haryono
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 15, No 1 (2015)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1859.539 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v15i1.2033

Abstract

Dalam karawitan gaya Surakarta terdapat dua unsur penting, yaitu: instrumen dan vokal. Instrumen adalah sumber bunyi yang dapat menimbulkan nada-nada, sedangkan vokal adalah bunyi atau nadanada yang ditimbulkan dari suara manusia.Vokal dalam karawitan dimaksud antara lain: sindhènan, båwå, gerong, senggakan, dan alok, yang kehadirannya tidak lain untuk menambah indahnya sajian karawitan. Dalam vokal juga terdapat dua hal penting yaitu lagu dan teks. Kehadiran teks yang berujud bahasa itu biasanya dalam bentuk tembang atau cakepan yang lain. Kedudukan teks (cakepan) ada kalanya lebih penting dari instrument, atau setidaknya sejajar dengan instrument dalam perangkatgamelan. Seperti misal pada karawitan agamis, keberadaan text adalah lebih penting daripada instrumen. Gending-gending yang menggunakan cakepan khusus, seperti gending karya Mangkunegara IV, yang semuanya tertata, mulai dari båwå sampai pada cakepan gérong.Teks yang digunakan dalamgending tradisi pada umumnya dipilih dari beberapa alternatif karya sastra yang ada, artinya tidak ada keharusan, apalagi kemutlakan dalam penggunaannya, misalnya cakepan tertentu untuk gending tertentu. Hampir 90% teks Kinanthi diakses sebagai cakepan gerongan gending yang memiliki garap vokal. Penggunaan Kinanthi sebagai gérongan sudah barang tentu didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain: 1) Kinanthi terdiri 6 gatra,2) memiliki guru wilangan setiap gatra 8 suku kata, sehingga dengan gatra, guru wilangan yang genap akan lebih mudah penerapannya ke dalam gending. Selain Kinanthi sebagai cakepan gérong juga digunakan di dalam cakepan båwå, yaitu, båwåSekar Macapat Kinanthi Mintajiwa, laras slendro pathet manyura, båwå Sekar Macapat Kinanthi céngkok Sekar Gadhung, laras slendro pathet manyura. Kinanthi menjadi gending,yaitu:Kinanthi Sandhung, ketawanglaras slendro pathet manyura, Kinanthi Pawukir, ketawang laras slendro pathet manyura, dan Kinanthi Subakastawa, ketawang laras slendro pathet sanga.Sekar Kinanthi juga digunakan untuk ådå-ådå dalam wayangpurwa, untuk palaran dalam klenengan, untuk cakepan sindhènan dalam gending sekar.Kata kunci: Kinanthi, båwå, gérong, dan gending.
SUKON WULON DALAM TEMBANG MACAPAT: STUDI KASUS TEMBANG ASMARANDANA S., Suyoto
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 16, No 1 (2016)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (943.955 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v16i1.1771

Abstract

Tembang Jawa, baik tembang gedhé, tembang tengahan, maupun tembang macapat, masing-masing memilikiaturan sendiri-sendiri, baik lagu maupun teks. Bahasa tembang, dalam budaya Jawa disebut ‘basapinathok’, artinya bahasanya sudah ditentukan formatnya, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa tembang,seperti: gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Tembang Jawa telah mengalami perubahan yang cukupsignifikan, baik aturan guru gatra, guru lagu maupun guru wilangan, termasuk peng-golongan tembang.Girisa duhulu digolongkan tembang gedhé, sekarang digolongkan tembang tengahan. Gambuh dan Megatruhdahulu digolongkan tembang tengahan, sekarang digolongkan menjadi tembang macapat. Jumlah gatradalam tembang tengahan Balabak yang dahulu terdiri dari 4 gatra, sekarang menjadi 6 gatra. Perubahanguru lagu tembang Mijil pada gatra ke dua, dahulu jatuh é, sekarang o. Tembang Macapat Asmarandana,tepatnya di gatra ke tiga jatuhnya guru lagu bisa ‘è’ bisa ‘o’. Perlu ketahui bahwa diantara tanda atausimbol bunyi vokal dalam aksara Jawa, ada salah satu simbol bunyi yang terdiri dari dua tanda menyadisatu rangkaian, yaitu taling ( ) dan tarung ( ). Tarung tidak bisa berdiri sendiri, artinya tarung tanpataling tidak akan bisa berbunyi ‘o‘. Ketika menghendaki bunyi ‘o’ tidak bisa secara mandirimenggunakan tarung saja, maka taling tarung merupakan rangkaian tanda yang tidak dapat dipisahkanketika menghendaki bunyi ‘o’, dan tanda taling sangat berpengaruh besar terbentuknya bunyi ‘o’.Satu-satunya sandhangan yang terdiri dari dua tanda menjadi satu rangkaian hanya taling dan tarung.Oleh karena itu sangat logis bahwa vokal ‘o’ dapat digantikan dengan vokal ‘é’. Hal ini tidak menutupkemungkinan berlaku untuk tembang lain yang memiliki permasalahan yang sama. Perkembanganselanjutnya Asmarandana digunakan untuk båwå, yaitu: Båwå Langgam Sri Uning, Cengkir wungu, Babonangrem, Jaka lola dan lain sebagainya. Asmarandana menjadi gending, yaitu: ladrang Asmarandana larassléndro pathet manyura. Asmarandana juga digunakan untuk ada-ada sléndro nem dalam wayang klithik,untuk palaran, untuk cakepan sindhènan gendhing sekar, untuk cakepan géronganKata kunci: tembang, sukon wulon, dan cakepan.