Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search
Journal : Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara

ANALISIS PENENTUAN HARGA JUAL BATUBARA PT BERAU COAL UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP MULUT TAMBANG LATI Ijang Suherman; Bambang Yunianto
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol 14 No 2 (2018): Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Edisi Mei 2018
Publisher : Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara tekMIRA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30556/jtmb.Vol14.No2.2018.189

Abstract

Perusahaan batubara dalam hal menjual batubara harus mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang kewenangannya ada di bawah Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. PT Berau Coal sejak 2003 menjual batubara berupa reject coal kepada Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Lati di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Berdasarkan kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, harga jual batubara tersebut ditetapkan sebesar USD 0,85 per ton atau senilai bagi hasil bagian pemerintah, dengan pertimbangan untuk memajukan daerah. Dengan berjalannya waktu, cadangan reject coal perusahaan tambang tersebut semakin tipis. Di samping itu, penggunaan reject coal untuk pembangkit listrik menimbulkan permasalahan bagi boiler. Untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik tersebut, sebagai alternatif digunakan batubara non reject coal yang tersedia di pasar batubara. Harga batubara untuk steam (thermal) coal ditetapkan berdasarkan Harga Patokan Batubara. Kondisi tersebut menjadi kendala, khususnya untuk periode 2012-2015, yaitu belum adanya kesepakatan harga jual beli dari kedua belah pihak. Berdasarkan analisis, harga tersebut tidak ekonomis bagi pembangkit listrik tersebut (PT Indo Pusaka Berau) maupun PT PLN. Di lain pihak, berdasarkan simulasi cash flow PT Indo Pusaka Berau, jika harga batubara senilai bagian pemerintah, biaya produksi lebih ekonomis, tetapi tidak sesuai lagi dengan peraturan. Untuk mencari win-win solution terhadap persoalan tersebut, maka berdasarkan Pasal 2 dan 3 Peraturan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Nomor 1348.K/30/DJB/2011, bahwa harga batubara untuk pembangkit listrik mulut tambang dengan kalori lebih besar atau sama dengan 3.000 kkal/kg gar dapat dijual dengan harga di bawah Harga Patokan Batubara dengan menyampaikan kajian. Berdasarkan hasil analisis diperoleh satu harga alternatif, yaitu USD 19,96 per ton.
IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TERHADAP PENGEMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA Bambang Yunianto
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol 12 No 1 (2016): Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Edisi Januari 2016
Publisher : Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara tekMIRA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30556/jtmb.Vol12.No1.2016.228

Abstract

Pemberian otonomi daerah dalam perjalanan sejarah pemerintahan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi nasional, dan perkembangan di luar negeri dalam rangka mempercepat pemerataan kemakmuran masyarakat di Indonesia. Dilihat dari perubahan sistem otonomi daerah yang diberlakukan, perubahan yang sangat prinsip dan mendasar terjadi tahun 2004, saat diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dan tahun 2014 dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Perubahan sistem otonomi daerah tahun 2014 dipandang banyak menimbulkan persoalan, sebagian kabupaten/kota menganggap pemberlakuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dilakukan tanpa ada persiapan yang matang, undang-undang terlalu rinci mengatur, dan peraturan pemerintah sebagai pedoman pelaksanaannya belum disiapkan sehingga susah dipedomani dalam pelaksanaan di lapangan. Kewenangan kabupaten/kota atas energi dan sumber daya mineral di bidang mineral dan batubara seluruhnya ditarik ke provinsi, sehingga praktis kabupaten/kota tidak bisa melakukan apapun, sementara provinsi belum siap melaksanakan amanat undang-undang tersebut. Implikasi pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menuntut perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sesegera mungkin, terkait pelimpahan kewenangan dari kabupaten/kota ke tingkat provinsi. Selain itu, dalam masa transisi pelimpahan kewenangan tersebut, pihak provinsi dan kabupaten/kota segera menindaklanjuti Surat Edaran dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sambil menunggu penyelesaian peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
PENYUSUNAN POKOK-POKOK MATERI REGULASI PENGUSAHAAN UNDERGROUND COAL GASIFICATION (UCG) Bambang Yunianto
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol 11 No 2 (2015): Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Edisi Mei 2015
Publisher : Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara tekMIRA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30556/jtmb.Vol11.No2.2015.708

Abstract

Ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar minyak yang makin lama makin besar, disebabkan oleh tidak berimbangnya pertumbuhan produksi minyak dengan peningkatan konsumsi di dalam negeri. Di sisi lain, produksi gas alam Indonesia juga akan mengalami penurunan pada beberapa tahun ke depan. Untuk itu, perlu alternatif pemenuhan minyak dan gas dari sumber lain untuk menjaga ketahanan energi dan pertumbuhan ekonomi. Gasifikasi batubara bawah permukaan atau Underground Coal Gasification merupakan salah satu alternatif solusi terhadap persoalan tersebut, karena gasifikasi batubara dapat menghasilkan syngas yang dapat dikonversi menjadi minyak dan/atau gas alam sinte- sis. Berdasarkan analisis Strength, Weakness, Opportunity, and Threat, diperoleh informasi pentingnya memanfaatkan cadangan batubara bawah permukaan sebagai sumber energi alternatif untuk menopang ketahanan energi nasional. Dalam pemanfaatan cadangan batubara tersebut, diperlukan regulasi pengusahaannya yang menarik yang dapat men- datangkan devisa negara dan menguntungkan seluruh pemangku kepentingan. Sesuai peraturan perundang-undangan, Indonesia sebetulnya telah memberi pilihan bahwa pengusahaan batubara tersebut sebaiknya dikelola sesuai peraturan di bidang mineral dan batubara, yakni Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara beserta produk hukum turunannya. Sedangkan di bagian hilir yang terkait dengan pemasaran produk batubara tersebut, diperlukan rezim minyak dan gas bumi serta rezim energi baru terbarukan untuk mengaturnya.
ANALISIS PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP KONTRAKTOR PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA GENERASI III BAMBANG YUNIANTO
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol 11 No 3 (2015): Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Edisi September 2015
Publisher : Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara tekMIRA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30556/jtmb.Vol11.No3.2015.719

Abstract

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai terhadap kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Generasi III telah menimbulkan sengketa di pengadilan pajak. Persoalan tersebut terjadi karena terdapat perbedaan pemahaman terhadap perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara. Metodologi yang digunakan di dalam kajian ini berdasarkan pada pendekatan keilmuan kebijakan dengan menerapkan metode analisis data sekunder. Hasil analisis data sekunder selanjutnya dimanfaatkan untuk merumuskan dan menjawab pokok persoalan kajian. Berdasarkan analisis data sekunder terdapat perbedaan perlakuan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Pada kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang ditandatangani sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, maka penerapannya diatur sesuai ketentuan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1967 dan produk hukum turunannya, yaitu batubara yang telah mengalami proses pengo- lahan. Sementara itu, peraturan perpajakannya mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan Barang Mewah dengan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985. Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000, perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985, maka pengaturannya didasarkan kepada proses pengolahan batubara menjadi briket. Periode setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai didasarkan kepada Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, bahwa pengertian pengolahan meliputi: peningkatan mutu batubara, pembuatan briket batubara, pencairan batubara, gasifikasi batubara, coal slury/coal water mixture. Artinya, batubara yang belum mengalami beberapa jenis pengolahan tersebut masih dianggap sebagai barang tambang yang diambil langsung dari sumbernya, atau belum mengalami pen- ingkatan nilai tambah, atau merupakan golongan barang yang tidak terkena Pajak Pertambahan Nilai.
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN NILAI TAMBAH MINERAL INDONESIA TERHADAP EKSPOR DAN KETENAGAKERJAAN BAMBANG YUNIANTO
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol 10 No 3 (2014): Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Edisi September 2014
Publisher : Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara tekMIRA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30556/jtmb.Vol10.No3.2014.729

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan peningkatan nilai tambah mineral terhadap penyerapan tenaga kerja dan nilai ekspor. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, bersama- sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, nilai ekspor dan penyerapan tenaga kerja diperkirakan akan menurun drastis pada tahun pertama pelaksanaan peningkatan nilai tambah (2014), tetapi akan bergerak naik pada tahun-tahun berikutnya. Nilai ekspor pada tahun 2014 diperkirakan menurun hampir setengah dari nilai ekspor tahun 2013, namun naik pada tahun 2016, bahkan melampaui nilai ekspor tahun 2013, dan akan dua kali lipat pada tahun 2017. Tahun-tahun berikutnya diperkirakan nilai ekspor Indonesia yang berasal dari komoditas tambang mineral hasil pengolahan dan pemurnian akan terus meningkat, atau bergerak di antara angka USD30-35 miliar. Jum- lah tenaga kerja pada awal kebijakan akan menurun dari semula 56.127 orang pada tahun 2013 menjadi 9.676 orang pada tahun 2014. Seiring beroperasinya smelter, pada 2017, penyerapan tenaga kerja akan naik menjadi 65.440 orang, melampaui penyerapan tenaga kerja pada tahun 2013.
PERSOALAN PERTAMBANGAN RAKYAT PASCA PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 BAMBANG YUNIANTO; RIDWAN SALEH
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol 7 No 4 (2011): Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Edisi Oktober 2011
Publisher : Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara tekMIRA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30556/jtmb.Vol7.No4.2011.811

Abstract

Persoalan pertambangan rakyat, sebagian besar ilegal (Pertambangan Tanpa Izin/ PETI), semakin marak di pelosok tanah air. Secara implisit pertambangan rakyat telah diatur dalam UU No. 4/ 2009, yang ditindaklanjuti dengan 4 Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman, kriteria dan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang diatur dalam peraturan daerah. Sesuai Pasal 20-21 UU tersebut, kewenangan pengelolaan pertambangan rakyat secara penuh telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota.Penanganan PETI yang saat ini marak beroperasi di beberapa daerah dapat dilakukan dengan cepat berdasarkan Pasal 24 UU No. 4/ 2009 yang tidak membatasi masa operasinya. Justru, bila PETI sudah beroperasi harus diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR dan dikeluarkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Dalam penanganan pertambangan rakyat perlu mengedepankan pemberdayaan masyarakat petambang dengan memerhatikan aspek-aspek kebijakan, kelembagaan, permodalan, teknologi, lingkungan, dan pemasaran hasil tambang.
KAJIAN PROBLEMA PERTAMBANGAN TIMAH DI PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SEBAGAI MASUKAN KEBIJAKAN PERTIMAHAN NASIONAL BAMBANG YUNIANTO
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol 5 No 3 (2009): Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Edisi Juli 2009
Publisher : Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara tekMIRA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30556/jtmb.Vol5.No3.2009.893

Abstract

Propinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi timah yang cukup besar, tetapi saat ini potensi di daratan tinggal sedikit, sebagian besar merupakan ampas penambangan masa lalu. Untuk cadangan timah di lepas pantai masih besar, diperkirakan cukup untuk ditambang 50 tahun dengan kapasitas produksi saat ini (120 ton per tahun). Komoditas timah telah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi devisa negara dan perekonomian daerah. Akibat penurunan pendapatan masyarakat dari usaha tani lada putih pada 10 tahun terakhir, dan krisis ekonomi, telah menggiring petani lada putih menjadi penambang timah. Terbitnya Kepmen Perindag dan Permendag di bidang ekspor yang diikuti oleh perda pertambangan dan pengolahan kabupaten/ kota yang berorientasi PAD telah memberi peluang yang lebih luas bagi perkembangan tambang inkonvensional dan smelter-smelter kecil timah di propinsi ini. Dampak negatif berupa kerugian negara dari royalti (3%) mencapai US$ 13.500.000 per tahun, belum termasuk pajak-pajak lainnya, dan kerusakan lingkungan. Akibat ekspor logam timah bebas tanpa merk telah membuka penyelundupan, sehingga bisnis timah tidak sehat. Penyelesaian problema pertimahan tersebut diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan sektor pertambangan pada berbagai tingkatan pemerintahan, dan lintas sektoral. Kegiatan tersebut harus berpedoman kepada hasil kerja T2PT (Tim Terpadu Penataan Usaha Pertambangan Timah) di daerah dan koordinasi Menko Perekonomian di pusat. Produk hukum (pusat dan daerah) yang terkait pertambangan yang tidak sesuai praktek pertambangan yang benar dan  bisnis  timah  yang  sehat  harus  didiskualifikasi.  Pengelolaan  smelter timah yang telah menciptakan pertambangan timah di bagian hulu tidak terkendali, dan bisnis timah tidak sehat harus dikembalikan kepada DESDM, Distamben Propinsi, Distamben Kabupaten/Kota. Masalah logam timah bermerk dan kadar timah yang dipersyaratkan dalam pasar internasional harus ditegakkan agar bisnis timah sehat. Akhirnya, royalti dan pajak lainnya dan retribusi daerah dapat dipungut pemerintah dan kerusakan lingkungan dapat dikelola.
KAJIAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL EKONOMI RENCANA PENAMBANGAN DAN PENGOLAHAN PASIR BESI DI PANTAI SELATAN KULON PROGO, YOGYAKARTA BAMBANG YUNIANTO
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Vol 5 No 1 (2009): Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Edisi Januari 2009
Publisher : Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara tekMIRA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30556/jtmb.Vol5.No1.2009.911

Abstract

Rencana penambangan dan pengolahan pasir besi oleh PT. Jogja Magasa Mining (PT. JMM) untuk menghasilkan pig iron di Kabupaten Kulon Progo, DIY, ditolak sebagian masyarakat petani yang mengusahakan lahan tersebut, dengan alasan masalah lingkungan dan sosial ekonomi. Wilayah Kontrak Karya (KK) PT. JMM, termasuk PT. Krakatau Steel (PT. KS) dan Indo Mines Ltd. berada dalam lahan Pakualaman pada kawasan sepanjang 22 kilometer pesisir Kulon Progo, di wilayah Kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan Galur. Deposit pasir besi sekitar 33,6 juta ton. Produksi direncanakan 500.000 ton per tahun dan umur tambang diperkirakan sampai 25 tahun. Penambangan menerapkan tambang kering dan proses ekstraksi dilakukan dengan teknologi Autokumpu seperti yang diterapkan di New Zealand Steel. Reklamasi akan dilakukan sejauh 200 meter ke darat dengan dibuat gumuk artifisial dan ditanami cemara udang. Saat ini kegiatan PT. JMM dan Indo Mines Ltd. sedang memasuki tahap studi kelayakan dan AMDAL yang dibantu oleh UGM. Berdasarkan analisis, permasalahan bersumber dari kurangnya sosialisasi dan koordinasi antara sektor pertanian dengan pertambangan. Secara prosedural perizinan, seluruh tahapan telah sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia dan praktek-praktek pertambangan internasional. Menurut Bappeda Kabupaten Kulon Progo, kegiatan PT. JMM dan Indo Mines Ltd. tidak menyalahi tata ruang kawasan pantai pesisir selatan dan sudah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sedangkan secara ekonomi, beberapa keuntungan yang akan diperoleh pemerintah dan masyarakat, antara lain terbukanya lapangan pekerjaan yang sangat luas baik pada kegiatan penambangan, pengolahan, maupun industri pendukungnya; peningkatan PAD, meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar lingkar proyek melalui program pengembangan masyarakat, membantu industri baja nasional (PT. Krakatau Steel), dan merupakan satu-satunya industri pig iron di Asia Tenggara.