Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

MODEL BISNIS USAHA PAKAN IKAN MANDIRI BERBASIS MASYARAKAT DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Budi Wardono; Rikrik Rahadian; Tajerin Tajerin
Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol 12, No 1 (2017): JUNI 2017
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Eonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1239.17 KB) | DOI: 10.15578/jsekp.v12i1.6301

Abstract

Program Gerakan Pakan Ikan Mandiri (GERPARI) bertujuan mengurangi ketergantungan pakanikan pabrikan melalui peningkatan pemanfaatan bahan baku lokal, yang diharapkan bisa menjadi modelbisnis pengembangan pakan ikan di Indonesia. Tujuan penelitian menyusun model bisnis usaha pakanikan mandiri berbasis masyarakat. Penelitian telah dilakukan pada bulan Januari-Desember 2016,dengan lokasi penelitian di pabrik pakan Kabupaten Sleman dan Gunungkidul, Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder terkait manajemen pabrik pakanmandiri di kedua lokasi. Analisis data eksisting pabrik pakan untuk mengetahui dan menggambarkankinerja pabrik pakan saat ini. Analisis yang digunakan untuk menyusun model bisnis yang diperbaikidengan pendekatan Bisnis Model Canvas/Business Model Canvas (BMC) dengan strategi blueocean (blue ocean strategy). Analisis SWOT dengan pendekatan Blue Ocean menghasilkan strategiberdasarkan empat elemen yaitu: menghilangkan (eliminate); mengurangi (reduce); meningkatkan(raise) dan menciptakan (create). Pendalaman informasi dilakukan dengan cara Focus Group Discusion(FGD). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa usaha pabrik pakan ikan mandiri memiliki resiko danketidakpasatian yang menyebabkan usahanya kurang menarik bagi pelaku usaha. Model Bisnis pabrikpakan ikan mandiri yang ada sekarang belum dapat mencerminkan kinerja “yang baik”. Penyebabutamanya adalah tidak terpenuhinya kontinuitas usaha dan rendahnya produktifitas pabrik pakan ikanmandiri karena tidak terjaminnya ketersediaan bahan baku secara kontinyu. Model bisnis yang diperbaikidiharapkan mampu meningkatkan kinerja pabrik pakan. Perbaikan model ini dilakukan dengan strategi:menciptakan ruang pasar yang belum ada pesaingnya; menciptakan dan menangkap peluang baru danmemadukan keseluruhan sistem untuk mengejar diferensiasi dengan biaya murah. Penerapan ModelBisnis yang diperbaiki perlu disertai dengan perbaikan identifikasi yang lebih spesifik terkait dengan:karakteristik ekosistem usaha, SDM dan manajemen pengelolaan.Title: Community Based Model for Self-sufficiency Fish Feed in Daerah Istimewa Yogyakarta ProvinceThe self-sufficient fish feed movement program (Gerakan Pakan Ikan Mandiri/GERPARI), aims atloosening the dependency toward manufactured fish feed through locally available raw material usage,hopefully could become the model of business development for Indonesian fish feed businesses. Thisresearch purpose is intending on developing a business model of a community-based, self-sufficient fishfeed business. The samples of fish feed manufacturers were observed during January-December 2016in Sleman and Gunungkidul regency, Special region of Yogyakarta. Data collected were secondary aswell as primary data related to the management and operational of the manufacturers. The analysis ofthe existing manufacturers was done to describe the current on-going performance, and the improvedbusiness model development was run using the Business Model Canvas (BMC) with the blue oceanstrategy. SWOT analysis with Blue Ocean approach obtained strategy based on four elements:eliminating; reduce; improve and create. An in-depth information collection was also conducted throughan FGD. The results showed that fish feed businesses model are heavily invested with high risks anduncertainties thus rendering them unfavorable in the investors’ perspective. Existing self-sufficientfish feed business models are considered to be inefficient, since both business continuity as well as productivity are mostly very low due to the lack of stable raw material supply. Therefore, the improvedfish feed business model would hopefully be able to enhance performance through several strategies,such as: creating market space with no competition; and creating and capturing new opportunities andmixing the whole system to seize differentiation with low cost. The application of the improved businessmodel would also require improvement in a more specific identification regarding business ecosystemcharacteristics, human resources and management.
PERANAN “BANTAL SOSIAL” PADA MATA PENCAHARIAN NELAYAN SKALA KECIL DI JAWA Budi Wardono; Akhmad Fauzi
Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol 11, No 2 (2016): DESEMBER (2016)
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Eonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (614.037 KB) | DOI: 10.15578/jsekp.v11i2.3831

Abstract

Salah satu alasan yang kuat nelayan tangkap skala kecil tetap melaut meskipun mempunyai risiko tinggi karena peluang/prospek pendapatan/penerimaan yang tinggi pada satu saat. Risiko melaut tidak hanya membuat ketidakpastian tetapi juga karena risiko biaya operasional yang tinggi. Dihadapkan dengan kondisi biaya operasional yang  tinggi, nelayan menggunakan strategi yang berbeda, salah satunya melekat pada peran tengkulak. Dalam pandangan konvensional, pedagang perantara/ langgan sebagai hambatan bagi nelayan untuk menjadi kompetitif di pasar. Namun di negara berkembang seperti Indonesia, mereka memainkan peran penting sebagai "bantal sosial" dalam kehidupan nelayan skala kecil. Tujuan penelitian adalah menyelidiki tingkat kecenderungan keterikatan hubungan langgan/pedagang antara sebagai “bantal sosial” dengan nelayan di dua daerah penangkapan ikan yang menonjol di pantai utara dan pantai selatan Jawa. Analisis data dilakukan dengan metode analisis kuantitatif yaitu model analisis multinomial logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nelayan dari pantai utara cenderung sangat kuat hubungannya dengan perantara untuk kelangsungan hidupnya dibandingkan dengan nelayan di pantai selatan. Implikasi dari temuan tersebut bahwa peran sentral langgan/perantara/tengkulak/langgan merupakan bentuk hubungan yang bersifat ekonomi dimana kedua belah pihak bisa mengambil keuntungan. Pola hubungan bukan hanya sekedar sebagai penyangga, namun lebih dari itu yaitu berfungsi sebagai “bantal” sosial (social cushion) para nelayan. Hubungan seperti ini merupakan bentuk layanan dimana para nelayan bisa mendapatkan alternatif layanan jasa “kredit” dari para perantara/langgan/tengkulak. Bentuk layanan seperti yang diperankan oleh langgan/pedagang perantara selama ini belum bisa digantikan oleh lembaga pemerintah yang resmi, dimana pola hubungan tersebut sangat dibutuhkan oleh nelayan skala kecil. Pola hubungan tersebut selain dipengaruhi oleh lokasi, juga dipengaruhi oleh status kepemilikan kapal, lama kepemilikan kapal dan jumlah ABK.Title: The Role “Social Cushion” On The Livelihood Of Small Scale Fishers In JavaOne of the strong reason for small scale fishers to keep fishing despite high risk of fishing, is the prospect of high earning at one moment in time. Risk at fishery not only  create uncertaining but also risk high cost of fishing. Faced with such a high cost, fishers use different strategies, one of which is attached to the middlemen. Convientional views middlemen as an obstacle for fishers to be competitive in the market. Yet in developing country such us Indonesia, they play crucial role as a “social cushion” in the livelihood of small scale fishers. The purpose of research is to investigate the tendency of engagement relationships middleman as "social cushion" with fishermen in the fishing areas that stand out on the north coast and the south coast of Java. Data was analyzed using quantitative analysis method multinomial logistic analysis model. Results of this study show that fishers of the northern coast tend to strongly attach to middlemen for their survival compared with those in the southern coast.  Relationships with fishermen middlemen is a service, where fishermen can get alternative services "credit" from the middleman. Services such as that played by middleman has not been able to replace them by official government agencies, where this kind of relationship is needed by small-scale fishermen. The relationship patterns in addition affected by the location, also influenced by the status of ownership of the vessel, long time ship ownership and the number of crew.  
SERTIFIKAT MUTU SEBAGAI SALAH SATU JENIS HAMBATAN NON TARIF PERDAGANGAN TUNA DAN UDANG: DEFINISI, JENIS DAN PERMASALAHANNYA rismutia hayu deswati; Tajerin Tajerin; Budi Wardono
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 2, No. 2, Tahun 2016
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.939 KB) | DOI: 10.15578/marina.v2i2.4962

Abstract

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor tuna dan udang tertinggi dengan negara tujuan USA, UE dan Jepang. Setiap tahunnya volume ekspor tuna dan udang mengalami peningkatan dengan pasar yang semakin luas. Pada dunia perdagangan internasional dikenal dua jenis hambatan ekspor yaitu hambatan tarif dan non tarif. Di kala berita mengenai hilangnya hambatan tarif sebenarnya di satu sisi meningkatkan jumlah hambatan non tarif yang diberlakukan negara pengimpor. Salah satu jenis hambatan non tarif yang sedang menjadi topik hangat adalah mengenai sertifikat mutu ikan yang terdiri atas berbagai jenis. Tujuan dari penelitian ini untuk memaparkan jenis-jenis sertifikat mutu yang secara sukarela bisa dilengkapi untuk memperluas peluang pasar bagi ekspor tuna dan udang. Hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat berbagai jenis sertifikat mutu yang harus dilengkapi eksportir diantaranya SKP, HACCP, BRC, BAP, MSC, ASC dan ISO 22000. Setiap sertifikat mengeluarkan biaya yang mahal dengan jangka waktu berlakunya sertifikat tidak lama antara 1-2 tahun saja. Permasalahan terkait pengurusan sertifikasi mutu jika tidak dibantu oleh Pemerintah Pusat ke depannya akan menjadi hambatan non tarif yang mengancam keberlanjutan usaha pengolahan tuna dan udang yang ada di Indonesia. Oleh karena itu butuh peran serta dan sinergi yang baik antara Pemerintah pusat dan eksportir untuk mengakomodir permasalahan ini.Title: Identification Of Quality Certificate As One Type Of Tuna Tradebarriers To Non Rates And ShrimpIndonesia is one of the highest exporter of tuna and shrimp products with destination markets such as USA, EU and Japan. Each year, the tuna and shrimp export volume increased by an expand broad market. There are two types of export barriers in international trade, tariff and non tariff barriers. Elimination of tariff barriers did not necessarily make reduced international trade barriers, non-tariff barriers actually increased. One of non-tariff barriers is the quality certificates of fish consisting of various types. The purpose of this study to describe the types of voluntary quality certificate can be equipped to expand market opportunities for the export of tuna and shrimp. The result showed that there are different types of quality certificate exporters must have, such as : SKP, HACCP, BRC, BAP, MSC, ASC and ISO 22000. Each certificate is highly cost and  only have a validity period of 1-2 years. Problems related to the maintenance of quality certification if it is not helped by the central government in the future, will become non-tariff barriers that threaten the sustainability of tuna and shrimp processing business in Indonesia. Therefore, need the participation and synergy between the central government and exporter to form a certification body to accommodate a wide range of export certification services.
PERUBAHAN MATA PENCAHARIAN DARI PETANI KE NELAYAN PERIKANAN TANGKAP LAUT DI DESA KANIGORO KECAMATAN SAPTOSARI, KABUPATEN GUNUNGKIDUL Budi Wardono
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 2, No. 2, Tahun 2016
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (340.475 KB) | DOI: 10.15578/marina.v2i2.4966

Abstract

Telah terjadi perubahan mata pencaharian masyarakat di sepanjang pantai selatan Kabupaten Gunungkidul. Semula, sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, namun sejak tahun 1980-an mulai beralih profesi sebagai nelayan. Perubahan pekerjaan tersebut terjadi sejak masyarakat mendapat pelatihan nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Baron. Tujuan penelitian untuk mengetahui transformasi pekerjaan dari petani menjadi nelayan, dan peran  perikanan tangkap laut sebagai sumber mata pencaharian utama. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2014, di TPI Ngrenehan, Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul. Responden terdiri dari nelayan, Anak Buah Kapal (ABK), pedagang, penyedia bahan bakar minyak (BBM) dan jasa modal usaha (juragan). Hasil analisis menunjukkan bahwa pekerjaan nelayan dilokasi penelitian saat ini memberikan kontribusi utama sebagai sumber pendapatan keluarga. Namun demikian nelayan tidak meninggalkan kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian masih tetap dilakukan oleh nelayan dengan memanfaatkan waktu luang setelah bekerja jadi nelayan dan pada saat cuaca buruk. Kegiatan peternakan, dijadikan sebagai sumber tabungan yang akan digunakan untuk biaya pendidikan atau sebagai tabungan untuk sumber permodalan. Pendapatan dari sektor peternakan digunakan untuk investasi baru yaitu memperbaiki/membeli perahu, membeli mesin dan alat tangkap. Title: Transformation livelihood: From Farmers To Fishermen On The Southern Coast, Gunungkidul RegencyHave been changes in the livelihoods of communities along the southern coast of Gunungkidul Regency. Originally, mostly subsistence farmers, but since the 1980s began to change their profession as a fisherman. The job changes have occurred since the community received training fishermen in TPI Baron. Purpose of research to transform the work of farmers become fishermen, and the role of capture fisheries as the main source of livelihood. Research conducted from February to May 2014, in TPI Ngrenehan, Kanigoro, District Saptosari, Gunungkidul Regency. Respondents consisted of fishermen and crew, traders, fuel providers, venture capital services (middlemen). The analysis showed that fishermen work in the location of current research provides a major contribution as a source of family income. However, the fishermen did not leave the farm. Agricultural activities are still carried out by fishermen to use their spare time after work so fishermen and during bad weather. Farming activities, serve as a source of savings that will be used for education or as a source of savings for capital. Revenue from livestock used for new investments is to improve / buy a boat, buy machinery and fishing gear. 
Potret Perikanan Tangkap Tuna, Cakalang dan Layang di Kota Bitung Cornelia Mirwantini Witomo; Budi Wardono
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 7, No. 1, Tahun 2012
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (639.488 KB) | DOI: 10.15578/marina.v7i1.4592

Abstract

Tujuan penulisan ini adalah memberikan gambaran keragaan perikanan tangkap di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Komoditas utama perikanan tangkap Kota Bitung adalah tuna, cakalang dan layang. Kota Bitung memiliki satu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) yang keberadaannya sangat strategis. Pendaratan ikan di PPS Bitung berasal dari tangkapan kapal-kapal nelayan sekitar dan nelayan jaring pukat cincin (purse seine), pancing (hand line), rawai (long line) serta kapal pengumpul dan pengangkut. Armada penangkapan di Kota Bitung sebagian besar adalah alat tangkap menggunakan mata pancing seperti pancing tuna, rawai tuna, pancing ulur karena ini berpengaruh dengan nilai jual ikan yang tertangkap khusus ikan tuna dan ikan cakalang. Jumlah perusahaan/ UPI yang bergerak dalam bidang perikanan tangkap dan eksportir di Kota Bitung sebanyak 35 perusahaan. Pada umumnya jenis ikan yang di ekspor adalah tuna. Jalur ekspor ikan tuna dari Kota Bitung yaitu melalui laut dan udara.
Penelitian Analisis Kebijakan Ketersediaan Ikan Menjelang Idul Fitri 1436 H Siti Hajar Suryawati; Subhechanis Saptanto; Budi Wardono; Rizki Aprilian Wijaya; Cornelia Mirwantini Witomo
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 1, No. 2, Tahun 2015
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (408.956 KB) | DOI: 10.15578/marina.v1i2.2072

Abstract

Menjelang hari raya idul fitri kebutuhan bahan pangan mengalami peningkatan permintaan yang berbanding lurus terhadap ketersediaan dan kenaikan harga. Salah satu komoditas bahan pangan yang mengalami peningkatan permintaan dan kenaikan harga adalah komoditas ikan. Tulisan ini bertujuan menganalisis ketersediaan ikan menjelang idul fitri dengan menggunakan pendekatan metode Coppock Instability Index (CII). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder produksi ikan menurut triwulan dan harga ikan harian yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Hasil analisis menunjukkan bahwapada kuartal III dan IV (saat ramadhan dan idul fitri) produksi ikan pada umumnya berada di atas rata-rata (nilai rata-rata sebesar 1,53 juta ton) dimana di kuartal III sebesar 1,57 juta ton dan kuartal IV sebesar 1,60 juta ton. Terdapat 10 provinsi yang berada pada kategori kurang tersedia yaitu provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Papua. Kondisi sebelum puasa sebagian indek berada pada kondisi yang stabil dan permintaan ikan meningkat (high growth low instability). Namun berdasarkan indeks ketidakstabilan, pada saat puasa menunjukkan ketidakstabilan yang tinggi dan permintaan ikan meningkat (high growth and high instability). Sementara itu pada saat idul fitri kondisinya adalah ketidakstabilan tinggi dan permintaan ikan menurun (high instability and low growth).
Keragaan Teknologi Garam pada Beberapa Kawasan Sentra Produksi di Kabupaten Lamongan Budi Wardono; Istiana Istiana
Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 9, No. 1, Tahun 2014
Publisher : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (388.46 KB) | DOI: 10.15578/marina.v9i1.214

Abstract

Kabupten Lamongan mempunyai potensi tambak garam yang tergolong luas (350 ha). Untuk mencapai hasil produksi garam yang optimal, pemerintah telah mengimplementasikan berbagai program, seperti: PNPM Mandiri KP (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat/PUGAR), Iptekmas Garam, Teknologi Tepat Guna (TTG) garam Arifin Sedayu Lawas yang tumbuh dimasyarakat. Dalam pelaksanaannya, dalam program PUGAR dilakukan bantuan pengembangan usaha dan perberdayaan masyarakat dalam menumbuh kembangkan usaha garam rakyat sesuai dengan potensi, dan diharapkan mampu meningkatkan produktifitas dan nilai tambah usaha garam. Penelitian mengenai keragaan teknologi garam pada beberapa kawasan sentra produksi di Kabupaten Lamongan telah dilakukan pada tahun 2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaan teknologi garam yang ada dimasyarakat dan peluang pengembangannya. Data yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh dari hasil obeservasi dan wawancara di lapang. Data dianalisis dengan pendekatan deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan produktifitas dapat dilakukan melalui program PUGAR, terutama dengan adanya bantuan paket yang disertai pendampingan oleh PPTK, dan upaya peningkatan produktifitas garam dihasilkan dari TTG Garam Arifin Sedayu Lawas serta upaya peningkatan kualitas garam rakyat dilakukan melalui proses pencucian yang dihasilkan dari rekayasa teknologi sederhana hasil P3SDLP yang mampu menghasilkan garam dengan kualitas garam konsumsi. Untuk mendukung peningkatan produktifitas tambak garam di Kabupaten Lamongan, perlu dilakukan peningkatan kapasitas kelembagaan khususnya melalui pembentukan kelembagaan koperasi sebagai wadah usaha yang menaungi kepentingan anggota kelompok terutama dalam hal menjaga stabiltas harga produksi garam.