Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

EKSISTENSI QIYĀS MA`AL FĀRIQ DALAM ISTINBĀTH HUKUM Izzul Madid
JURNAL ILMIAH MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi, dan Keagamaan Vol 3, No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Syariah UINFAS Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/mzn.v3i2.1034

Abstract

Dalam qiyās, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar qiyās yang dilakukan tergolong sebagai qiyās yang sah. Salah satunya adalah tidak adanya perbedaan yang berpengaruh antara maqīs dengan maqīs `alaih. Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak mungkin ada dua hal yang sangat mirip sehingga tidak ditemukan perbedaan. Setiap dua hal yang mirip pasti memiliki perbedaan. Disamping itu, syarat ini tidak sejalan dengan definisi qiyās yang menjelaskan bahwa cabang disamakan dengan asal karena ada kesamaan illat, bukan kesamaan secara keseluruhan. Oleh karena ini, ada sebagian ulama yang menyamakan maqīs pada maqīs `alaih walaupun ada sisi perbedaan, dengan catatan perbedaan tersebut bukan perbedaan yang berpengaruh. Qiyās semacam ini disebut sebagai Qiyās ma`al fāriq. Meskipun demikian, ternyata ulama tidak memberikan kriteria tentang sisi-sisi perbedaan yang berpengaruh dan yang tidak sehingga menyebabkan perbedaan pendapat. Kriteria tentang perbedaan yang berpengaruh sangat penting diketahui agar bisa mengklasifikasi qiyās yang nantinya akan dinilai sebagai qiyās yang sah dan yang tidak. Setelah menganalisa data-data yang terkumpul, dihasilkan simpulan bahwa kriteria fāriq disebut muattsir bilamana mengandung salah satu dari beberapa hal: salah satu diantara maqīs atau maqīs `alaih mengandung unsur keringangan/kemudahan, mengandung unsur dharurat, salah satu keduanya merupakan hakikat sementara yang lain bukan hakikat, tujuan keduanya tidak sama, atau ditemukan kasus lain yang memiliki kemiripan lebih banyak. 
DINAMIKA PEMIKIRAN NAHDLATUL ULAMA DALAM MERESPONS KEPEMIMPINAN NON MUSLIM DI INDONESIA Izzul Madid
JURNAL ILMIAH MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi, dan Keagamaan Vol 6, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Syariah UINFAS Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (271.391 KB) | DOI: 10.29300/mzn.v6i1.2197

Abstract

The leadership of non-Muslims in Indonesia had become a hot spotlight when the action 212 was held. Many people who later conducted a study of Islamic law about the validity of a non-Muslim was appointed as a leader. One study of this matter that is quite unique is the result of the Bahtsul Masail held by the GP Ansor which resulted in a conclusion that a non-Muslim is legitimately appointed as a leader in Indonesia. The results of this study reaped polemics because by some circles, it was considered to harm NU's thoughts which had been decided at the 1999 Congress at Lirboyo. This article intends to explore how NU's real thinking as a Muslim mass organization is the largest in responding to non-Muslim leadership in the Indonesian context. From the results of this study, it was concluded that organizationally, NU had never discussed the issue of non-Muslim leadership specifically, either in the Congress or National Conference of Alim Ulama. The issue that has been raised by NU in relation to non-Muslim politics is around its electability as a legislative council.