Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

AMBIGUITAS HAK ATAS PERKAWINAN DAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974 Lukman Santoso; Hani Zain Fathuri
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 1, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v1i1.1825

Abstract

AbstractMarriage issues are always actual problems and are always interesting to talk about. There are many ways to get married, one of which happens in the followers of the Sapta Darma trust. Marriage is one of the rights guaranteed by the 1945 Constitution and several regulations regarding marriage in Indonesia. Article 28B paragraph 1 states that every person has the right to form a family and continue the descent through a legal marriage. As one of the basic human rights, the right to hold a marriage applies universally and is non-discrimination against citizens. The division of marital rights guarantees applies to several citizens, especially the stream of Defenders of the Trust. Law No. 1 of 1974 concerning marriages does not reflect justice for some citizens, the laws only favor the majority of religious groups, narrowing the meaning of trust that should exist and be recognized in the law.Keywords: Marriage, Belief of Trust, Law No. 1 of 1974. AbstrakPersoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk diperbincangkan. ada banyak cara untuk melakukan perkawinan, salah satunya yang terjadi di penghayat kepercayaan Sapta Darma. Perkawinan merupakan salah satu hak yang dijamin oleh UUD 1945 dan beberapa regulasi tentang perkawinan di Indonesia. Pasal 28B ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Sebagai salah satu hak asasi, hak untuk melangsungkan perkawinan berlaku secara universal dan non diskriminasi terhadap warga negara. Terbelahnya jaminan hak perkawinan ini berlaku pada beberapa warga negara khususnya aliran Penghayat Kepercayaan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak mencerminkan keadilan bagi sebagian warga negara, undang-undang hanya memihak pada golongan mayoritas agama, mempersempit makna kepercayaaan yang seharusnya ada dan diakui keberadaanya dalam undang-undang. 
Penolakan Izin Poligami Perspektif Keadilan Gender Arij Amaliyah; Lukman Santoso
JATISWARA Vol. 38 No. 2 (2023): Jatiswara
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jtsw.v38i2.509

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi logika penemuan hukum hakim dalam Putusan Nomor 1512/Pdt.G/2022/PA.Kab.Mn. serta menganalisisnya dengan menggunakan teori keadilan gender. Secara normatif kebolehan poligami bertumpu pada persetujuan dari istri dan kemampuan suami untuk bersikap adil. Dalam konteks kasus ini, persoalan berawal dari pengajuan permohonan izin poligami yang dilakukan setelah Pemohon menikah dengan calon istri kedua. Argumentasi Pemohon yang telah menikah sebelum mengajukan permohonan poligami dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doctrinal dengan pendekatan kasus, pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Sumber data penelitian ini berupa putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan hasil-hasil penelitian. Penelitian ini berkontribusi memberikan pijakan konseptual bagi hakim dalam menghasilkan putusan permohonan izin poligami yang berpijak pada keadilan gender agar keadilan di masyarakat tercipta secara objektif. This study aims to explore the logic of the judge's legal findings in Decision Number 1512/Pdt.G/2022/PA.Kab.Mn. and analyze it using the theory of gender justice. Normatively the permissibility of polygamy rests on the consent of the wife and the ability of the husband to be fair. In the context of this case, the problem started with the filing of an application for a polygamy permit which was made after the Petitioner married his second wife. Argumentation The Petitioner who was married before filing the application for polygamy was considered an unlawful act. This research is a doctrinal legal research with a case approach, conceptual approach and statutory approach. Sources of data for this research are court decisions, laws and regulations, books, journals, and research results. This research contributes to providing a conceptual basis for judges in making decisions on applications for polygamy permits that are based on gender equity so that justice in society is created objectively.