Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

HISTORISITAS DAN NORMATIVITAS HUBUNGAN ANTARA AGAMA Ismail Ismail
Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam Vol 2, No 2 (2017): DESEMBER
Publisher : IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (290.169 KB) | DOI: 10.29300/ttjksi.v2i2.712

Abstract

Abstrak: Historisitas dan Normativitas Hubungan Antara Agama. Ada pendapat yang mengatakan bahwa semua agama itu sama. Meskipun pendapat itu dilontarkan oleh sebagian kecil pendapat masyarakat yang ada di sekitar kita. Dikatakan sama, karena tujuan-tujuan agama itu sama yaitu mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik serta menghindari perbuatan yang jahat, serta selalu membangun hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya saja cara yang digunakan oleh tiap-tiap agama dalam mendekati Tuhan berbeda-beda. Misalnya, umat Islam pada hari Jum’at pergi ke Masjid, orang Kristen pada hari Ahad pergi ke Gereja, orang Yahudi ke Sinagog, sedangkan orang Hindu atau Budha memuja disuatu Candi atau di tempat yang sunyi untuk melakukan meditasi.
PERADABAN ISLAM NUSANTARA (KAJIAN SASTRA SUFI MELAYU) Ismail Ismail
Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam Vol 1, No 1 (2016): JUNI
Publisher : IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (254.01 KB) | DOI: 10.29300/ttjksi.v1i1.863

Abstract

Abstrak: Peradaban Islam  Nusantara (Kajian  Sastra Sufi Melayu). Memahami perkembangan arah pemikiran dan peradaban Islam Melayu Nusantara secara umum telah menggambarkan proses dan hasil yang telah dicapai pada masyarakat Islam Nusantara baik periode klasik maupun periode modern dengan hasil yang sangat menakjubkan. Hasil itu, terbukti dengan maju  dan pesatnya ilmu-ilmu naqliyyah dan ilmu-ilmu aqliyyah dengan segala farian-fariannya. Terlebih lagi wilayah Nusantara merupakan wilayah yang ada di seluruh kepulauan Indonesia yang memperlihatkan keberagaman atau kemajemukan dalam berbagai hal. Misalnya saja bahasa dan adat-istiadat yang dimiliki masyarakatnya.Perjalanan sejarah yang dilampaui masyarakatnya juga cukup panjang. Sebelum Islam masuk ke wilayah Nusantara ini, masyarakatnya telah memeluk agama, misalnya, Hindu, Budha, dan Nasrani. Oleh sebab itu, peradaban Islam Melayu Nusantara memperlihatkan kekhasan tersendiri yang tidak sama dengan peradaban Islam di manana pun. Peradaban Islam di wilayah ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang pendukungnya. Tulisan ini berbicara tentang wujud peradaban Islam Melayu Nusantara yang terdiri dari  pemikiran,  ilmu pengetahuan dan tulisan, sistem sosial, dan seni sastra.
EKSISTENSI ULAMA MINANG DAN ULAMA JAWA DALAM MENGEMBANGKAN ISLAM DI BENGKULU ismail ismail
Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam Vol 4, No 2 (2019): Jurnal Tsaqofah & Tarikh
Publisher : IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/ttjksi.v4i2.2468

Abstract

Menurut Hiroko Horikoshi, peran ulama yang paling bernilai dan utama adalah terkait peran tradisionalnya, yakni sebagai penanggung jawab  dalam mempertahankan keyakinan (keimanan). Melalui pengajaran ilmu-ilmu agama, ulama melestarikan praktek-praktek ortodoksi keagamaan para penganutnya. Ulama tidak dapat dipisahkan dari agama dan umat. Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah menyebutkan bahwa posisi ulama dari sudut sosiologis sebagai pusat dalam hubungan Islam dengan umatnya. Itulah sebabnya, ulama sering menampilkan diri sebagai figur yang menentukan dalam pergumulan umat Islam di panggung sejarah, berhubungan dengan pemerintahan, politik, sosial, budaya dan pendidikan.  Pembentukan Muslim dan kelestariannya tidak dapat dilepaskan dari peran ulama. Dalam pada itu, masyarakat Muslim memiliki andil bagi terbentuknya ulama secara berkesinambungan. 
Filsafat Etika Mulla Shadra antara Paradigma Mistik dan Teologi Ismail Ismail; Aziza Aryati
Manthiq Vol 3, No 2 (2018): Jurnal Manthiq
Publisher : Sekolah Pasca Sarjana IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/mtq.v3i2.2900

Abstract

Abstrak: Filsafat Etika Mulla Shadra antara Paradigma Mistik dan Teologi. Secara historis, etika sebagai wahana filsafat lahir akibat dari rusaknya tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun yang lampau. Pandangan-pandangan lama mengenai hakekat baik dan buruk tidak lagi dipercaya, karenanya para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi keakuan manusia saat itu. Persoalan yang sering mengemuka saat itu, apa norma-norma untuk menentukan sesauatu yang harus dianggap sebagai kewajiban? Misalnya, dalam bidang etika hubungan antara suami dan istri, hubungan anak dan orang tua, kewajiban terhadap Negara, etika dalam pergaulan serta penilaian terhadap nyawa manusia. Pandangan-pandangan tersebut sangat berbeda satu sama  lainnya. Untuk mengatasi pergolakan perbedaan pendapat tersebut, diperlukan refleksi kritis terhadap etika. Persoalan etika atau moralitas selalu menarik untuk dikaji kapanpun atau dalam kontek apapun. Tulisan ini membicarkan seorang filosof Muslim yang memiliki kepedulian terhadap etika atau moralitas manusia, yaitu Mulla Shadra. Filsafat moral yang ditawarkan oleh Mulla Shadra sering disebut dengan istilah al-Hikmah al-Muta’aliyah. Secara epistemologis al-Hikmah al-Muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu pertama; intuisi intelektual (dzawaq atau isyraaq), kedua; pembuktian rasional (‘aql atau istidlal), dan ketiga; syariat. Dengan demikian, hikmah mengandung arti kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh melalui pencerahan rohaniyah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif, tetapi juga realisasi yang mengubah wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti syariat. 
Sejarah dan Perbandingan Pendidikan Negara Brazil dan Saudi Arabia Bujang Ruslan; Fadli Afriansyah; Hery Noer Aly; Zulkarnain Zulkarnain; Ismail Ismail
Kaganga:Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora Vol 5 No 1 (2022): Kaganga:Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora
Publisher : Institut Penelitian Matematika, Komputer, Keperawatan, Pendidikan dan Ekonomi (IPM2KPE)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (339.701 KB) | DOI: 10.31539/kaganga.v5i1.4012

Abstract

The purpose of this research is to compare the education sistem in Brazil with a communist figure named Paulo Freire with the Government Sistem of the State of Saudi Arabia (Islam), the Holy Qur'an and the Sunnah of the Prophet Muhammad SAW. The research method and the type of data collection in this research is library research. The analysis technique uses a descriptive analysis approach by reducing data from library sources. The results of the study in Brazil have a federal government sistem, a republican government sistem , unions, federal districts and cities in managing and regulating the education sistem . Saudi Arabia is a royal state. The education sistem is more about the Islamic religion and is regulated by the organization The General Presidency of Girls' Education (GPGE). The conclusion is that Brazil applies the education sistem . Freire's concept of critical literacy education aims to raise critical awareness of the oppressed to the reality of oppression that has shackled them as human beings. Meanwhile, Saudi Arabia has an education sistem known as “The General Presidency of Girls' Education” (GPGE). Keywords: Brazil and Saudi Arabia, Multicultural Education.
FALSAFAH WUJUDIYAH HAMZAH FANSURI PEMIKIRAN DAN PENGARUHNYA DI DUNIA MELAYU NUSANTARA Ismail Ismail
Manhaj: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol 5, No 3 (2016): Manhaj: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (424.307 KB) | DOI: 10.1161/mhj.v4i3.188

Abstract

Ketertarikkan terhadap sufisme di Kepulauan Melayu-Indonesia tidak terbatas pada kalangan ulama dan awam Muslim. Para penguasa Melayu di wilayah ini juga tertarik pada konsep sufistik Islam terutama tentang al-Insan al Kamil (manusia sempurna). Mereka sering menganggap diri mereka sebagai manusia sempurna dengan menggunakan istilah-istilah sufistik yang tekenal “ Wali Allah” atau “quthb”. Penyebaran konsep-konsep dan ajaran-ajaran sufistik tersebut, dalam satu hal, juga dirangsang oleh peredaran literatur sufistik  di Indonesia. Misalnya beberapa pemikiran dan ajaran sufistik-filosofis Hamzah Fansuri telah digunakan di Jawa. Antara lain, kitab Muntahi karya Hamzah Fansuri juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, sehingga kitab itu memberi pengaruh sufistik terhadap beberapa literatur sufistik-filosofis (suluk) di Jawa. Ketika kaum sarjana dan cendekiawan kita berbicara tentang pemikiran keagamaan, jarang sekali melihat pada pemikiran yang sudah ada di negerinya. Yang sering terjadi ialah merujuk pada pemikiran yang berkembang di negeri Arab, Persia, dan India, bahkan Eropa, kendati sering kurang relevan. Padahal realitas yang dihadapi masyarakat Muslim di Indonesia berbeda dalam banyak hal dengan realitas yang dialami masyarakat Muslim di negeri-negeri yang telah disebutkan. Padahal pemikiran ulama-ulama Nusantara bukan hanya tidak kalah penting, namun juga memiliki relevansi jika dapat digali dan ditafsirkan kembali seraya menghubungkannya dengan konteks kehidupan keagamaan dan budaya masyarakat Indonesia masa kini.
Filsafat Etika Mulla Shadra antara Paradigma Mistik dan Teologi Ismail Ismail
Nuansa : Jurnal Studi Islam dan Kemasyarakatan Vol 13, No 1 (2020): Juni
Publisher : Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/nuansa.v13i1.3334

Abstract

Secara historis, etika sebagai wahana filsafat lahir akibat dari rusaknya tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun yang lampau. Pandangan-pandangan lama mengenai hakekat baik dan buruk tidak lagi dipercaya, karenanya para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi keakuan manusia saat itu. Persoalan yang sering mengemuka saat itu, apa norma-norma untuk menentukan sesauatu yang harus dianggap sebagai kewajiban? Misalnya, dalam bidang etika hubungan antara suami dan istri, hubungan anak dan orang tua, kewajiban terhadap Negara, etika dalam pergaulan serta penilaian terhadap nyawa manusia. Pandangan-pandangan tersebut sangat berbeda satu sama  lainnya. Untuk mengatasi pergolakan perbedaan pendapat tersebut, diperlukan refleksi kritis terhadap etika.Persoalan etika atau moralitas selalu menarik untuk dikaji kapanpun atau dalam kontek apapun. Tulisan ini membicarkan seorang filosof Muslim yang memiliki kepedulian terhadap etika atau moralitas manusia, yaitu Mulla Shadra. Filsafat moral yang ditawarkan oleh Mulla Shadra sering disebut dengan istilah al-Hikmah al-Muta’aliyah. Secara epistemologis al-Hikmah al-Muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu pertama; intuisi intelektual (dzawaq atau isyraaq), kedua; pembuktian rasional (‘aql atau istidlal), dan ketiga; syariat. Dengan demikian, hikmah mengandung arti kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh melalui pencerahan rohaniyah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif, tetapi juga realisasi yang mengubah wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti syariat.