Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search
Journal : DHARMASMRTI: Jurnal Pascasarjana UNHI

PEMANFAATAN SIMBOL SUCI HINDU DALAM INDUSTRI PARIWISATA BALI I Gusti Ketut Widana
DHARMASMRTI: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Vol 17 No 1 (2017): Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
Publisher : Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.344 KB) | DOI: 10.32795/ds.v16i01.79

Abstract

In fact, whatever exists, both outside and inherent in the human self is also a series of symbolic nodes which, when interpreted, will puncture or bring about various meanings. Meanings derived from the results of observation, reading, appreciation or even agreement on what is behind the symbols. The essence of the symbol is not merely in what appears in the form of material matter, but rather to what is “hidden” behind the embodiment itself. Likewise with toolsrelated to the implementation of ceremony / upakara yadnya very rich symbol, and certainly has a sacred value (sacred) which is only limited to be used in establishing a relationship to Hyang Widhi bhakti and all his manifestations. If then because of the unique aesthetic look of the media the sacred symbol is then used for the benefit of the tourism industry, as long as it remains in the context as it is displayed in terms of the implementation of yadnya, certainly not a problem. But if the sacred symbol media is only manipulated to be taken in aesthetic terms and then packaged as part of commercialization, then in addition to the risk of harassment and even desecration, is also likely to rip the religious emotions of Hindus who strongly believe the sanctity of the symbol as a sacred device that is oriented transcendental, The appearance of financially sourced material for sale.
TATTOO GANESA, TATU BAGI UMAT HINDU I Gusti Ketut Widana
DHARMASMRTI: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Vol 18 No 1 (2018): Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
Publisher : Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1161.239 KB) | DOI: 10.32795/ds.v1i18.99

Abstract

The influence of tourism for the majority of Balinese Hindus making the existence of Bali Island a enter of national tourism development, even international. Added to the acceleration of the rate of modernization with the wave of globalization that is so powerful, whether or not it has entered and touched, even slowly but surely has eroded the established order of Bali’s scene with all its changes. At least in terms of openness, Balinese people (Hindus) tend to be so easy to accept outside elements (foreign), almost without selection. The permissiveness or the letting go of what comes has made the Hindus so vulnerable to be affected, especially by the negative, destructive and counterproductive influences to the religiously defended values that are morally vested in the value of money. Like the commodification of the values of holiness or sacredness of the sacred symbol of Hindu like god Ganesha which by the tourism businessmen has made as Tattoo object with the human body media (male/ female) as a canvas, which is not uncommonly painted on the sensual organ. The Tattooo of Dewa Ganesha on the human body is actually a Tatu (wound) that slashed even sliced the heart, feelings and inner state of thhe Hindus, because the figure of Ganesha worshiped has been dumped, harassed and even tainted by sacredness solely for the taste of tourists for the benefit of material gain/ financial for the perpetrators of tourism.
AKTIVITAS RITUAL UMAT HINDU, ANTARA REPRODUKSI IDENTITAS DAN RELIGIOSITAS I Gusti Ketut Widana
DHARMASMRTI: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Vol 18 No 2 (2018): Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
Publisher : Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (340.869 KB) | DOI: 10.32795/ds.v9i2.141

Abstract

Pengaruh modernisasi di era globalisasi, secara simultan turut mendistorsi segala tatanan mapan yang di waktu lalu sudah berjalan secara ideal-konseptual, namun kini bergerak cepat dan cenderung berkembang ke arah situasional-kontekstual. Kondisi ini akhirnya menampakkan wujudnya, ketika umat Hindu melaksanakan kewajiban beragama, terutama dalam bentuk ritual, tak dapat dihindari telah disusupi pengaruh gaya hidup kontemporer yang lebih mementingkanpenampilan fisikal/personal dan sajian material, daripada peningkatan rohani guna mencapai kesadaran spiritual. Sehingga aktivitas ritual tampak sebagai media artikulasi reproduksi identitas, dan belum mengarah pada obsesi penguatan religiositas.
AJA WERA, ANTARA LARANGAN DAN TUNTUNAN I Gusti Ketut Widana
DHARMASMRTI: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Vol 19 No 1 (2019): Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
Publisher : Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.739 KB) | DOI: 10.32795/ds.v10i1.330

Abstract

Umat Hindu dikenal taat dan disiplin dalam menjalankan ajaran agamanya, terutama yang berkaitan dengan ritual (yadnya). Sehingga, walaupun relatif tidak menguasai landasan tattwa- jnananya, seperti teologi dan filosofinya, umat Hindu merasa mantap dan penuh keyakinan melaksanakan kewajiban ritualnya. Penyebabnya adalah kepatuhannya pada adagium ‘gugon tuwon’, yang biasanya disertai anak kalimat ‘nak mulo keto’ (memang sudah demikian adanya). Sehingga umat tinggal melaksanakan kewajiban ritual itu tanpa perlu bertanya apalagi mempertanyakan landasan kebenarannya. Konsekuensinya, kebanyakan umat Hindu relatif “awidya” (awam pengetahuan) dalam hal pemahaman tattwa (filsafat), tetapi disiplin dalam hal melaksanakan ritual (upacara). Kondisi keawaman pengetahuan itu semakin ajeg dengan adanya sesanti Aja Wera, yang dipahami sebagai bentuk “larangan” mempelajari atau mendalami ajaran agama. Jika larangan itu dilanggar, konon katanya akan menyebabkan orang bisa “inguh” (galau), yang apabila dibiarkan lama-lama bisa “buduh” (gila). Padahal, jika diselami sejatinya Aja Wera itu adalah konsep pembelajaran yang memberikan tuntunan kepada umat Hindu bahwa jika belajar atau mendalami ajaran agama diwajibkan untuk tidak mabuk atau sombong lantaran merasa telah pintar menguasai ajaran agama. Inilah kondisi dilematis konsep Aja Wera, berada di anatara larangan dan tuntunan.
FILOSOFI RITUAL HINDU, PERGESERAN ANTARA KONSEP DAN KONTEKS I Gusti Ketut Widana
DHARMASMRTI: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Vol 19 No 2 (2019): Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
Publisher : Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (291.507 KB) | DOI: 10.32795/ds.v19i2.435

Abstract

Mayadnya adalah kewajiban (mutlak) bagi umat Hindu. Landasan teologi Hindu mendoktrin bahwa dunia beserta segenap isinya diciptakan Tuhan (Prajapati) melalui yadnya. Sehingga sebagai salah satu wujud bhakti umat Hindu kehadapan Tuhan adalah dengan melaksanakan yadnya. Sebenarnya ada beberapa pengertian yadnya, di antaranya pengorbanan, pemberian, pengabdian, pelayanan, namun yang lumrah dipahami dan dilaksanakan umat Hindu adalah dalam bentuk ritual. Aktivitas ritual itu sendiri dikemas dalam pelaksanaan upacara lengkap dengan sarana upakara bebantennya (sesaji). Sampai pada titik ini, pengertian yadnya mengalami penyempitan makna, seolah sebatas atau terbatas pada kegiatan ritual semata. Terjadi kemudian pergeseran antara konsep dalam konteks pelaksanaannya, dimana filosofi mayadnya cenderung berkembang lebih ke arah materialisasi ide-ide ketuhanan, dibandingkan dengan transendensi ke arah penguatan sikap dan perilaku berketuhanannya.
URGENSI LAGU KIDS BERBASIS TRI HITA KARANADIIMPLEMENTASIKAN DI SEKOLAH TK SARI MEKAR SUKAWATI DAN TK SUTHA DHARMA UBUD I Gusti Ayu Suasthi; I Gusti Ketut Widana; Ni Made Surawati
DHARMASMRTI: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Vol 20 No 2 (2020): Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
Publisher : Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32795/ds.v20i2.1028

Abstract

Artikel ini membahasUrgensi Lagu Kids Berbasis Tri Hita Karana Diimplementasikan di sekolah tk sari Mekar sukawati dan tk sutha Dharma Ubud. Di samping studi dokumen, data penelitian ini diperoleh melalui observasi dan wawancara dengan para guru di sekolah tK sari Mekar sukawati dan tK sutha Dharma Ubud. Data yang terkumpul kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk deskriptif-kualitatif. hasil kajian menunjukkan bahwa: pertama, mengenalkan konsep-konsep ajaran agama hindu khususnya ajaran tri hita karana akan lebih mudah bila diintegrasikan dalam kegiatan bernyanyi sambil belajar. Kedua, membangun kecerdasan emosi anak sejak usia dini akan membantu anak lebih mudah memahami pesan-pesan yang ada dalam lagu. lirik pada lagu anak-anak banyak mengandung pesan untuk mencerdaskan akal pikiran dan kecerdasan iman. sebagai contoh lagu Pelangi-pelangi menanamkan anak-anak untuk percaya akan kebesaran dan kemahakuasaan ida Sang Hyang Widhi/t uhan dalam konsep tri hita karana termasuk dalam aspekparhyangan.lagu satu-satu Aku sayang Ibu mengandung makna saling menyayangi antar sesama, hal ini bagian dari ajaran pawongan. serta lagu lihat Kebunku mengajarkan pada anak-anak untuk merawat tumbuhan, hal ini mencerminkan sikap menyayangi tumbuhan/alam sebagai bagian dari ajaran palemahan
DEGRADASI ETIKA BUSANA SEMBAHYANG UMAT HINDU DI PURA AGUNG JAGATNATHA DENPASAR I Gde Widya Suksma; I Gusti Ketut Widana
DHARMASMRTI: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Vol 21 No 1 (2021): Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
Publisher : Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Secara evolutif, apapun yang menyangkut diri manusia sejak jaman prehistoris (purba) sampai posmodern selalu bergerak dinamis mengikuti kecenderungan perubahan. Oleh karena itu diperlukan pandangan yang lebih lunak mengenai kemajuan manusia sejak jaman purba, bila ingin mempunyai pengertian tentang diri manusia. Mempelajari manusia, sebenarnya adalah mempelajari diri kita sendiri dalam berbagai bentuknya, mulai dari yang primitif, sederhana hingga modern atau postmodern. Semua perkembangan itu menggambarkan betapa perubahan dari bentuk satu ke bentuk lain, cenderung bergerak ke arah yang semakin bebas. Termasuk bebas dalam arti lepas dari aturan norma dalam berbusana sembahyang, yang pada akhirnya bermuara pada terjadinya degradasi etika. Hal ini berkaitan dengan bahwa secara biologis tubuh manusia adalah konstruk fisikal-material yang meliputi bermacam organ dengan berbagai jenis dan fungsinya yang kemudian menjadi satu kesatuan membentuk keutuhan anatomis manusia. Ketika tubuh biologis atau anatomis manusia hendak ditampilkan dalam kerangka relasi atau interaksi sosial, maka muncullah apa yang dinamakan sebagai “penampilan fisik”. Tubuh fisikal yang didesain sedemikian rupadengan unsur-unsur material yang artifisial sesuai dengan perkembangan tren mode, dengan kecenderungan menyimpang dari tuntunan etika Hindu.