p-Index From 2019 - 2024
0.444
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Jurnal HAM
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Remedi Pelanggaran Hak Asasi Manusia Akibat Tindak Pidana Korupsi Fauziah Rasad
Jurnal HAM Vol 11, No 2 (2020): Edisi Agustus
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (336.643 KB) | DOI: 10.30641/ham.2020.11.185-199

Abstract

 Berdasarkan kajian sebelumnya, terdapat relasi antara korupsi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Saat ini, putusan tindak pidana korupsi (Tipikor) hanya mampu membuktikan kerugian keuangan negara, namun belum mampu membuktikan kerugian perekonomian negara, biaya sosial, terlebih lagi pelanggaran HAM. Penegakan hukum belum mampu memulihkan pelanggaran HAM sebagai dampak dari Tipikor. Tujuan Penelitian ini, adalah untuk menganalisis bagaimana model remedi pelanggaran HAM sebagai dampak dari Tipikor. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif bersumber pada data primer dan data sekunder. Penelitian ini menganalisis beberapa alternatif jalur hukum baik melalui sistem peradilan pidana, perdata, dan/atau Tata Usaha Negara (TUN). Penelitian ini juga menelaah korporasi sebagai subyek hukum Tipikor, serta kemungkinan perubahan peraturan perundang-undangan agar dapat menjadi dasar hukum model remedi tersebut. Penelitian ini menyimpulkan model remedi pelanggaran HAM akibat Tipikor yang saat ini dapat ditempuh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan berorientasi sebesar-besarnya untuk kepentingan remedi korban, yakni pertama, melalui peradilan perdata dan peradilan TUN berdasarkan putusan peradilan pidana berkekuatan hukum tetap; dan kedua, melalui penggabungan perkara ganti kerugian. Namun demikan model remedi yang paling efektif dan berorientasi sebesar-besarnya untuk perlindungan korban adalah melalui sistem peradilan Tipikor dengan pembaharuan sistem pemidanaan. 
Pidana Perubahan Pidana Mati Menjadi Pidana Penjara Melalui Pemidanaan Secara Alternatif Mati Sebagai Pidana Alternatif: Merubah Penjatuhan Pidana Mati Menjadi Pidana Penjara Fauziah Rasad
Jurnal HAM Vol 12, No 1 (2021): April Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (86.235 KB) | DOI: 10.30641/ham.2021.12.141-164

Abstract

 Hukum pidana di Indonesia masih memberlakukan pidana mati. Politik hukum Pemeritah Indonesia berpengaruh pada penjatuhan dan/atau eksekusi pidana mati. Pemerintah Indonesia saat ini memberlakukan moratorium atas ekesekusi pidana mati, tetapi tidak pada penjatuhan pidananya. Dalam perkembangan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), pidana mati diklasifikasikan menjadi pidana alternatif, bukan lagi sebagai pidana pokok. Pertanyaan Penelitian ini adalah bagaimana dasar hukum, prosedur, dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk mengubah pidana mati menjadi pidana penjara melalui pemidanaan secara alternatif? Kajian ini ditujukan untuk menjawab petanyaan penelitian tersebut. Penelitian merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan istilah Terpidana Mati dan Narapidana memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan tersebut seharusnya diselaraskan sehingga Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dapat berperan efektif dalam pembinaan kedua pihak tersebut. Pembinaan yang dilakukan LAPAS terhadap Terpidana Mati maupun Narapidana seharusnya tidak hanya pertimbangan tentang umur dan jenis kelamin, tetapi juga tindak pidana dan jenis pidana sehingga tujuan pemidanaan dapat berjalan efektif. Pembinaan atas terpidana mati dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun dinilai dapat menjadi dasar bagi Terpidana Mati untuk memohon perubahan pidana mati menjadi pidana penjara sementara waktu, yang harus diatur dalam undang-undang.