Damayanti Rusli Sjarif
Department Of Child Health, Faculty Of Medicine, Universitas Indonesia, Indonesia

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Daily consumption of growing-up milk is associated with less stunting among Indonesian toddlers Sjarif, Damayanti Rusli; Yuliarti, Klara; Iskandar, William Jayadi
Medical Journal of Indonesia Vol 28, No 1 (2019): March
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (296.68 KB) | DOI: 10.13181/mji.v28i1.2607

Abstract

BACKGROUND In Indonesia, animal protein intake in children is low and might contribute to a high prevalence of stunting. This study was aimed to evaluate the association between animal protein source consumption and stunting in toddlers.METHODS This cross-sectional study obtained secondary data from the Ironcheq questionnaire validation study to detect the risk of iron deficiency in toddlers. The Ironcheq study was carried out in five integrated health service posts (Posyandu) in Jakarta from 2013 to 2014. Data from 172 subjects, consisting of 41 stunted (height-for-age z-score less than -2) and 131 normal children, were analyzed to evaluate the association between animal protein source consumption and stunting using multivariate logistic regression test.RESULTS Stunted children tend to come from a family with low parental education and socioeconomic status. Consuming growing-up milk (GUM) ≥300 ml/day was protective against stunting (adjusted OR 0.28, 95% CI 0.13–0.63), whereas consuming red meat product ≥5 times/week was a risk factor (crude OR 3.70, 95% CI 1.17–11.74), however after adjusted to age, sex, and other variables in the questionnaire, the OR was not significant (adjusted OR 3.64 95% CI 1.00–13.26).CONCLUSIONS A daily consumption of 300 ml of GUM may be considered to prevent stunting in toddlers. Red meat products (sausage, nugget, and meatball), which are commonly consumed because of its practicality, could not be considered as significant animal protein sources because of a wide variation of their nutritional content.
Efek Penambahan Laktulosa Pada Susu Formula Bayi: Tinjauan Sistematik Damayanti, Moretta; Rusli Sjarif, Damayanti
Cermin Dunia Kedokteran Vol 45, No 11 (2018): Neurologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (519.075 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v45i11.567

Abstract

Pendahuluan: Salah satu komponen terbesar dalam air susu ibu (ASI) adalah oligosakarida. Oligosakarida berperan penting pada saluran cerna bayi melalui efek prebiotiknya. Laktulosa sebagai salah satu oligosakarida sintetis, telah dikategorikan sebagai prebiotik dan memiliki efek menyerupai ASI dalam hal mengubah komposisi mikrobiota usus. Metode: Tinjauan sistematis efek penambahan laktulosa ke dalam susu formula bayi. Hasil: Laktulosa bisa memperbaiki konsistensi dan frekuensi tinja, hingga menyerupai tinja bayi yang mendapat ASI. Efek simpang campuran prebiotik yang sering ditemui adalah diare, kembung dan muntah. Simpulan: Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk merekomendasikan penambahan laktulosa secara rutin pada susu formula bayi.Introduction. One of the largest components of breast milk is human milk oligosaccharides (HMO). These components play an important role in the infant gastrointestinal tract based on their prebiotic effect. Lactulose is one of synthetic oligosaccharides, categorized as prebiotic; its effect resembles breastmilk in altering intestinal microbiota composition. Method. A systematic review on the effects of lactulose addition to infant formula. Results. Our search indicates that lactulose can improve the consistency and frequency of feces to resemble the stools of breast-fed infants. Adverse effects of mixed prebiotics are diarrhea, bloating and vomiting. Conclusion. Further research is still needed. Routine addition of lactulose in infant formula is not yet recommended.
Profil Pubertas dan Pertumbuhan Linear pada Hiperplasia Adrenal Kongenital dalam Pengobatan Serial Kasus Nurul Iman Nilam Sari; Bambang Tridjadja; Nastiti Kaswandani; Damayanti Rusli Sjarif; Sukman Tulus Putra; Hartono Gunardi
Sari Pediatri Vol 16, No 5 (2015)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (749.122 KB) | DOI: 10.14238/sp16.5.2015.356-64

Abstract

Latar belakang. Terapi yang adekuat pada hiperplasia adrenal kongenital (HAK) diharapkan dapatmenghasilkan perkembangan pubertas dan pertumbuhan linear yang optimal. Saat ini, di Indonesia, belumada data profil pubertas dan pertumbuhan linear penderita HAK yang sedang menjalani terapi.Tujuan. Mengetahui profil pubertas dan pertumbuhan linear pada HAK di Indonesia yang sedang menjalaniterapi.Metode. Studi serial kasus terhadap 14 kasus HAK yang memasuki masa pubertas di Departemen IlmuKesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta selama bulan November 2012 hingga April2013. Pencatatan data berisi anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, dan radiologi boneage.Hasil. Hasil penelitian ini merupakan riset pendahuluan (preliminary research) terhadap 14 kasus HAK.Mayoritas subjek adalah perempuan, berusia di atas 8 tahun, HAK tipe Salt-Wasting (SW), dan terdiagnosissejak kurang dari satu tahun. Tujuh dari 14 subjek mengalami obesitas. Undertreatment terjadi pada 11/14subjek memiliki bone age accelerated dengan perhitungan tinggi badan dewasa yang pendek. Tiga belas subjeksudah pubertas dan 10/14 subjek mengalami pubertas prekoks. Rekomendasi dosis glukokortikoid yangdiberikan (median 18,12 mg/m2/hari) dengan median durasi terapi 8,1 tahun. Kontrol metabolik denganmenggunakan parameter 17-OHP bervariasi pada rentang 0,2-876 nmol/L (rerata 166,9 nmol/L).Kesimpulan. Sebagian besar subjek mendapatkan undertreatment sehingga memiliki bone age accelerateddengan estimasi tinggi badan dewasa pendek. Pubertas prekoks dialami oleh sebagian besar subjek.Pemberian glukokortikoid dengan dosis yang direkomendasikan. Ditemukan ketidakteraturan pengobatandan pemantauan yang buruk.
Profil Asidosis Tubulus Renalis pada Anak di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta Erwin Lukas Hendrata; Taralan Tambunan; Damayanti Rusli Sjarif; Imral Chair
Sari Pediatri Vol 11, No 4 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.4.2009.264-75

Abstract

Latar belakang. Asidosis tubulus renalis (ATR) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh gangguanreabsorpsi bikarbonat (HCO3-) di tubulus proksimal renal atau gangguan pengasaman urin (sekresi ion H+)di tubulus distal. Ditandai oleh asidosis metabolik hiperkloremik, senjang anion plasma normal, dan fungsiglomerulus normal.Sampai saat ini diagnosis ATR masih sulit ditegakkan terutama karena gejala klinis yangtidak spesifik. Tanpa pengobatan dini, adekuat, dan berkesinambungan maka anak dengan ATR berpotensimengalami gangguan pertumbuhan, nefrokalsinosis, nefrolitiasis, osteomalasia, gagal ginjal, hiperkalemia,atau bahkan kematian.Tujuan.Menilai profil anak dengan asidosis tubulus renalis sehingga diagnosis dan pengobatan ATR dapatdilakukan lebih dini.Metode. Penelitian serial kasus dengan sumber data diperoleh dari rekam medis pasien ATR yang berobatdi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit CiptoMangunkusumo (IKA FKUI-RSCM) sejak Januari 1998 hingga Desember 2008.Hasil. Didapatkan 54 pasien ATR baru yang berarti terjadi peningkatan lebih dari 9 kali lipat dibandingpenelitian terdahulu yang dilakukan pada tahun 1975-1995. Peningkatan tersebut mungkin disebabkanmeningkatnya kewaspadaan petugas kesehatan terhadap gejala gagal tumbuh dan ATR diduga sebagai salahsatu etiologinya. Gejala tersering yang ditemukan adalah gagal tumbuh, perawakan pendek, dan anoreksia.Nefrokalsinosis didapatkan pada 6 (21%) dari 28 subjek penelitian. Setelah pemberian terapi alkali, denganrerata lama pengamatan 20 bulan, peningkatan BB/TB terjadi pada 27/34 subjek. Peningkatan BB/TBterjadi terutama dalam 6 bulan pertama pengobatan.Kesimpulan. Gagal tumbuh, terutama bila disertai perawakan pendek, anoreksia, dan muntah pada seoranganak dapat dipakai sebagai petunjuk untuk kemungkinan diagnosis ATR.
Hubungan antara Ukuran Lingkar Pinggang dengan Masa Lemak Tubuh, Profil Lipid, dan Gula Darah Puasa pada Remaja Obese Aryono Hendarto; Cut Nurul Hafifah; Damayanti Rusli Sjarif; Ali Khomaini Alhadar
Sari Pediatri Vol 20, No 4 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (256.382 KB) | DOI: 10.14238/sp20.4.2018.237-41

Abstract

Latar belakang. Obesitas pada anak masih menjadi masalah dunia, termasuk Indonesia. Obesitas abdominal, yang ditandai dengan besarnya ukuran lingkar pinggang, dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, metabolik, dan kematian.Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran ukuran lingkar pinggang pada anak obes, serta hubungannya dengan masa lemak tubuh, profil lipid, dan kadar gula darah puasa.Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Subjek penelitian adalah anak usia 14-18 tahun dengan obesitas. Pemeriksaan tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar pinggang, dan bioelectric impedance analyzer (BIA) dilakukan untuk memperoleh gambaran antropometri subjek. Pemeriksaan darah puasa dilakukan untuk memperoleh data profil lipid dan gula darah puasa. Hasil. Sebanyak 69 subjek terlibat dalam penelitian ini. Semua subjek mempunyai lingkar pinggang ≥P80, dengan lingkar pinggang terlebar adalah 138 cm. Ukuran lingkar pinggang mempunyai korelasi yang bermakna dengan kolesterol high density lipoprotein (HDL), sedangkan korelasi dengan masa lemak tubuh, profil lipid lainnya, dan kadar gula darah puasa tidak bermakna.Kesimpulan. Obesitas pada anak umumnya disertai dengan ukuran lingkar pinggang yang melebihi P80. Ukuran lingkar pinggang mempunyai korelasi yang bermakna dengan kadar kolesterol HDL. Ukuran lingkar pinggang tidak boleh digunakan secara tunggal untuk memperkirakan masa lemak tubuh, profil lipid di luar kolesterol HDL, dan gula darah puasa.
Gambaran Karakteristik Ibu, Pengetahuan, dan Praktik Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu pada Bayi di Kota Pontianak Rini Andriani; Bambang Supriyatno; Damayanti Rusli Sjarif
Sari Pediatri Vol 22, No 5 (2021)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp22.5.2021.277-84

Abstract

Latar belakang. Stunting adalah masalah malnutrisi balita di Indonesia. Di Kalimantan Barat, prevalensinya 33,3% berdasarkan data Riskesdas 2018. Praktik pemberian MPASI yang tidak optimal berkontribusi besar pada angka itu.Tujuan. Sebagai langkah awal dalam pencegahan stunting dilakukan survei untuk mengetahui gambaran karakteristik ibu, pengetahuan, dan praktik pemberian MPASI pada bayi di kota Pontianak.Metode. Studi potong lintang dilakukan pada bulan November- Desember 2018 di tiga Puskesmas Kecamatan Kota Pontianak. Pengambilan sampel dan data primer dilakukan dengan metode consecutive sampling, wawancara dan pengisian kuisioner. Hasil. Didapatkan 110 ibu yang memenuhi kriteria inklusi dengan usia antara 26,9+5 tahun. Sebanyak 89,1% ibu memiliki gawai dan menggunakannya untuk mencari informasi nutrisi anak (82,7%). Ibu berpendapat informasi dari dokter (99,1%) yang paling terpercaya. Sebanyak 4,5% ibu memberikan MPASI dini dan 12,7% memberikan menu tunggal pada awal pemberian MPASI. Makanan pertama yang diberikan pada bayi usia 6 bulan terutama dari golongan karbohidrat dan ditemukan keterlambatan pemberian protein hewani. Sebanyak 20% ibu berpendapat bahwa garam dan gula tidak boleh diberikan pada bayi di bawah 1 tahun. Tidak semua ibu mengetahui manfaat pemberian minyak dalam MPASI dan masih terdapat 87,3% ibu yang berpendapat minyak tidak boleh diberikan pada usia di bawah 9 bulan. Dalam pemberian makan, terdapat ibu yang memberikan tontonan televisi/gawai saat makan (65,5%), memarahi (14,5%), dan memaksa anaknya untuk makan (11,8 %), Kesimpulan. Pengetahuan ibu yang kurang mengenai praktik pemberian MPASI berbasis bukti terkini masih menjadi penyebab utama praktik MPASI yang belum optimal. Intervensi edukasi yang menyeluruh melalui media gawai diperlukan untuk mengoptimalkan praktik pemberian MPASI oleh ibu.
Identification of emotional and behavior problems in obese children using Child Behavior Checklist (CBCL) and 17-items Pediatric Symptom Checklist (PSC-17) Dwi Fachri Harahap; Damayanti Rusli Sjarif; Soedjatmiko Soedjatmiko; Dwi Putro Widodo; Mayke Sugianto Tedjasaputra
Paediatrica Indonesiana Vol 50 No 1 (2010): January 2010
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (334.022 KB)

Abstract

Background Obesity can result in emotional and behavior problems in school-age children. Child Behavior Checklist (CBCL) is a standard instrument for evaluating behavior problems, however it is considered not practical. The 17-item Pediatric Symptom Checklist (PSC-17) is a more simple instrument but its diagnostic value has never been evaluated in obese children.Objectives To evaluate the diagnostic value of PSC-17 compared to CBCL as the gold standard.Methods This cross-sectional study was done in May - June 2009. Children aged 6-12 years with obesity were included. Parents filled the CBCL and PSC-17 questionnaires. Sensitivity, specificity, predictive values, and likelihood ratios were calculated for PSC-17.Results Most subjects aged 6-9 years (83%). Boys out numbered girls. Emotional and behavior problems detected by CBCL and PSC-17 were identified in 28% and 22% subjects, respectively. The most common problem was internalization (withdrawal, somatic complaints, anxiety/depression). The PSC-17 had sensitivity and specificity of 69.2% and 95.6% respectively. Positive and negative predictive values were 85.7% and 89%, whereas positive and negative likelihood ratios were 15.7 and 0.32.Conclusions The prevalence of emotional and behavior problems detected using CBCL and PSC-17 in obese children was 28% and 22%, respectively. The PSC-17 has moderate sensitivity to screen emotional and behavior problem in obese children.[Paediatr Indones. 2010;50:42-8].
Plasma lipid profile and leptin concentration in super-obese children Aryono Hendarto; Sri Sudaryati Nasar; Damayanti Rusli Sjarif
Paediatrica Indonesiana Vol 47 No 5 (2007): September 2007
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.747 KB) | DOI: 10.14238/pi47.5.2007.221-5

Abstract

Background Leptin induced weight loss is completely specificfor adipose tissue loss, whereas food restriction result in both lossof adipose tissue and lean body mass in mammals. Most obeseperson has high endogenous leptin levels, indicating leptinresistance. There has been lack of data regarding plasma leptinlevel in Indonesian obese children.Objective This study was aimed to investigate the plasma leptinlevel and lipid profile in super-obese children.Methods This was a cross sectional study performed in PediatricOut Patient Clinic Mangunkusumo Hospital and Private Women& Children Hospital in Eastern part of Jakarta. Super-obese isdefined as children with BMI above 97 centiles CDC 2000 chart.Blood sample was obtained from all subjects, consisted ofperipheral blood picture, lipid profiles and leptin level.Results Seventy nine super-obese children were eligible with ageranged between 12 months and 180 months and mean of age was84.9 months (SD 36.8). More than 60% subjects had high LDLcholesterol, while 19% had low HDL level. The lowest leptinblood level was 2.877 μ g/dL, while the highest was 70.430 μ g/dL(mean 23.990; SD 12.726). Forty five subjects, all boys, hadincreased plasma leptin level.Conclusions In super-obese children, most of the subjectexperienced hyperlipidemia (LDL cholesterol) followed byhypertriglyceridemia. There was small number of low HDLcholesterol found. Super-obese girls had normal serum leptin level,in contrast, more than 60% super-obese boys had elevated serumleptin level.
The effect of Ringer’s acetate versus Ringer’s lactate on aminotransferase changes in dengue hemorrhagic fever Mulya Rahma Karyanti; Hindra Irawan Satari; Damayanti Rusli Sjarif
Paediatrica Indonesiana Vol 45 No 2 (2005): March 2005
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/pi45.2.2005.81-6

Abstract

Background Dengue hemorrhagic fever (DHF) infection causeshepatocelullar impairment. In management of DHF, World HealthOrganization (WHO) recommends the crystalloids Ringer’s acetate(RA) or Ringer’s lactate (RL), which are similar in composition toplasma. Acetate in RA is not metabolized in the liver, hence notburdening the liver, whereas lactate in RL is metabolized mostly inthe liver, thus placing a burden on the liver.Objective To compare aminotransferase changes as markers ofhepatocellular impairment subsequent to the use of RA and RL inthe management of DHF with and without shock.Methods This study was a double-blind randomized controlledtrial on DHF patients aged 1-18 years in Cipto MangunkusumoHospital who had not received prior treatment with crystalloids orcolloids. Subjects were randomly assigned to receive either RA orRL intravenously. Aminotransferase levels were examined on thefirst, second and third weeks from the onset of fever.Results Ninety-two patients who fulfilled inclusion criteria wereenrolled in this study, consisting of those without and with shock.Mean transaminase levels of patients without shock in the RA andRL groups did not differ significantly. Mean transaminase levels ofpatients with shock in the RA group were lower than those in theRL group, but this difference was not significant statistically. Meanalteration of transaminase levels in patients with and without shockwere not significantly different.Conclusion In DHF without shock, there is no significant differ-ence between aminotransferase level changes of patients receiv-ing RA and RL solutions. In DHF with shock, aminotransferaselevels of patients receiving RA tend to be lower than those receiv-ing RL, but this difference is insignificant
Clinical features of dengue hemorrhagic fever and risk factors of shock event Rismala Dewi; Alan Roland Tumbelaka; Damayanti Rusli Sjarif
Paediatrica Indonesiana Vol 46 No 3 (2006): May 2006
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/pi46.3.2006.144-8

Abstract

Background Dengue hemorrhagic fever (DHF) can lead to highmorbidity and mortality. Its clinical features vary from time to time.Many studies were performed to determine the risk factors of se-vere dengue infection.Objective To find out clinical features and risk factors for predict-ing the likelihood of shock in DHF.Methods A retrospective cohort study was conducted in all con-firmed DHF children who were hospitalized at the Department ofChild Health, Cipto Mangunkusumo Hospital within the period ofJanuary 1, 2003 until June 30, 2004. Risk factors for developmentof shock were analyzed using chi-square test and multiple logisticregressions with a level of significance of <0.05.Results A total of 101 patients, consisted of 47 males and 54females were enrolled in this study. Mean age was 6.5 (SD 3.6)years, ranged from 5 months to 15 years. About 31.7% patientshad grade III DHF, 30.7% grade II, and 26.7% grade IV (including1 patient with encephalopathy). Shock was more frequent amongpatients aged between 6-10 years, female, under-nourished, bodytemperature <38°C, hematocrit level 46-50 vol%, and platelet count<20 000/ml. During year 2003-2004, there was increased numberof patients who developed shock. Based on univariate analysis,hepatomegaly, high hematocrit value, and thrombocytopenia wereconsidered significantly different. Among those variables analyzedwith multiple logistic regression method, only hepatomegaly andthrombocytopenia were identified as predictors of shock.Conclusion There was an alteration on clinical features of DHFin our hospital in 2003-2004 period compared to the previous years.Hepatomegaly and platelet count <50 000/ml are independent riskfactors of shock among DHF patients