Rohani Budi Prihatin
Puslit Badan Keahlian DPR RI

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Masyarakat Sadar Bencana: Pembelajaran dari Karo, Banjarnegara, dan Jepang Rohani Budi Prihatin
Jurnal Aspirasi Vol 9, No 2 (2018)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (663.137 KB) | DOI: 10.46807/aspirasi.v9i2.1106

Abstract

Geographical location, archipelago, large population, and tropical climate have placed Indonesia as a high disaster risk area. How Indonesia anticipates and handles natural disasters is a very important problem to be studied, especially related to the process of public awareness to disasters from these two case studies, namely the Mount Sinabung Eruption in Karo, North Sumatra and landslides in Banjarnegara, Central Java. By conducting in-depth interviews, field observations, and literature studies, this study found the fact that the strategies used in managing natural disasters in Indonesia, especially in terms of disaster awareness, had been reactive. Even though most people are still alive and looking for life in the midst of high-risk areas, in fact they are not really prepared for disaster. In the case of the Sinabung disaster there seems to be no tradition of Karo community preparedness in the face of disasters after a long time since Mount Sinabung was inactive. Conversely, in the case of disasters in Banjarnegara, this awareness has grown even though it has not been as ideal as Japanese society. This proves that most victims still use fatalistic views in facing disasters. Most victims are not afraid to return to their original place which was once a disaster area. This lack of awareness is influenced by the perspective of most people who accept what nature has given and see natural disasters as an inevitable fate. Abstrak Lokasi geografis, wilayah kepulauan, populasi yang besar, dan kondisi iklim tropis telah menempatkan Indonesia sebagai daerah dengan risiko bencana tinggi. Bagaimana Indonesia mengantisipasi dan menangani bencana-bencana alam tersebut menjadi masalah yang sangat penting untuk dipelajari, khususnya terkait dengan proses kesadaran masyarakat terhadap bencana dari dua studi kasus Letusan Gunung Sinabung di Karo, Sumatera Utara dan tanah longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah. Melalui penelitian kualitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi lapangan, dan studi pustaka, penelitian ini menemukan fakta bahwa strategi yang digunakan dalam mengelola bencana alam di Indonesia, terutama dari sisi sadar bencana, selama ini masih bersifat reaktif. Meskipun kebanyakan orang masih hidup dan mencari kehidupan di tengah-tengah daerah berisiko tinggi, sebenarnya mereka tidak benar-benar siap menghadapi bencana. Pada kasus bencana Sinabung tampak tidak ada tradisi kesiapsiagaan masyarakat Karo dalam menghadapi bencana setelah sekian lama Gunung Sinabung tidak aktif. Sebaliknya, pada kasus bencana di Banjarnegara, telah tumbuh kesadaran tersebut walau belum seideal pada masyarakat Jepang. Hal ini membuktikan bahwa kebanyakan korban masih menggunakan pandangan fatalistik dalam menghadapi bencana. Mayoritas korban tidak takut untuk kembali ke tempat asal mereka yang dulunya merupakan daerah bencana. Kurangnya kesadaran ini dipengaruhi oleh perspektif masyarakat kebanyakan yang menerima apa yang diberikan alam dan melihat kejadian bencana alam sebagai takdir yang tak terelakkan. 
Pengelolaan Sampah di Kota Bertipe Sedang: Studi Kasus di Kota Cirebon dan Kota Surakarta Rohani Budi Prihatin
Jurnal Aspirasi Vol 11, No 1 (2020)
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46807/aspirasi.v11i1.1505

Abstract

The continuity of development and the rate of economic growth accompanied by an increase in the number of populations generally creates problems in urban areas, which of them is the generation of waste. Among the two cities that are experiencing growth and facing waste problems are Cirebon City and Surakarta City. Based on urban typology based on population, these two cities fall into the medium city category. The average type of city, in general, has relatively not experienced acute waste problems, especially when compared to large cities such as Bandung and Jakarta. This study focused on the preparation of these cities in anticipation of the emergence of garbage problems in the future when they head to and become a big city (population above 1 million). Using in-depth interviews with Environmental Office and garbage bank business actors in waste management in the two cities and the author's direct observation found the fact that waste management in both cities still applied the 3P pattern, i.e. pengumpulan (collection), pengangkutan (transportation), and pembuangan (disposal). This means that waste management is carried out by collecting as much as possible, then transported as quickly as possible and after that disposed of as far as possible. Even more worrying, the running of waste management in the landfill is still managed by an open dumping mechanism or the garbage is only stacked open without any significant management. Sooner or later, waste in these cities will grow faster than the management solution. One day, landfills in the two cities are no longer able to accommodate them.AbstrakPembangunan dan laju pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan peningkatan jumlah populasi umumnya menimbulkan masalah di daerah perkotaan, yang di antaranya adalah timbulnya sampah. Dua kota yang mengalami pertumbuhan dan menghadapi masalah persampahan adalah Kota Cirebon dan Kota Surakarta. Berdasarkan tipologi perkotaan dilihat dari sisi populasi, kedua kota ini masuk dalam kategori kota sedang. Kedua kota tersebut secara umum, relatif tidak mengalami masalah persampahan yang akut, terutama jika dibandingkan dengan kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Studi ini difokuskan pada persiapan kota- kota ini untuk mengantisipasi munculnya masalah sampah di masa depan ketika mereka menuju dan menjadi kota besar (populasi di atas 1.000.000). Menggunakan wawancara mendalam dengan Dinas Lingkungan Hidup dan pelaku bisnis bank sampah di dua kota tersebut, dan melalui pengamatan langsung, penulis menemukan fakta bahwa pengelolaan sampah di kedua kota masih menerapkan pola 3P (pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan). Hal ini berarti bahwa pengelolaan sampah dilakukan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin, kemudian diangkut secepat mungkin, dan setelah itu dibuang sejauh mungkin. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pengolahan sampah di TPA masih dilakukan dengan mekanisme open dumping atau sampah hanya ditumpuk terbuka tanpa ada pengelolaan khusus. Cepat atau lambat, sampah di kota-kota ini akan tumbuh lebih cepat daripada solusi pengelolaannya. Suatu hari nanti, tempat pembuangan sampah di kedua kota tidak lagi dapat menampung sampah yang ada.