Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PERLINDUNGAN HAK-HAK PEREMPUAN DALAM FATWA MUI BIDANG MUNÂKAḤAT PERSPEKTIF MAŞLAḤAH Fathonah K. Daud; Aah Tsamrotul Fuadah
Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga dan Peradilan Islam Vol 2, No 1 (2021): Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah: Jurnal Hukum Keluarga dan Peradilan Islam
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/as.v2i1.12353

Abstract

Tulisan ini membahas tentang fatwa MUI dalam bidang hukum keluarga, ditinjau dalam perspektif maslahah. Apakah fatwa-fatwa MUI selama ini sudah mencerminkan maslahah bagi masyarakat, bukan hanya adil bagi lelaki, tetapi juga adil bagi perempuan? Selain itu, kajian ini bertujuan untuk meneliti fatwa MUI adakah telah terpengaruh dengan hukum-hukum global terkait Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, tulisan ini hanya terbatas membahas tema nikah mut’ah, nikah nikah wisata dan nikah di bawah tangan. Metode kajian ini adalah studi literature (library research) dengan perspektif maṣlaḥah. Kajian ini menemukan bahwa fatwa MUI dalam hukum nikah mut’ah dan nikah wisata adalah haram, fatwa tersebut telah memperhatikan konsep maṣlaḥah dalam menetapkan fatwanya juga telah memenuhi perspektif gender. Namun dalam hukum nikah di bawah tangan, MUI terkesan tidak tegas dengan menfatwakan bahwa nikah sirri itu sah, artinya dibenarkan menurut agama, dengan catatan tidak terjadi pelanggaran (madarat). Apabila terjadi madarat, maka hukumnya haram. Padahal realitanya nikah di bawah tangan itu rentan terhadap penyelewengan dan sering membawa dampat buruk, terutama kepada perempuan dan anak-anaknya. Di sini MUI dalam berfatwa masih dipengaruhi fiqh klasik, meskipun memberi perhatian kepada kemaslahatan, tetapi tidak serta merta terpengaruh kepada kondisi kontekstual atau pengaruh global dimana perempuan masih banyak yang dirugikan dari pasca pernikahan sirri.
TANGGAPAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN Aah Tsamrotul Fuadah
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 1, No 01 (2013)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30868/am.v1i01.106

Abstract

Nikah  sirri  kembali  menjadi  isu  hangat  di  Indonesia,  hal  ini  mencuat  ketikadiajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan atau yang populer dengan sebutan RUU Nikah Siri, yang mengancam pelaku nikah siri dengan sanksi pidana yakni ancaman hukuman bervariasi, mulai dari 6 bulan sampai tiga tahun, dan denda mulai Rp. 6 juta sampai Rp. 12 juta. RUU ini mengundang pro dan kontra, pihak yang setuju menganggap bahwa hal ini adalah sebuah kemajuan karena menurut mereka penikaha sirri sering kali hanya merugikan pihak perempuan dan berdampak negative bagi anak keturunan hasil nikah sirri. Semantara pihak yang kontra berpendapat bahwa RUU ini justru akan mengarahkan orang untuk melegalkan perzinahan.Dalam kajian fiqh klasik nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali atau saksi, sementara pengertian nikah sirri saat ini lebih bermakna pernikahan yang dilakukan hanya sesuai dengan agama masing-masing tanpa dilakukan pencatatan di depan petugas Kantor Urusan Agama. Jika nikah sirri diartikan dengan pengertian yang pertama maka para ulama bersepakat tidak sahnya pernikahan tanpa adanya wali dan saksi. Adapun nikah sirri yang dilakukan secara Islam namun tidak dicatat oleh petuga KUA maka sebagian besar ulama memnaggapnya sah.Dari sinilah muncul permasalahan tentang nikah sirri di Indonesia, jika RUU ini telah disahkan maka para pelaku nikah sirri akan dikenakan denda atau hukuman penjara. Melaksanakan perkawinan secara sah menurut hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah perwujudan dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya dalam hal perkawinan. Sedangkan melaksanakan pasal 2 ayat (2) nya yakni tentang pencatatan perkawinan adalah wujud ketaatan kepada pemimpin. Namun demikian meskipun aturan Allah dan Rasul-Nya serta manusia sudah sangat baik, tetap akan ada yang melanggar aturan-aturan tersebut. Buktinya masih banyak orang Islam yang nikah tanpa dicatat, padahal itu untuk kemaslahatan semua pihak, sedangkan kemaslahatan itu merupakan tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah).Maka dari sini sudah selayaknya bagi mereka yang melaksanakan pernikahan siri karena masalah biaya, harus dibantu untuk melakukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama dengan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Sedangkan mereka yang melakukan nikah siri karena alasan lain, dianjurkan untuk melakukan itsbat nikah. Kalau tidak mau, maka sewajarnya diberi sanksi baik secara administratif maupun dengan sanksi pidana yang bisa membuat jera. Kata Kunci : RUU Peradilan Agama, Nikah Sirri, Denda dan hukuman, dan Itsbat Nikah.
TANGGAPAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN Aah Tsamrotul Fuadah
JURNAL ALAMIAH Vol 1 No 2 (2020): Juli 2020
Publisher : Institut Agama Islam Sahid Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (76.29 KB) | DOI: 10.56406/alamiahjurnalmuamalahdanekonomisyariah.v1i2.71

Abstract

Sirri marriage is again a hot issue in Indonesia, this surfaced when the proposed Draft Law (RUU) on the Material Law of the Religious Courts on Marriage or popularly known as the Siri Marriage Bill, which threatened the perpetrators of unregistered marriage with criminal sanctions, namely the various punishments, ranging from 6 months to three years, and fines from Rp. 6 million to Rp. 12 million. This bill invites pros and cons, those who agree think that this is a progress because according to them, sirri marriages often only harm women and have a negative impact on the offspring of sirri marriages. Meanwhile, the opposing parties argue that this bill will actually direct people to legalize adultery.In classical fiqh studies, sirri marriage is a marriage that is carried out without a guardian or witness, while the current definition of sirri marriage is more meaningful marriage which is carried out only according to their respective religions without being recorded in front of the Office of Religious Affairs. If sirri marriage is interpreted in the first sense, the scholars agree that marriage is invalid without a guardian and witness. As for sirri marriages that are carried out in Islam but are not recorded by KUA officials, most scholars consider them valid.This is where the problem arises regarding unregistered marriages in Indonesia, if this bill has been passed, the perpetrators of unregistered marriages will be subject to fines or imprisonment. Carrying out a marriage legally according to Islamic law as regulated in Article 2 paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 is the embodiment of obedience to Allah and His Messenger in the matter of marriage. Meanwhile, implementing Article 2 paragraph (2) concerning marriage registration is a form of obedience to the leader. However, even though the rules of Allah and His Messenger as well as humans are very good, there will still be those who violate these rules. The proof is that there are still many Muslims who marry without being recorded, even though it is for the benefit of all parties, while that benefit is the goal of syara' (maqashid al-syari'ah).So from here, it is appropriate for those who carry out unregistered marriages because of financial problems, they must be assisted in carrying out their itsbat marriage to the Religious Courts by litigating for free (free). Meanwhile, those who perform unregistered marriages for other reasons, are recommended to perform itsbat nikah. If they don't want to, then they should be given sanctions both administratively and with criminal sanctions that can be a deterrent.