Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Implimentasi Undang-Undang No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat di Baitul Maal wa Tamwil az-zarqa az-zarqa; Shabarullah Shabarullah
Az-Zarqa': Jurnal Hukum Bisnis Islam Vol 10, No 2 (2018): Az-Zarqa'
Publisher : Sharia and Law Faculty of Sunan Kalijaga Islamic State University Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/azzarqa.v10i2.1745

Abstract

Baitul Maal Tamwil (BMT) merupakan penggabungan dari kata Baitul Mal dan Baitul Tamwil. Baitul Mal merupakan suatu konsep keuangan yang aktivitasnya mengelola dana yang bersifat nirlaba (sosial) yang bersumber dari Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf atau sumber lain yang halal seperti hibah. Baitul Tamwil merupakan suatu konsep keuangan yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat yang bersifat profit. Kedudukan BMT sebagai badan hukum masih bernaung dalam beberapa aturan di antaranya UU koperasi, UU yayasan, dan UU Lembaga Keuangan Mikro. Fokus kajian dalam tulisan ini yaitu pada BMT yang berbadan hukum Koperasi. Permen no 11 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi, menyebutkan penghimpunan, pengelolaan dan penyaluran dana zakat, infak, sedekah dan wakaf serta dana kebajikan lainnya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip syariah. Artinya pengelolaan baitul mal tunduk pada undang-undang zakat dan wakaf. Dalam UU no 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menyebutkan zakat dikelola oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan apabila ada masyarakat ingin melakukan pengelolaan zakat maka harus dibentuk LAZ (Lembaga Amil Zakat). Kewenangan LAZ berada dibawah pengawasan BAZNAS, BMT sebagai lembaga yang menjalankan pengelolaan zakat haruslah memiliki izin untuk mengelola harta maal. Oleh karenanya laporan pengelolaan harta maal BMT harus dilaporkan kepada BAZNAS. Kesimpulan dari tulisan ini bahwa BAZNAS turut melakukan pengawasan dalam pengelolaan harta maal di BMT.
Professional Zakat in Modern Society Life: Provisions Regarding Intellectual Property Objects, Nisab, and Zakat Level Shabarullah Shabarullah; Fitria Andriani; Muhammad Sufyan Naim bin Shahrinizam
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 55, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v55i2.733

Abstract

Abstract: In the modern era, scholars have determined some of wealth that must be issued zakat beyond what has been stipulated in the text of the Al-Qur'an and as-Sunnah, and one of them is intellectual property. This article examines the opinions and arguments of the scholars regarding the inclusion of intellectual property rights as objects of zakat and both the nisab and zakat levels. This article is based on library data, both primary and secondary. Using a normative and historical approach and by utilizing modern zakat theory, this article concludes that intellectual property is part of wealth, which has both, benefits and economic value. Based on this fact, intellectual property is part of the object of zakat, namely the object of profession zakat. This is based on the general meaning of lafadz infaq in QS. al-Baqarah [2]: verse 267; the generality of the meaning of "wealth" (al-māl) for which zakat is obligatory in QS. at-Taubah [9]: 103, and also the practice of Muslim society in the past. In addition, this article also concludes that the calculation of the nisab for intellectual property is the same as the nisab for agricultural products. In the Indonesian context, it is equivalent to 653 kg of grain. While the level of zakat is the same as the level of gold zakat, which is 2.5%. Thus, this article at the same time proves that Islamic law, especially the teachings on zakat, is not static, but changes and develops according to the dynamics and development of human life.Abstrak: Di era modern, para ulama menetapkan sejumlah harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya di luar apa yang telah ditetapkan dalam nash Al-Qur’an dan as-Sunnah, dan salah satunya adalah kekayaan intelektual. Artikel ini mengkaji pendapat dan argumen para ulama mengenai dimasukkannya hak kekayaan intelektual sebagai objek zakat dan sekaligus penentuan nisab dan kadar zakatnya. Artikel ini didasarkan pada data-data kepustakaan, baik yang bersifat primer maupun sekunder. Menggunakan pendekatan normatif dan historis dan dengan memanfaatkan teori zakat modern, artikel ini menyimpulkan bahwa kekayaan intelektual merupakan bagian dari harta kekayaan, yang memiliki manfaat dan nilai ekonomi sekaligus. Atas dasar kenyataan itulah maka kekayaan intelektual merupakan bagian dari objek zakat, yakni objek zakat profesi. Hal ini didasarkan pada keumuman makna lafadz infaq dalam QS. al-Baqarah [2]: ayat 267; keumuman makna “harta kekayaan” (al-māl) yang wajib dikeluarkan zakatnya dalam QS. at-Taubah [9]: 103, dan juga praktik masyarakat muslim di masa lampau. Selain itu, artikel ini juga menyimpulkan bahwa penghitungan nisab atas kekayaan intelektual adalah sama dengan nisab dari hasil pertanian. Dalam konteks Indonesia, ia sepadan dengan 653 kg gabah. Sedangkan kadar zakatnya adalah sama dengan kadar zakat emas, yakni 2.5%. Dengan demikian, artikel ini sekaligus membuktikan bahwa hukum Islam, khususnya ajaran tentang zakat, tidaklah bersifat statis, tetapi berubah dan berkembang menyesuaikan dinamika dan perkembangan kehidupun manusia.Keywords: Professional zakat; intellectual property rights; objects of Zakat; nisab; zakat level