Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

MENGUJI KEWENANGAN DEWAN PENGAWAS KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PEMBERIAN IZIN PENGGELEDAHAN SEBAGAI TINDAKAN MERINTANGI PROSES PENYIDIKAN (OBSTRUCTION OF JUSTICE) Arman Tjoneng; Christin Septina Basani; Novalita Sidabutar
Esensi Hukum Vol 2 No 2 (2020): Desember - Jurnal Esensi Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35586/esensihukum.v2i2.35

Abstract

Abstract The Corruption Eradication Commission (KPK) has become a super institution with extraordinary restraint. With the new Corruption Eradication Commission Law, some people think that the KPK has been weakened, which has been an institution loved by the public, even though the government denies that the new KPK Law has not weakened the KPK at all. One of the new things is the formation of the KPK Supervisory Body, one of which has the authority to grant permission to the KPK to conduct searches, which in fact has an impact on the problems at hand. The method used is a normative legal research method. The approach used is a statutory approach. The data used are secondary data obtained by literature study and primary data obtained by conducting interviews with related party respondents. There has been a shift in the meaning of Barriers to Justice as stated in Article 221 of the Criminal Code with Article 221 of the Corruption Eradication Law where Article 221 of the Criminal Code views Obstruction of Justice as a material offense while for Article 21 of the Corruption Eradication Law, Judicial Obstruction is seen as a formal offense. On the other hand, the actions of the Supervisory Board in granting licenses for searches, confiscation, etc. are not automatically considered a disturbance of justice unless it can be proven that the elements of wrongdoing committed by the Supervisory Board can be proven. Keywords : Corruption, Authority, Obstruction Of Justice. ABSTRAK Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi lembaga super dengan pengekangan yang luar biasa. Dengan adanya Undang-Undang KPK yang baru, sebagian orang menilai telah terjadi pelemahan KPK yang selama ini menjadi institusi yang dicintai masyarakat, padahal pemerintah membantah bahwa Undang-Undang KPK yang baru sama sekali tidak melemahkan KPK. Salah satu hal baru yaitu adalah pembentukan Badan Pengawas KPK yang salah satunya memiliki kewenangan untuk memberikan izin kepada KPK untuk melakukan penggeledahan, yang ternyata berdampak pada permasalahan yang sedang dihadapi. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan statutori. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dengan studi pustaka dan data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dengan responden pihak terkait. Telah terjadi pergeseran makna Hambatan Keadilan sebagaimana tertuang dalam Pasal 221 KUHP dengan Pasal 221 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dimana Pasal 221 KUHP memandang Obstruksi Keadilan sebagai delik material sedangkan untuk Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, Obstruksi Peradilan dipandang sebagai delik formal. Di sisi lain, tindakan Dewan Pengawas dalam pemberian izin penggeledahan, penyitaan, dan lain-lain tidak serta merta dianggap sebagai gangguan keadilan kecuali dapat dibuktikan bahwa unsur-unsur perbuatan salah yang dilakukan Dewan Pengawas dapat dibuktikan. Kata Kunci: Korupsi, Otoritas, Obstruksi Keadilan.
Gugatan Sederhana sebagai Terobosan Mahkamah Agung dalam Menyelesaikan Penumpukan Perkara di Pengadilan dan Permasalahannya Arman Tjoneng
Dialogia Iuridica Vol. 8 No. 2 (2017): Volume 8 Nomor 2 April 2017
Publisher : Faculty of Law, Maranatha Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (477.939 KB) | DOI: 10.28932/di.v8i2.726

Abstract

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat  terjadi  antara  individu  dengan  individu,  antara  individu  dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang  lainnya,  dan  sebagainya.  Dengan kata  lain,  sengketa  dapat  bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup local nasional maupun internasional. Sengketa  adalah  suatu  situasi  dimana  ada  pihak  yang  merasa dirugikan  oleh  pihak  lain,  yang  kemudian  pihak  tersebut menyampaikan ketidakpuasan   ini   kepada   pihak   kedua.   Jika   situasi menunjukkan perbedaan   pendapat,   maka   terjadi lah   apa   yang  dinamakan dengan sengketa. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimanakah mekanisme pengajuan Gugatan Sederhana berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2016 dilihat dari asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Penelitian ini juga akan melihat apa yang menjadi kendala dalam penerapan Gugatan Sederhana.Penelitian ini merupkan penelitian normatif dengan melihat pada norma-norma dan asas-asas yang berlaku. Bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pendekatan yang digunakan adalah pendektan undang-undang dan konseptual.
Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Hukum Kebakaran Depo Pertamina Plumpang Debora Prasetya; Arman Tjoneng
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 2 (2023): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/innovative.v3i2.1137

Abstract

Kasus yang terjadi di Depo Pertamina Plumpang menyebabkan pemukiman warga hangus terbakar dan mengakibatkan timbulnya korban jiwa. Objek yang menarik perhatian penulis adalah adanya pemukiman warga dengan legalitas Izin Mendirikan Bangunan di sekitar kawasan Depo Pertamina Plumpang yang diterbitkan oleh Badan Pemerintah daerah DKI Jakarta. Dalam Penelitian ini, penulis bertujuan untuk memaparkan mengenai pertanggungjawaban pemerintah dan juga korporasi dalam peristiwa kebakaran Depo Pertamina Plumpang. Adapun, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu dengan mengkaji norma - norma, kaidah - kaidah, dan peraturan perundang - undangan dengan pendekatan kasus (case approach). Hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa terdapat dua pertanggungjawaban yang harus ditegakkan demi kepastian hukum. Pertanggungjawaban dari sisi pemerintah yaitu mengenai pencabutan Izin Mendirikan Bangunan karena Izin Mendirikan Bangunan tersebut tumpang tindih dengan Hak Guna Bangunan yang dimiliki oleh PT. Pertamina Plumpang, dan seharusnya dalam pengajuan Izin Mendirikan Bangunan harus disertakan dengan bukti hak kepemilikan hak atas tanah. Hal ini menyebabkan Izin Mendirikan Bangunan yang diterbitkan oleh Pemerintah daerah DKI Jakarta cacat hukum. Pertanggungjawaban dari sisi korporasi yaitu untuk memberikan ganti rugi kepada masyarakat sekitar kawasan Depo Pertamina Plumpang yang dirugikan materiil maupun immateriil berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata dan juga pertanggungjawaban seseorang baik itu direksi ataupun pegawai yang telah lalai sehingga menyebabkan kecelakaan didasarkan pada pasal 188 KUHP.