Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Akibat Hukum Perusahaan Perkebunan yang Tidak Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Saut Parsaulian Hutagalung; Franky Butar Butar
Media Iuris Vol. 4 No. 2 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/mi.v4i2.25162

Abstract

Corporate Social Responsibility is a concept known in the business world as a form of company concern for society. Indonesia regulates CSR under the term Social and Environmental Responsibility. CSR or Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) is regulated in Article 74 of Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Company. This regulation requires every company whose activities are to manage and / or relate to natural resources. Plantation companies are companies whose business activities are to manage natural resources and have an obligation to implement TJSL. However, in implementing TJSL, there are several problems, namely the absence of regulations that clearly regulate the form of activities including TJSL and sanctions for plantation companies that do not implement TJSL which creates legal vacuum and legal uncertainty for companies, government and for the community. This research was conducted with the aim of providing legal certainty and as a guideline for all parties related to the implementation of TJSL and law enforcement. The research method used in this research is a normative juridical research type that analyzes legal issues against the prevailing norms or positive legal rules. This research was conducted using a Statute Approach and a Conceptual Approach.Keywords: Limited Liability Company; legal sanctions; Corporate Social Responsibility.Corporate Social Responsibility merupakan konsep yang dikenal dalam dunia bisnis sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap masyarakat. Indonesia mengatur CSR dengan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. TJSL diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Pengaturan ini mewajibkan setiap perusahaan yang kegiatannya mengelola dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Perusahaan perkebunan merupakan perusahaan yang kegiatan usahanya mengelola sumber daya alam memiliki kewajiban dalam melaksanakan TJSL. Namun, Perusahaan perkebunan dalam menjalankan TJSL terdapat beberapa permasalahan yaitu belum adanya peraturan yang mengatur secara jelas terkait dengan bentuk kegiatan yang termasuk TJSL dan sanksi bagi perusahaan perkebunan yang tidak melaksanakan TJSL yang menimbulkan kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum bagi perusahaan, pemerintah maupun bagi masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum serta dapat menjadi pedoman bagi seluruh pihak terkait dengan pelaksanaan TJSL dan penegakan hukumnya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian yuridis normatif yang menganalisa permasalahan hukum terhadap norma atau kaidah hukum posistif yang berlaku. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan dan Pendekatan Konseptual.Kata Kunci: Perseroan Terbatas; Sanksi Hukum; Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
MUNGKINKAH KERUGIAN LINGKUNGAN HIDUP AKIBAT PERTAMBANGAN DAPAT DIKATEGORIKAN SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI? Franky Butar Butar; Iqbal Feliciano; Thoriq Mulahela
Prosiding Temu Profesi Tahunan PERHAPI 2019: PROSIDING TEMU PROFESI TAHUNAN PERHAPI
Publisher : PERHAPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36986/ptptp.v1i1.129

Abstract

ABSTRAKPenelitian ini bermula dari inisiatif dari Jaksa pada KPK pada tahun 2017 yang mendakwakan bahwa kerugian lingkungan hidup dapat dianggap sebagai kerugian keuangan negara pada kasus pemberian izin usaha pertambangan oleh mantan gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam di beberapa daerah yang menjadi kewenangannya. Jaksa pada KPK menggunakan instrumen kerugian lingkungan hidup untuk menghitung kerugian keuangan negara yang merupakan salah satu elemen dalam tindak pidana korupsi. Tulisan ini akan menjelaskan secara deskriptif tentang peluang KPK untuk memperhitungkan kerugian lingkungan hidup sebagai kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi yang berujung pada persoalan apakah mungkin kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup akibat pertambangan dapat memenuhi unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perudang undangan dan studi kasus Nur Alam. Dari analisa hukum yang dilakukan bahwa ada beberapa permasalahan dalam penentuan kerugian lingkungan sebagai kerugian keuangan negara karena hal ini mencakup banyak hal yaitu terkait keuangan negara, perizinan pertambangan, penegakan hukum lingkungan dan terakhir mengenai kategorisasi tindak pidana korupsi. Lebih lanjut bahwa penelitian ini menjelaskan bahwa kerugian lingkungan hidup berpeluang menjadi sebagai tindak pidana korupsi karena lingkungan dianggap sebagai barang milik publik yang tercakup sebagai kekayaan negara sehingga kerusakan atas lingkungan hidup adalah kerusakan pada kekayaan negara yang berujung pada kerugian keuangan negara. Hal yang juga menjadi penting dalam hal ini adalah apakah dalam proses perizinan pertambangan memenuhi unsur unsur dalam tindak pidana korupsi. Selain itu jika tuntutan ini tidak dipenuhi, maka KPK dapat meminta kementerian yang berwenang untuk mengajukan gugatan secara perdata. Penerapan instrumen lingkungan ini juga memiliki tantangan terkait aturan yang jelas dan tegas terkait kerugian lingkungan hidup yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.Kata Kunci: Kerugian Lingkungan Hidup, Pertambangan, Tindak Pidana Korupsi ABSTRACTThis research comes from the initiative of the Prosecutor at the Commission of Corruption Eradication of Indonesia (KPK) in 2017 which claims that environmental losses can be considered as state financial losses in the case of mining business licenses granted by former Southeast Sulawesi governor Nur Alam in several areas under his authority. Prosecutors at the KPK use environmental loss instruments to calculate state financial losses which are one of the elements of corruption. This paper will explain descriptively about the opportunity of the KPK to calculate environmental losses as state financial losses in corruption which lead to the issue of whether environmental damage and or pollution caused by mining can meet the elements of detrimental to state finances in criminal acts of corruption. The method used in this study is normative research by legal and case study approach. From the legal analysis, we can see that there are several problems in determining environmental losses as state financial losses because this includes interdisciplinary which related to state finance, mining licensing, environmental law enforcement and finally regarding the categorization of criminal acts of corruption. In addition, this research explains that environmental loss has the opportunity to become a criminal act of corruption because the environment is considered as public property which is included as state assets so that damage to the environment is damage to state assets which results in state financial losses. Moreover, this case considers whether the mining permit process fulfils elements in corruption. Furthermore, if this lawsuit is not met, the KPK can ask the authorized ministry to sue a lawsuit. The application of environmental instruments also has challenges related to clear rules related to environmental losses that can be categorized as criminal acts of corruption. Keywords: Environmental Losses, Mining, Corruption
PRECAUTIONARY PRINCIPLE DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XII/2014 Muhammad Fikri Alan; Zulharman Zulharman; Franky Butar Butar
Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 1 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.169

Abstract

ABSTRAKTerdapat kesenjangan dalam pemaknaan Precautionary Principle antara sebelum dan sesudah Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014. Sebelum putusan tersebut, Precautionary Principle diartikan sebagai prinsip yang mewajibkan adanya pembuktian ilmiah atas kegiatan usaha terhadap lingkungan. Sedangkan pasca Putusan MK a quo, pembuktian ilmiah ini menjadi hal yang tidak mutlak diperlukan, karena putusan tersebut menganggap bahwa setiap pelaku usaha yang sedang melakukan perpanjangan izin pengelolaan limbah, dianggap telah memiliki izin meskipun izinnya belum keluar. Padahal, izin pengelolaan limbah adalah elemen penting guna menjaga kelestarian lingkungan sehingga diperlukan konsep perizinan yang rumit, ilmiah, serta berdasarkan pertimbangan yang matang. Selain itu, pasca putusan ini, bagi setiap pelaku usaha yang sedang melakukan proses perpanjangan Izin Pengelolaan Limbah, tidak dapat dipidana apabila dalam kenyataan ditemukan pelanggaran izin. Penelitian ini berusaha untuk merumuskan bentuk pemaknaan baru mengenai Precautionary Principle Pasca Putusan MK a quo. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Kata kunci: limbah b3; mahkamah konstitusi; precautionary principle.ABSTRACTThere is a gap in the meaning of the Precautionary Principle before and after the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XII/2014. Prior to this decision, the Precautionary Principle was defined as a principle that requires scientific evidence of business activities towards the environment. Meanwhile, after the decision, scientific evidence is not absolutely necessary. The decision considers that every business actor who is currently extending a waste management permit is deemed to have had a permit even though the permit has not been issued. In fact, a waste management permit is an important element in protecting the environment. So that, a licensing concept that is complex, scientific, and based on careful considerations is required. In addition, after this decision, any business actor who is in the process of extending the Waste Management Permit, cannot be punished if in fact there is a permit violation. This study seeks to formulate a new form of meaning regarding the Precautionary Principle after the MK decision. This research is a normative juridical study, using a statutory approach and a conceptual approach.Keywords: hazardous waste; constitutional court; precautionary principle. 
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI BIDANG PERTAMBANGAN Franky Butar Butar
Yuridika Vol. 25 No. 2 (2010): Volume 25 Nomor 2 Mei 2010
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (387.798 KB) | DOI: 10.20473/ydk.v25i2.252

Abstract

The mining sector is still the main sector of the state foreign exchange Indonesia has a social dimension of culture, economy and environment. The Act No. 4 of 2009 on Mineral and Coal (Mining Act) provides a new understanding of the concept of a modern mining law after all this time mining regime for more than 42 years in Indonesia are subject to the Act No. 11 of 1967 on Basic Provisions of Mining. The new Mining Law emphasizes the spirit of transparency, partispatif and environmentally sound. Mining Act and UUPPLH are expected can go hand in hand in terms of law enforcement aspects of preventive and repressive in every stages of mining activities have the greatest environmental aspects of exploration and exploitation because the object is on land where mining activities are always so for the environmental effects of pollution and environmental destruction. Mining Act (UU Minerba) and Protection and Environmental Management Act (UUPPLH) are expected to be a wheel mining activities that are not only economically profitable for the society of Indonesia but also environmentally sustainable and support Indonesia DevelopmentKeywords : Environmental Law, Mining Law, Law Enforcement
IZIN PENGANGKATAN BENDA BERHARGA ATAS MUATAN KAPAL TENGGELAM (BMKT) SEBAGAI INSTRUMEN KONSERVASI SUMBER DAYA LAUT DI INDONESIA Lilik Pudjiastuti; Franky Butar-Butar
Yuridika Vol. 25 No. 3 (2010): Volume 25 Nomor 3 September 2010
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (588.038 KB) | DOI: 10.20473/ydk.v25i3.254

Abstract

The writing is aimed to know the management of marine resources related to the business of making objects of cargo ship sank in Indonesian waters. This is related to obligatory countries in meeting the public’s right to good environment as stated in Article 28 H of the Indonesia Constitution of 1945. In fact this is now the object decision activity on cargo ship sank materials often done by a person or a foreign business entity that tried to search for treasure in Indonesia, this will be detrimental to objects of cultural heritage in Indonesia and can make damage or environmental pollution. Thus the need for government facilities that can control these activities, one means that governments use to control is through the permit retrieval objects loads up sink ships. The principle that should be applied in making the management of the objects sinking ship include: (i) legislation to permit, (ii) the issuance of permits, (iii) to permit law enforcement, and (iv) the responsibilities of government (publisher permission). Research and writing of this normative approach that starts from the legislation on marine resource management and licensing in the starter making objects cargo ship sank and regional governance. The results of this study will describe the relationship between objects permits retrieval of cargo ship sunk as a means to control the objects that fall into objects of cultural heritage and effort to of control pollution of the in marine environment in Indonesia.
PRECAUTIONARY PRINCIPLE DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XII/2014 Muhammad Fikri Alan; Zulharman Zulharman; Franky Butar Butar
Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 1 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (255.548 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.169

Abstract

ABSTRAKTerdapat kesenjangan dalam pemaknaan Precautionary Principle antara sebelum dan sesudah Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014. Sebelum putusan tersebut, Precautionary Principle diartikan sebagai prinsip yang mewajibkan adanya pembuktian ilmiah atas kegiatan usaha terhadap lingkungan. Sedangkan pasca Putusan MK a quo, pembuktian ilmiah ini menjadi hal yang tidak mutlak diperlukan, karena putusan tersebut menganggap bahwa setiap pelaku usaha yang sedang melakukan perpanjangan izin pengelolaan limbah, dianggap telah memiliki izin meskipun izinnya belum keluar. Padahal, izin pengelolaan limbah adalah elemen penting guna menjaga kelestarian lingkungan sehingga diperlukan konsep perizinan yang rumit, ilmiah, serta berdasarkan pertimbangan yang matang. Selain itu, pasca putusan ini, bagi setiap pelaku usaha yang sedang melakukan proses perpanjangan Izin Pengelolaan Limbah, tidak dapat dipidana apabila dalam kenyataan ditemukan pelanggaran izin. Penelitian ini berusaha untuk merumuskan bentuk pemaknaan baru mengenai Precautionary Principle Pasca Putusan MK a quo. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Kata kunci: limbah b3; mahkamah konstitusi; precautionary principle.ABSTRACTThere is a gap in the meaning of the Precautionary Principle before and after the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XII/2014. Prior to this decision, the Precautionary Principle was defined as a principle that requires scientific evidence of business activities towards the environment. Meanwhile, after the decision, scientific evidence is not absolutely necessary. The decision considers that every business actor who is currently extending a waste management permit is deemed to have had a permit even though the permit has not been issued. In fact, a waste management permit is an important element in protecting the environment. So that, a licensing concept that is complex, scientific, and based on careful considerations is required. In addition, after this decision, any business actor who is in the process of extending the Waste Management Permit, cannot be punished if in fact there is a permit violation. This study seeks to formulate a new form of meaning regarding the Precautionary Principle after the MK decision. This research is a normative juridical study, using a statutory approach and a conceptual approach.Keywords: hazardous waste; constitutional court; precautionary principle.