Luli Gustiantini
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

FORAMINIFERA BENTONIK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS PERAIRAN TERUMBU KARANG DI PULAU TEGAL, TELUK LAMPUNG, LAMPUNG Sevina Rahmi; Suwarno Hadisusanto; Nazar Nurdin; Mira Yosi; Luli Gustiantini
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Vol 17, No 2 (2019)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (462.259 KB) | DOI: 10.32693/jgk.17.2.2019.599

Abstract

Foraminifera telah banyak digunakan sebagai indikator kualitas perairan sekitar terumbu karang di Indonesia berdasarkan perbandingan kelompok foraminifera bentonik tertentu. Studi tersebut diterapkan di sekitar Pulau Tegal, Teluk Lampung yang merupakan salah satu destinasi wisata yang secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap ekosistem terumbu karang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas foraminifera bentonik kaitannya dengan kondisi perairan terumbu karang Pulau Tegal, Teluk Lampung. Penelitian ini dilakukan pada 16 stasiun penelitian di Pulau Tegal yang mewakili semua sisi pulau dengan variasi kedalaman dari 0 meter hingga 28 meter. Hasil dari penelitian ini ditemukan 6.918 spesimen foraminifera bentonik dengan keanekaragaman yang tergolong rendah. Genera Amphistegina dan Elphidium ditemukan sangat melimpah pada hampir seluruh stasiun. Nilai Indeks FORAM (FI) diatas 4 ditemukan pada 11 stasiun penelitian yang mengindikasikan bahwa sebagian besar perairan Pulau Tegal berada dalam kondisi yang sangat baik dan kondusif untuk pertumbuhan serta pemulihan terumbu karang. Hasil ini sejalan dengan melimpahnya kehadiran kelompok foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang pada perairan Pulau Tegal.Kata Kunci: Bioindikator, Pulau Tegal, Indeks FORAM, Terumbu Karang, Komunitas.Foraminifera has been widely used as an indicator of the quality of the waters around coral reefs in Indonesia based on the comparison of certain groups of benthonic foraminifera. The study was implemented around Tegal Island, Lampung Bay, which is one of the tourist destinations that influence the coral reef ecosystem. This study aims to determine the structure of bentonic foraminifera communities related to the condition of the coral reef waters of Tegal Island, Lampung Bay. This research was conducted at 16 research stations in Tegal Island representing all sides of the island with variations in depth from 0 m to 28 m water depth. The results of this study found 6.918 specimens of bentonic foraminifera with relatively low diversity. The genera Amphistegina and Elphidium were found to be very abundant in almost all stations. The FORAM Index (FI) above 4 was found in 11 research stations which indicated that most of the waters of Tegal Island were in very good conditions and conducive to the growth and recovery of coral reefs. This result is in line with the abundance of the presence of foraminifera groups associated with coral reefs in the waters of Tegal Island. Keywords: Bioindicator, Tegal Island, FORAM Index, Coral Reef, Community
OSTRACODA SEBAGAI INDIKATOR PERUBAHAN LINGKUNGAN PERAIRAN SEKITAR PLTU TARAHAN, TELUK LAMPUNG, SUMATERA Kresna Tri Dewi; Indra Adhirana; Yusuf Adam Priohandono; Luli Gustiantini
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN Vol 14, No 1 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (707.054 KB) | DOI: 10.32693/jgk.14.1.2016.335

Abstract

Teluk Lampung terletak di bagian selatan Pulau Sumatera yang berhadapan dengan Selat Sunda.  Kualitas ingkungan perairan ini secara perlahan menurun sebagai akibat pertumbuhan berbagai aktifitas manusia di kawasan pesisir.  Tujuan dari studi ini adalah untuk memahami  struktur komunitas ostracoda sebagai komponen sedimen laut terkait dengan perubahan lingkungan perairan ini. Studi ini menggunakan  22 sub-sampel sedimen dari 4 titik lokasi di lepas pantai sekitar PLTU Tarahan dan beberapa sampel sedimen permukaan yang mewakili kondisi lingkungan saat ini. Kemudian sampel sedimen ini dicuci dalam ayakan berbukaan 0.063 mm, dikeringkan dan digunakan untuk studi ostracoda dengan bantuan mikroskop binokuler. Hasilnya menunjukkan bahwa secara vertikal kelimpahan ostracoda menurun atau tidak hadir di beberapa lapisan bawah dasar laut. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau tahun 1883 yang ditunjang oleh keterdapatan material batu apung di lapisan-lapisan sedimen ini. Secara horizontal, ostracoda dari sampel permukaan atau dasar laut cukup bervariasi dan melimpah namun juga menemukan spesimen abnormal seperti rusak dan terisi atau tertutup oleh material berwarna gelap yang mengandung Al2O3 (17,54%) and SiO2 (37,52%). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan menurunnya kondisi lingkungan daerah penelitian yang berpengaruh pada habitat ostracoda.Katakunci: ostracoda, spesimen abnormal, perubahan lingkungan, Teluk Lampung Lampung Bay is located in the southern part of Sumatera island that facing to the Sunda Strait. This bay is gradually degradation environment as a result of growing various human activities in the coastal area.  The purpose of this study is to understand the community structure of ostracoda as component of marine sediments related to environmental changes of this area.  This study used 22 sediment sub-samples from four sites in the offshore area of Tarahan power plant and several surface sediment samples represented the present environmental condition. These samples were then washed through 0.063 mm sieve, dried and used for  ostracod study under a binocular microscope. The result shows that,  the ostracoda assemblages, vertically, are decrease or disappear at certain layers below seafloor. It may related to the eruption of Krakatau Volcano in 1883 that was supported by finding of pumice materials in these layers. Horizontally,  ostracod from surface sediments is quite diverse and abundant but we also found abnormal specimens such as abraded and filled or covered by Al2O3 (17,54%) and SiO2 (37,52%).  It may related to decline environment in the study area that likely affect the habitat of ostracoda. Keywords: ostracoda, abnormal specimens, Tarahan power plant.
PENGARUH FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE TERHADAP PALEOEKOLOGI DAN PALEOPRODUKTIVITAS FORAMINIFERA DI PERAIRAN SELAT SUNDA PADA WAKTU PLEISTOSEN-HOLOSEN Eldian Yosua Budiarto; Khoiril Anwar Maryunani; Luli Gustiantini
Bulletin of Geology Vol 7 No 2 (2023): Bulletin of Geology
Publisher : Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), Institut Teknologi Bandung (ITB)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sari - Selat Sunda termasuk bagian dari Paparan Sunda yang merupakan salah satu paparan terbesar di dunia, dengan perairan regional yang dipengaruhi oleh South Java Current (SJC). Daerah Selat Sunda juga menjadi daerah yang terpengaruh oleh Indian Ocean Dipole (IOD) positif dan negatif yang diinisiasi oleh intensifikasi siklus Hadley dan interaksi muson Asia-Australia. IOD negatif dicirikan oleh peristiwa peningkatan curah hujan di bagian barat Indonesia yang diikuti oleh iklim kering di timur Afrika. Sebaliknya, IOD positif dicirikan oleh pendinginan suhu permukaan laut (SPL) dan peningkatan produktivitas di perairan barat Sumatera dikarenakan peningkatan upwelling. Selama peristiwa Last Glacial Maximum (LGM), tinggi permukaan air laut lebih rendah mendekati 130 m di bawah permukaan laut saat ini dan menyebabkan Paparan Sunda terekspos menjadi Sundaland. Paparan Sunda mengalami flooding pada ~10.000 tahun lalu akibat peningkatan eustasi yang menyebabkan perairan Selat Sunda terkoneksi dengan Laut Jawa seperti saat ini. Penelitian ini dilakukan pada inti batuan BS-05 yang termasuk dalam perairan Selat Sunda dengan koordinat 7° 1′38.83″LS, 105° 6′16.31″BT. Penelitian berfokus pada rekaman foraminifera planktonik dan bentonik dari 69 kedalaman yang dicuplik dari kedalaman 0 hingga 264 cm dengan interval 4 cm, dengan umur Pleistosen Akhir hingga Holosen. Analisis dilakukan dengan metode statistik berupa single fauna method, two or more species, dan whole fauna method. Hasil analisis menunjukkan sebelum deglasiasi (akhir Pleistosen), SPL relatif lebih dingin, aktivitas upwelling lebih tinggi, kedalaman termoklin dangkal, dengan paleoproduktivitas dikendalikan oleh upwelling, sebagai akibat dominasi IOD positif. Setelah deglasiasi (Holosen), SPL relatif menjadi lebih hangat, dengan aktivitas upwelling dan kedalaman termoklin yang mengalami fluktuasi, dengan paleoproduktivitas dikendalikan masukan material terigen dari Laut Jawa dan upwelling. Hal ini mengimplikasikan bahwa peningkatan paleoproduktivitas pada dominasi IOD negatif terjadi akibat terhubungnya Selat Sunda dan Laut Jawa, dengan beberapa interval waktu dominasi IOD positif, contohnya pada interval 6.000 hingga 4.000 tahun lalu.