Arskal Salim
LPPM -- Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PVC Research and Community Outreach) Syarif Hidayatullah State Islamic University (UIN) Jakarta, INDONESIA

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Gendering the Islamic Judiciary: Female Judges in the Religious Courts of Indonesia Nurlaelawati, Euis; Salim, Arskal
Al-Jamiah: Journal of Islamic Studies Vol 51, No 2 (2013)
Publisher : Al-Jamiah Research Centre, Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2013.512.247-278

Abstract

Compared to other Muslim countries, Indonesia has been the forefront, if not the frontrunner, in welcoming women to occupy a position as judges at the Islamic court. Despite few Indonesian women were already sitting at Islamic courtrooms and hearing cases on family law issues as early as in 1960s, it was only in 1989 that Indonesia fully accommodated female judges at the religious courts. From this onwards, female judges were recruited more than ever and began accessing a number of rights and positions like their male counterparts. This paper discusses female judge and women litigants at Islamic courts of Indonesia. This paper not only discusses the way in which women were recruited to be judges at the Indonesian Islamic courts, but also explores some factors leading Indonesian women to engage in the judicial practice. In addition, this paper looks at the way in which female judges exercise their authority to protect rights of disadvantaged women litigants. This paper argues that despite female judges have the same skills in interpreting law as their male colleagues do and that they have to some extent better gender sensitivity, they unfortunately have not maximised utilising these legal skills for the benefits of women litigants.[Dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya, Indonesia telah menjadi garda depan –jika tidak disebut pelopor– dalam mengangkat perempuan sebagai hakim di Pengadilan Agama. Meski pada decade 1960-an sejumlah perempuan sudah menduduki jabatan hakim dan telah menyidangkan kasus-kasus keluarga di Pengadilan Agama, hanya pada tahun 1989 pengangkatan perempuan pada Pengadilan Agama ditegaskan secara formal dan legaal oleh pemerintah Indonesia. Sejak saat itu, jumlah hakim perempuan di pengadilan agama meningkat dan mereka memiliki kesemepatan untuk memperoleh hak dan posisi penting di Pengadilan Agama, sejajar dengan hakim laki-laki. Artikel ini mendiskusikan keterlibatan perempuan, baik sebagai hakim maupun pihak yang berperkara, di Pengadilan Agama. Tidak hanya menjelaskan bagaimana perempuan direkrut sebagai hakim di Pengadilan Agama, artikel ini juga mengulas faktor-faktor penting yang mendorong keterlibatan perempuan dalam praktek peradilan. Selain itu, juga dijelaskan peran hakim perempuan dalam melindungi hak para perempuan yang berperkara di pengadilan. Penulis berkesimpulan bahwa meski para hakim perempuan memiliki kompetensi yang sama dalam memutus perkara seperti para hakim laki-laki dan dalam batas tertentu memiliki sensitifitas gender yang lebih kuat ketimbang laki-laki, peran mereka masih terlihat belum maksimal, terutama dalam memberikan perlindungan terhadap pemenuhan hak-hak perempuan.]
Gendering the Islamic Judiciary: Female Judges in the Religious Courts of Indonesia Nurlaelawati, Euis; Salim, Arskal
Al-Jamiah: Journal of Islamic Studies Vol 51, No 2 (2013)
Publisher : Al-Jamiah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2013.512.247-278

Abstract

Compared to other Muslim countries, Indonesia has been the forefront, if not the frontrunner, in welcoming women to occupy a position as judges at the Islamic court. Despite few Indonesian women were already sitting at Islamic courtrooms and hearing cases on family law issues as early as in 1960s, it was only in 1989 that Indonesia fully accommodated female judges at the religious courts. From this onwards, female judges were recruited more than ever and began accessing a number of rights and positions like their male counterparts. This paper discusses female judge and women litigants at Islamic courts of Indonesia. This paper not only discusses the way in which women were recruited to be judges at the Indonesian Islamic courts, but also explores some factors leading Indonesian women to engage in the judicial practice. In addition, this paper looks at the way in which female judges exercise their authority to protect rights of disadvantaged women litigants. This paper argues that despite female judges have the same skills in interpreting law as their male colleagues do and that they have to some extent better gender sensitivity, they unfortunately have not maximised utilising these legal skills for the benefits of women litigants.[Dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya, Indonesia telah menjadi garda depan –jika tidak disebut pelopor– dalam mengangkat perempuan sebagai hakim di Pengadilan Agama. Meski pada decade 1960-an sejumlah perempuan sudah menduduki jabatan hakim dan telah menyidangkan kasus-kasus keluarga di Pengadilan Agama, hanya pada tahun 1989 pengangkatan perempuan pada Pengadilan Agama ditegaskan secara formal dan legaal oleh pemerintah Indonesia. Sejak saat itu, jumlah hakim perempuan di pengadilan agama meningkat dan mereka memiliki kesemepatan untuk memperoleh hak dan posisi penting di Pengadilan Agama, sejajar dengan hakim laki-laki. Artikel ini mendiskusikan keterlibatan perempuan, baik sebagai hakim maupun pihak yang berperkara, di Pengadilan Agama. Tidak hanya menjelaskan bagaimana perempuan direkrut sebagai hakim di Pengadilan Agama, artikel ini juga mengulas faktor-faktor penting yang mendorong keterlibatan perempuan dalam praktek peradilan. Selain itu, juga dijelaskan peran hakim perempuan dalam melindungi hak para perempuan yang berperkara di pengadilan. Penulis berkesimpulan bahwa meski para hakim perempuan memiliki kompetensi yang sama dalam memutus perkara seperti para hakim laki-laki dan dalam batas tertentu memiliki sensitifitas gender yang lebih kuat ketimbang laki-laki, peran mereka masih terlihat belum maksimal, terutama dalam memberikan perlindungan terhadap pemenuhan hak-hak perempuan.]
Between ICMI and NU: The Contested Representation of Muslim Civil Society in Indonesia, 1990-2001 Salim, Arskal
Al-Jamiah: Journal of Islamic Studies Vol 49, No 2 (2011)
Publisher : Al-Jamiah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2011.492.295-328

Abstract

This article discusses the concept of Muslim civil society in Indonesia by looking at differences in context between democratic and non-democratic regimes and by considering the diversity of Islamic interpretation of civil society and democracy. By looking at the dynamics within state-society relations and the process of democratisation, this article aims to clarify what kind of political actions correspond to the concept of civil society and help build a strong civil society in Indonesia in 1990s. Limiting its scope to the period from 1990 to 2001, the paper draws on two Muslim organisations (Nahdlatul Ulama and Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) to explain why do Indonesian Muslims use the concept of civil society differently? How should Muslims perceive civil society vis-à-vis the state? Is it cooperation (participation) or opposition? Are both respective views equally legitimate? Given that Islamic doctrine may support the most varied of political outlooks, this study will point out that there is no single interpretation of the relationship between Islam and civil society or democracy. The article thus argues that differences between the two groups represent the diversity of Islamic interpretations of socio-political life.[Artikel ini membahas konsep “civil society” di Indonesia berdasarkan perbedaan konteks antara rejim demokratis dan otoriter serta menganalisis ragam interpretasi Islam mengenai civil society dan demokrasi. Melalui analisis dinamika hubungan rakyat-negara dan proses demokratisasi, artikel ini menjelaskan bentuk sikap politik yang sesuai dengan civil societydan mendorong terciptanya civil society yang kuat pada dekade 1990an di Indonesia. Diskusi dibatasi pada dua organisasi Muslim di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan hanya pada rentang 1990 hingga 2001. Pembatasan dilakukan guna menjawab mengapa Muslim di Indonesia menggunakan konsep civil society secara berbeda dan bagaimana mereka memandang bentuk relasi ideal antara negara-civil society; apakah kerjasama (partisipasi) ataukah oposisi? dan apakah kedua bentuk relasi tersebut sama-sama dapat dibenarkan?. Menyimak bahwa ajaran Islam dapat digunakan untuk mendukung berbagai pandangan politik, artikel ini menggarisbawahi bahwa interpretasi mengenai relasi Islam dan civil society/demokrasi adalah beragam. Karena itu, perbedaan antara NU dan ICMI dalam menterjemahkan konsep civil society merupakan cerminan perbedaan dan ragam interpretasi Islam terhadap kehidupan sosial-politik.]