Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Bagaimana Konstruksi Gender dalam Permainan Outdoor di PAUD? Maya Lestari
PERNIK : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Vol 3, No 1 (2020): Pernik : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini
Publisher : Universitas PGRI Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31851/pernik.v3i2.4810

Abstract

Abstract— Playing is an inseparable part of the child's world. This article focuses on outdoor play as the first physical game. What I mean by outdoor play in this article includes playing football, jumping rope, and other outdoor games. There is a widely held assumption that gender is an analytical factor in children's play. The myth is that boys have a higher interest in outdoor play than girls. Includes mastering the place to play. Thus, analyzing the discourse of outdoor play in early childhood education from a gender perspective will contribute to understanding game development in early childhood education. Through a case study research at a kindergarten in Palembang Indonesia, this article finds power relations in children's outdoor games in kindergarten and examines how teachers, parents and other adults address the gender gap in outdoor games.Keywords— Children, Gender issues, Outdoor, PlayAbstrak— Bermain menjadi sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari dunia anak. Artikel ini berfokus pada permainan outdoor sebagai permainan fisik pertama. Yang saya maksud dengan permainan outdoor di artikel ini termasuk bermain sepak bola, lompat tali, dan permainan outdoor lainnya Ada anggapan yang diyakini secara luas bahwa gender merupakan salah satu faktor analitis dalam permainan anak. Mitosnya adalah anak laki-laki memiliki minat bermain outdoor yang lebih tinggi daripada anak perempuan. Termasuk didalamnya pada penguasaan tempat bermain. Dengan demikian, menganalisis diskursus permainan outdoor dalam pendidikan anak usia dini dari perspektif gender akan berkontribusi pada pemahaman pengembangan permainan dalam pendidikan anak usia dini. Melalui penelitian studi etnografi di sebuah taman kanak-kanak di Palembang Indonesia, artikel ini menemukan adanya relasi kuasa dalam permainan outdoor anak di TK dan meneliti bagaimana guru, orang tua dan orang dewasa lainnya mengatasi kesenjangan gender dalam permainan outdoor.Kata Kunci— Anak, Isu Gender, Outdoor, Permainan
Model Bimbingan Kelompok Berbasis Bermain (BKBB) dan Nilai Karakter Anak: Perspektif Guru Taman Kanak-Kanak di Indonesia Euis Kurniati; maya lestari; anita febiyanti; vina andriyani
Jurnal Pasca Dharma Pengabdian Masyarakat Vol 2, No 2 (2021): November 2021
Publisher : Universitas Pendidikan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17509/jpdpm.v2i2.30362

Abstract

Pendidikan Budaya dan Karakter bangsa merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari pendidikan anak usia dini secara utuh. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pandangan dan peran guru taman kanak-kanak tentang penerapan bimbingan kelompok berbasis bermain (BKBB) untuk menanamkan nilai karakter pada anak. Sembilan orang guru yang berasal dari 4 TK/RAnegeri dan swasta di Indonesia diwawancarai secara online. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa guru menyadari pentingnya menanamkan nilai karakter pada anak sejak dini dengan cara yang menyenangkan, secara terbimbing dan melalui kegiatan bermain. Melalui model BKBB, guru pada umumnya mengambil peran dalam mengawasi atau membimbing perilaku anak, menyiapkan materi untuk kegiatan bermain, serta turut berpartisipasi dalam percontohan pada pembentukan karakter anak di sekolah. Temuan hasil penelitian ini juga menunjukkan respon guru terhadap model BKBB karena telah efektif dalam membentuk karakter anak secara langsung maupun tidak langsung. Guru juga lebih mudah mengobservasi anak karena dilakukan secara berkelompok dalam kegiatan bermain. Sehingga dengan model BKBB dapat mangajarkan anak tentang berbagi, menghargai perbedaan, menyayangi teman sebaya dan nilai karakter lainnya dapat lebih optimal