Masalah pembangunan pertanian di Indonesia tidak hanya bisa dilihat dari dimensi produksi komoditas pertanian belaka, apalagi sekedar untuk politik swasembada SSS (super sempit sekali) atas dasar komoditas, daerah (propinsi/kabupaten) dan situasional/tahunan, sementara masalah unit usaha pertanian rakyat tidak dilihat dalam konteks produktivitas atas dasar nilai tambah yang menjadi sumber pendapatan usaha tani. Melihat kondisi pertanian lahan sempit Indonesia cara pandang alternatif perlu diperkenalkan dan instrumen pendalaman modal dan teknologi menjadi input utama. Orientasi komoditas harus ditinggalkan dan orientasi skala bisnis dikedepankan. Ruang untuk melihat ini secara empiris masih sangat luas dan menakjubkan, sementara politik pertanian secara makro, baik swasembada untuk ketahanan pangan maupun politik anggaran/subsidi untuk pertanian yang sering membelenggu kreatifitas ke arah cara pandang alternatif itu. Globalisasi dan perubahan iklim harus menjauhi pola pengerahan dan komoditas yang penuh resiko. Transformasi usaha tani dari nilai tambah rendah ke arah pola usaha tani bernilai tambah tinggi harus dikedepankan. Ada tujuh langkah strategis dasar mengantar transformasi ini yang harus dimulai oleh kalangan perguruan tinggi, dunia usaha dan pembinaan usaha pertanian di daerah dengan mengembangkan modeling usaha pertanian bernilai tambah tinggi. Dan kemudian diikuti sederetan langkah lain seperti formalisasi bisnis, penyediaan jasa layanan usaha fokus transformasi pertanian NTT (Nilai Tambah Tinggi), penataan pembiayaan dan advokasi berlanjut untuk menghilangkan kungkungan ke arah perbaikan produktivitas usaha, peningkatan pendapatan petani dan pengurangan kemiskinan.The problems of agricultural development in Indonesia is not only reflected in the sheer dimensions of the agricultural commodities production, moreover just for political self-sufficiency in SSS (Super Sempit Sekali) on the basis of commodities, regional(provincial/district) and situational/yearly, while the problem of people’s agricultural business units viewed only in the context of productivity on the basis of value added which become the source of agricultural business units. With consideration of Indonesia’s narrow agricultural land, a new alternative way of looking need to be introduced and the need to put capital deepening and technology into primary input. Commodity orientation should be abandoned and concerning more on the orientation of business scale. Empirically, the space to see is still wide and wonderful, while agricutural politics in macro, both selfsufficiency to food security and political budget/ subsidy for agriculture is often blocked creativity toward alternative perspective. Globalization and climate change should avoid deployment patterns and commodity risk management. The transformation of agricultural business from low added value toward high value-added agricultural business pattern should be prioritized. There are seven basic strategic steps that must accompany this transformation initiated by universities, business and agricultural business development-in the region by developing the modeling of high value-added agricultural enterprises. Followed by a series of other measurement such as the formalization of business, providing business services focus on agricultural transformation NTT (Nilai Tambah Tinggi), the arrangement of financing and advocacy continues to eliminate the confines of effort toward improving productivity, increasing farmer income and poverty reduction.