Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

EFEKTIVITAS MERKURI KLORIDA (HgCl2) PADA STERILISASI TUNAS SAMPING JATI (Tectona grandis) IN VITRO Fauzan, Yusuf Sigit Ahmad; Supriyanto, .; Tajuddin, Teuku
Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI) Vol 4, No 2 (2017): December 2017
Publisher : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (966.189 KB) | DOI: 10.29122/jbbi.v4i2.2540

Abstract

Effectiveness of Mercury Chloride (HgCl2) in Sterilization of Teak (Tectona grandis L.f.) In VitroThe main obstacle in obtaining sterile materials in in vitro cultures derived from meristems is high level of surface contamination caused by fungi and bacteria, which often results in explant death. The objective of this study was to obtain an appropriate mercury chloride (HgCl2) concentration for the sterilization of Tectona grandis nodes in in vitro culture. One cm long-sized nodes with 0.2 mm diameter were immersed in HgCl2at concentrations of 0, 100, 200 and 300 mg/L for 3 minutes. The results showed that the higher concentration of HgCl2was able to suppress the growth of fungi and bacteria and increased the percentage of aseptic explants. The best HgCl2concentration was 300 mg/L since it suppressed the growth of fungi and bacteria up to 100% and 75%, respectively, and produced the highest aseptic explants of 85% at 9 days after treatment. The small sized explants supported the sterilization process and reduced browning levels.Keywords: Browning, HgCl2, in vitro, sterilization, T. grandisABSTRAKKendala utama dalam mendapatkan material steril pada kultur in vitro yang berasal dari meristem adalah tingginya tingkat kontaminasi permukaan yang disebabkan oleh jamur dan bakteri, dan sering menyebabkan kematian eksplan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh konsentrasi merkuri klorida (HgCl2) yang tepat untuk sterilisasi eksplan tunas samping tanaman jati (Tectona grandis) pada kultur in vitro. Tunas samping berukuran 1 cm dan diameter 0,2 mm direndam dalam HgCl2 pada konsentrasi 0, 100, 200 dan 300 mg/L selama 3 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi HgCl2 yang semakin tinggi mampu menekan pertumbuhan jamur dan bakteri pada eksplan serta meningkatkan persentase eksplan aseptik. HgCl2 dengan konsentrasi 300 mg/L merupakan konsentrasi terbaik karena dapat menekan pertumbuhan jamur hingga 100% dan bakteri mencapai 75%, serta menghasilkan tingkat eksplan aseptik dan hidup tertinggi yaitu sebesar 85% pada 9 hari setelah perlakuan. Ukuran eksplan yang kecil mendukung proses sterilisasi dan mengurangi tingkat browning. Kata kunci: HgCl2,in vitro, pencoklatan jaringan, sterilisasi, T. grandis, Received: 02 November 2017                 Accepted: 14 December 2017                Published: 29 December 2017
EFEKTIVITAS MERKURI KLORIDA (HgCl2) PADA STERILISASI TUNAS SAMPING JATI (Tectona grandis) IN VITRO Fauzan, Yusuf Sigit Ahmad; Supriyanto, .; Tajuddin, Teuku
Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI) Vol. 4 No. 2 (2017): December 2017
Publisher : Balai Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (966.189 KB) | DOI: 10.29122/jbbi.v4i2.2540

Abstract

Effectiveness of Mercury Chloride (HgCl2) in Sterilization of Teak (Tectona grandis L.f.) In VitroThe main obstacle in obtaining sterile materials in in vitro cultures derived from meristems is high level of surface contamination caused by fungi and bacteria, which often results in explant death. The objective of this study was to obtain an appropriate mercury chloride (HgCl2) concentration for the sterilization of Tectona grandis nodes in in vitro culture. One cm long-sized nodes with 0.2 mm diameter were immersed in HgCl2at concentrations of 0, 100, 200 and 300 mg/L for 3 minutes. The results showed that the higher concentration of HgCl2was able to suppress the growth of fungi and bacteria and increased the percentage of aseptic explants. The best HgCl2concentration was 300 mg/L since it suppressed the growth of fungi and bacteria up to 100% and 75%, respectively, and produced the highest aseptic explants of 85% at 9 days after treatment. The small sized explants supported the sterilization process and reduced browning levels.Keywords: Browning, HgCl2, in vitro, sterilization, T. grandisABSTRAKKendala utama dalam mendapatkan material steril pada kultur in vitro yang berasal dari meristem adalah tingginya tingkat kontaminasi permukaan yang disebabkan oleh jamur dan bakteri, dan sering menyebabkan kematian eksplan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh konsentrasi merkuri klorida (HgCl2) yang tepat untuk sterilisasi eksplan tunas samping tanaman jati (Tectona grandis) pada kultur in vitro. Tunas samping berukuran 1 cm dan diameter 0,2 mm direndam dalam HgCl2 pada konsentrasi 0, 100, 200 dan 300 mg/L selama 3 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi HgCl2 yang semakin tinggi mampu menekan pertumbuhan jamur dan bakteri pada eksplan serta meningkatkan persentase eksplan aseptik. HgCl2 dengan konsentrasi 300 mg/L merupakan konsentrasi terbaik karena dapat menekan pertumbuhan jamur hingga 100% dan bakteri mencapai 75%, serta menghasilkan tingkat eksplan aseptik dan hidup tertinggi yaitu sebesar 85% pada 9 hari setelah perlakuan. Ukuran eksplan yang kecil mendukung proses sterilisasi dan mengurangi tingkat browning. Kata kunci: HgCl2,in vitro, pencoklatan jaringan, sterilisasi, T. grandis, Received: 02 November 2017                 Accepted: 14 December 2017                Published: 29 December 2017
Studi Pembuatan Teh Daun Tanaman Kakao (Theobroma cacao L) sebagai Minuman Penyegar Supriyanto Supriyanto; Purnama Darmadji; Iik Susanti
agriTECH Vol 34, No 4 (2014)
Publisher : Faculty of Agricultural Technology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (474.567 KB) | DOI: 10.22146/agritech.9437

Abstract

In the cultivation of cocoa plant, leaf trimming is done at any given time interval. Leaves pruned are not used optimally and are normally wasted during frequent pruning, whereas cocoa leaves contain polyphenols and has antioxidant activity equivalent and similar to green tea, even greater than in green tea. This study was aimed to assess the possibility of utilization of cocoa trees pruned leaves as a tea for a refreshing beverage that is processed in accordance with the principles of green tea processing. Young cocoa leaves that is the apex plus 3 leaves below it, and the old leaves that is 5 th leaf to the 8 th leaf, are withered at a temperature of 90-100 oC RH <70% for 5, 10 and 15 minutes. The leaves wilt then milled/rolled at ambient temperature, dried at 90-100 oC for 4 hours to dry cocoa leaves until  the moisture content reaches of 3-5%. Observation and analysis were done, including the moisture content, color, total polyphenol content, and  antioxidant activity on powdered cocoa leaf tea and sensory test on a refreshing beverage. The results showed that refreshing beverages from cocoa leaf tea boiled water can be accepted by the panelists, and panelists most preferred the refreshing beverage made from young cocoa leaves withered for 10 minutes. The beverage  is very brown color, slightly smelling leaves, slightly bitter and slightly astringent. Powdered cocoa leaf tea contain a total polyphenols between 0.42 to 0.74 mg/100 g, have antioxidant activity between 20.31 to 36.86%, not much different from the antioxidant activity of green tea commercial, amounting to 16% even slightly larger.ABSTRAKPada budidaya tanaman kakao perlu dilakukan pemangkasan daun pada setiap waktu tertentu. Daun hasil pangkasan belum dimanfaatkan secara optimal, padahal daun kakao mengandung polifenol dan mempunyai aktivitas antioksidan setara dan serupa dengan teh hijau, bahkan lebih besar dari pada teh hijau. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemungkinan pemanfaatan daun tanaman kakao hasil pangkasan sebagai teh untuk minuman penyegar yang dipersiapkan seperti pada pengolahan teh hijau. Daun kakao muda yaitu pucuk ditambah 3 daun dibawahnya (1-4) dan daun tua yaitu daun nomer 5 dan 3 daun dibawahnya dilayukan pada suhu 90-100 C RH <70% selama 5, 10 dan 15 menit. Daun layu kemudian digiling/digulung pada suhu ruang, dikeringkan pada suhu 90-100 oC selama 4 jam hingga dihasilkan daun kakao kering berkadar air 3-5%. Dilakukan pengamatan dan analisis meliputi kadar air, warna, kadar total polifenol, aktivitas antioksidan dan uji sensoris pada air rebusan teh daun kakao sebagai minuman penyegar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minuman penyegar hasil rebusan teh daun kakao dapat diterima oleh panelis, dan  yang paling disukai adalah air rebusan teh yang dibuat dari daun kakao muda dilayukan 10 menit. Air rebusan tersebut  warnanya sangat coklat, sedikit berbau daun, agak pahit dan sedikit sepat. Bubuk teh daun kakao mengandung total polifenol antara 0,42-0,74 mg/100 g, mempunyai aktivitas antioksidan antara 20,31 – 36,86%.
Pengaruh Perendaman Biji Kakao Kering dan Bahan Alat Sangrai terhadap Sifat Fisik dan Profil Senyawa Volatil Kakao Sangrai serta Sifat Sensoris Cokelat Batang yang Dihasilkan Yulius Gae Lada; Supriyanto Supriyanto; Purnama Darmadji
agriTECH Vol 34, No 4 (2014)
Publisher : Faculty of Agricultural Technology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (314.335 KB) | DOI: 10.22146/agritech.9439

Abstract

This research aimed at evaluating the effect of dry cocoa bean soaking and roasting using various type of materials  roaster instrument on the physical properties and profile of volatile compounds of roasted beans as well as sensorial attributes of chocolate bar resulted. Dry beans were soaked into water for 2 h to reduce acidity. Roasting was carried out using several instruments that were made from aluminum, iron and clay to obtain bean moisture content of 2 – 3.5%. Texture, color, and volatile compounds profile of roasted beans as well as sensorial attributes of chocolate bar were studied. Results showed that roasting cooking period (50 minutes) using clay roasting instrument was faster and had highest rate of temperature increase, followed by iron (70 minutes) and aluminum (90 minutes). Dry beans soaking significantly affected beans color (L* and λE value), chocolate bar attributes particularly aroma, acid taste and bitterness, however the instrument material differences had no significant effect on those parameters. The texture of cocoa beans roasted using a roaster of aluminum was the hardest, but it was not affected by the soaking treatment. Roasting of the cocoa beans using a roaster of aluminum, iron and clay produced different profiles on volatile compounds. A roaster of clay produced groups of compounds with the total area of SPME-GC-MS chromatogram was smaller than the roaster of aluminum and iron. The produced chocolate bars through the soaking treatment and roasting using a roaster of clay was preferred by the panelists.ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perendaman biji kakao kering dan penyangraian menggunakan berbagai jenis bahan alat sangrai terhadap sifat fisik dan profil senyawa volatil kakao sangrai serta sifat sensoris cokelat batang yang dihasilkan. Biji kakao kering direndam menggunakan air selama 2 jam untuk mengurangi keasaman, kemudian disangrai menggunakan berbagai jenis bahan alat sangrai (alumunium, besi dan tanah liat) hingga kadar air biji kakao sangrai mencapai 2 – 3,5%. Biji kakao kering diamati dan dianalisis sifat fisik dan profil senyawa volatil biji kakao sangrai serta sifat sensoris cokelat batang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan alat sangrai dari tanah liat lebih cepat dalam mematangkan biji kakao kering menjadi biji sangrai (50 menit) dengan laju peningkatan suhu yang cepat dan tinggi, selanjutnya diikuti dengan alat sangrai yang terbuat dari besi (70 menit) dan alumunium (90 menit). Perlakuan perendaman biji kakao kering berpengaruh nyata terhadap warna biji sangrai (nilai L* dan λE) dan sifat sensoris cokelat batang yang dihasilkan terutama aroma cokelat, rasa asam dan pahit, sedangkan perlakuan bahan alat sangrai tidak berpengaruh nyata. Tekstur biji kakao dari hasil penyangraian menggunakan alat sangrai dari alumunium adalah paling keras, tetapi tidak dipengaruhi oleh perlakuan perendaman. Penyangraian biji kakao menggunakan alat sangrai dari alumunium, besi dan tanah liat menghasilkan profil senyawa volatil yang berbeda. Dari kromatogram SPME-GC-MS diketahui bahwa alat sangrai dari tanah liat menghasilkan kelompok senyawa dan total luas area yang lebih kecil dibandingkan dengan alat sangrai dari alumunium dan besi. Cokelat batang yang dihasilkan melalui perendaman dan disangrai menggunakan alat sangrai dari tanah liat adalah yang paling disukai oleh panelis.
Perubahan Suhu, Kadar Air, Warna, Kadar Polifenol dan Aktivitas Antioksidatif Kakao Selama Penyangraian dengan Enerji Gelombang Mikro Supriyanto Supriyanto; Haryadi Haryadi; Budi Rahardjo; Djagal Wiseso Marseno
agriTECH Vol 27, No 1 (2007)
Publisher : Faculty of Agricultural Technology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (198.485 KB) | DOI: 10.22146/agritech.9489

Abstract

Heat penetrated slowly during conventional roasting of cocoa resulting in possibly less effective and gradation change. In this experiment microwave energy was applied to reast cocoa nib. The objective of this research was to study changes of temperature, moisture content, color, polyphenol content and antioxidative activity during microwave roasting of ground cocoa nibs. Ground cocoa nib passing through 20 mesh screen wa contained on glass bowl, and then heated in a microwave oven for 2-12 min. Conventional roasting using electric oven at 140ºC for 40 min was conducted for comparison. The result indicated that microwave roasting took a shorter time compared to that using conventional method as shown by the increasing temperature rate and the decreasing rate of moisture and polyphenol contents, i.e.10, 11 and 13 times faster than those given by the conventional roasting, respectively. Microwave roasting was more suitable for high roasting to get dark brown product. The trends of inhibition of linoleic acid oxidation by the product roasted using micorwave energy were similar to that of conventionally roasted, ground cocoa, i.e. 85-90%. A longer roasting of ground cocoa nibs was caused the polyphenol content in product more minimize, but this matter did not have an effect on reality to antioxidative activity of this product.ABSTRAKPada penyangraian biji kako cara konvensional proses pemanasan berlangsung lambat, sehingga tidak efisien dan senyawa dalam biji kako banyak mengalami perubahan terutama kandungan polifenol dan aktivitas antioksidatifnya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh penyangraian keping biji kakao menggunakan enerji gelombang mikro (EGM) terhadap perubahan suhu, kadar air, warna, kandungan polifenol dan aktivitas antioksidatif produk yang dihasilkan, dibandingkan dengan penyangraian konvensional. Hancuran keping biji kako lolos ayakan 20 mesh sebanyak 50 g, ditempatkan dalam mangkok gelas, dipanaskan dalam oven  EGM 900 watt, 2450 MHz selama 2 sampai dengan 12 menit pada power 20%. Penyangraian konvensional dilakukan menggunakan oven listrik pada suhu 140ºC  selama 20 menit sampai dengan 140 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyangraian dengan EGM menghasilkan kenaikan suhu 10 kali lebih besar, penurunan kadar air dan kansungan polifenol masing-masing 11 dan 13 kali lebih besar, dibandingkan dengan penyangraian konvensional. Penyangraian menggunakan EGM lebih cocok untuk penyangraian tingkat berat dengan produk yang berwarna coklat kehitaman. Pola perubahan aktivitas penghambatan oksidai asam linoleat selama penyangraian menggunakan EGM adalah serupa dengan pola perubahan pada penyangraian konvensional, dengan nilai antara 85-90%. Selama penyangraian kandungan polifenol menurun, dengan pola mendekati garis lurus. Perubahan kandungan polifenol selama penyangraian tidak berkorelasi secara nyata dengan perubahan aktivitas penghambatan oksidasi asam linoleat.