Nandang Rusnandar
Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

TRADISI MENDIRIKAN IMAH GEDE DAN RUMAH WARGA DI KASEPUHAN SINAR RESMI KABUPATEN SUKABUMI Nandang Rusnandar
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 1 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 1 MARCH 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (139.034 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i1.87

Abstract

AbstrakSalah satu komunitas adat Kasepuhan Sinar Resmi yang berada di Kabupaten Sukabumi, banyak melakukan ritual. Dan salah satu ritus yang dilakukannya adalah ritus dalam mendirikan rumah dan rumah adat. Tradisi ritus ini dilakukan dari sejak awal pembangunan hingga selesai mendirikan rumah, sehingga pembangunan dapat terselesaikan dengan baik dan keluarga yang akan menghuni rumah tersebut dapat hidup dengan selamat. Pembangunan sebuah rumah tak lepas dari ritus yang secara adat selalu dipatuhi dan dilaksanakan dengan benar, hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sistem kepercayaan yang mereka anut. Hal itu dilaksanakan, karena mereka takut akan melanggar pamali. Demikian pula rumah dan pola perkampungan yang ada di Kasepuhan Sinar Resmi erat hubungannya dengan alam sekitar, sehingga rumah dapat dianalogikan sebagai ‘mikro kosmos’ atau bumi ‘makro-kosmos’ yang berarti alam semesta. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ritus tradisi mendirikan rumah dan rumah adat merupakan kearifan tradisional yang mampu memberikan keharmonisan antara manusia dengan alamnya dan keharmonisan kehidupan sosialnya. AbstractOne of the indigenous communities of Kasepuhan Sinar Resmi are in Sukabumi performed many ritual. One rite is a rite in setting up homes and custom homes. This tradition carried on since the beginning of construction till finished, so the building can be resolved properly, and the families who will inhabit the house can live safely. Build a house could not be separated from the customary rite which implemented properly, it is very closely related to the belief system that theypossessed. They do that thing because they fear would violate the taboos (pamali). Similarly, the house and the existing settlement pattern in the Kasepuhan Sinar Resmi closely related to the environment, so the house can be analogized as 'micro cosmos' or the earth 'macro-cosmos' which means as a universe. This research is descriptive with qualitative approach. The results showed that the rite tradition and building a custom house is a traditional wisdom that is able to provide harmony between human and nature and the harmony of social life.
TATACARA DAN RITUAL MENDIRIKAN RUMAH DI KAMPUNG NAGA KEBUPATEN TASIKMALAYA Nandang Rusnandar
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 3 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 3 SEPTEMBER 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (765.5 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i3.117

Abstract

AbstrakKampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, merupakan kampung yang penduduknya masih berpegang teguh kepada adat  istiadat dalam menjalankan kehidupan istiadat, melingkupi segala bentuk  aspek kehidupan. Hal tersebut dapat terlihat dari tata cara mendirikan rumah. Keteguhan dalam mempertahankan adat ini menjadi kebiasaan tatacara mendirikan rumah dalam bentuk arsitektur yang ada di Kampung Adat Naga. Proses mendirikan rumah merupakan ritual yang tak putus mulai dari awal hingga akhir pembangunan. Proses mendirikan sebuah rumah merupakan kegiatan ritual yang secara masif dilakukan untuk mensucikan tempat tinggal (rumah) agar terbebas dari hal-hal yang bersifat gaib Bahkan dalam kenyataan kesehariannya, rumah memiliki fungsi sebagai tempat untuk ritual itu sendiri. Rumah yang dibangun bersama anggota keluarga sangat bermakna dalam. Segenap anggota masyarakat yang terlibat akan merasa memiliki bagian yang menjadi karyanya, sehingga keberadaan sebuah rumah adalah bagian utuh dari makro-kosmosnya.Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran secara utuh dan mendalam tentang tata cara dan ritual yang mengungkap simbol dan nilai  filosofisnya. Metode penelitian adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi langsung dan wawancara. AbstractKampung Naga in Tasikmalaya District, is a village whose people still cling to the customs and traditions in running life, encompasses all aspects of life forms. This can be seen from the procedure of building up their homes. The firmness in defending this custom becomes the habit of building up home procedures in the form of architecture of Kampung Naga. The process of building a house is a ritual that is unbroken from the beginning to the end of development. The process of setting up a home is a massive rituals performed to purify the residence (home) to be free from the things that are unseen.Even in the daily reality, the house has a function as a place for ritual itself. Houses are built by family members in has a deep meaning. All community members involved will give a feel asa part of their work, so that the existence of a home is an integral part of its macro-cosmos. The purpose of this study is to get a full and deep picture of the ordinances and rituals that reveal the symbols and philosophical values. The research method is a method of qualitativewith direct observation and interviews asthe data collection techniques.
ARSITEKTUR TRADISIONAL DI KASEPUHAN SINAR RESMI KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT Nandang Rusnandar
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 6, No 3 (2014): PATANJALA VOL. 6 NO. 3 SEPTEMBER 2014
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (144.018 KB) | DOI: 10.30959/ptj.v6i3.172

Abstract

AbstrakKetertarikan pada penelitian ini didasarkan pada adanya kesinambungan bentuk arsitektur tradisional  di Tatar Sunda yang memiliki kesamaan dalam  segi arsitektural, namun memiliki ciri-ciri mandiri yang disesuaikan dengan tata aturan dan adat istiadat setempat. Kampung Kasepuhan Sinar Resmi, merupakan salah satu kampung adat di wilayah Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi. Salah satu karya yang dihasilkan oleh komunitas ini  adalah bentuk arsitektur yang merupakan cerminan kuat dari latarbelakang budaya yang melingkupinya. Simbol-simbol yang mengandung tata nilai menjadi acuan mereka dalam bergerak hidup, sehingga nilai-nilai itulah yang dapat mempertahankan keutuhan arsitektur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran secara utuh dan mendalam tentang arsitektur serta mengungkap simbol dan nilai  filosofis masyarakatnya. Metode penelitian adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi langsung dan wawancara. Arsitektur, merupakan buah karya yang tak lepas dari simbol dan nilai yang melekat pada masyarakat pendukungnya, sehingga tata cara pembangunan tidak ditinggalkan walaupun perubahan terus melanda. Keteguhan dalam mempertahankan adat ini menjadi ciri mandiri dalam menghasilkan bentuk arsitektur yang ada di Sinar Resmi. Abstract The interest in this research based on the relations between traditional architecture in Sudanese which have similarity in the shape of architecture, but they have a specific character adapted with the custom rules that they lived.  Kasepuhan Sinar Resmi village is one of the traditional village in Cisolok sub-district, Sukabumi district.  One of the works that they have made is the shape of architecture, it symbolize strong Sudanese character. The symbol which have values become a reference in facing their life, so that the values that can maintain the integrity of the architecture.  The purposes of this research is to get the full picture and the depth of the architecture as well as revealing the symbol and the value of the philosophical community.  The method of this research is qualitative, with direct observation and interview as a technique in collecting the data.  Architecture as a masterpiece cannot separated from symbol and values in the society, so the procedures are not left even the changes continue to plague. Firmness in maintaining this custom became self-sufficient in generating characteristic architecture of Sinar Resmi village.
SEBA: PUNCAK RITUAL MASYARAKAT BADUY DI KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN Nandang Rusnandar
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 5, No 1 (2013): PATANJALA VOL. 5 NO. 1 MARCH 2013
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30959/patanjala.v5i1.163

Abstract

AbstrakPenelitian tentang upacara seba yang merupakan puncak kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat (Baduy) Kanekes di Kabupaten Lebak, bertujuan untuk mengetahui makna dan simbol yang ada dalam upacara tersebut. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskripsi dengan pendekatan fungsional melalui teknik pengumpulan data berupa wawancara dan pengamatan. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa upacara seba merupakan puncak acara ritual yang dilakukan setahun sekali yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan dan pemerintah atas kesejahteraan masyarakat Baduy yang telah dihasilkan dalam kurun satu tahun. Di samping itu upacara ini menjadi bukti adanya pengakuan secara adat dan bertujuan untuk bersilaturahmi antara masyarakat Kanekes dengan pemerintah baik di kabupaten maupun di provinsi yaitu kepada pejabat bupati dan gubernur yang secara informal mereka menjadi pemimpin masyarakat Baduy. Pelaksanaan upacara dipilih waktu yang terbaik untuk hari dan tanggal pelaksanaannya, terutama setelah selesai panen. Upacara seba merupakan rangkaian dari religi atau sistem kepercayaan agama Sunda Wiwitan yang dianut oleh masyarakat Kanekes, maka upacara ini wajib dilakukan karena merupakan pusaka leluhur harus terus dijaga dan dilestarikan yang diwariskan secara berkesinambungan kepada anak cucunya secara tegas dan mengikat.AbstractThis research aims to find out meanings and symbols in seba, the culmination of (Baduy) Kanekes‟ religious ritual. By conducting descriptive research method the author applied functional approach. Data were collected through interviews and observation. The result shows that the seba ceremony is the culmination of series of religious ritual conducting every year. The ceremony is performed to express gratitude to God and the government for the prosperity they have gained during the year. On the other hand, seba is the evidence of customary recognition as well as a means of maintaining good relationship between Kanekes people and the government, either with bupati (the Regent)or the governor as their informal leaders. The Baduys determine good date and time which they think the best for performing the ceremony, especially after harvest time. Seba is a part of series in religious ritual of ancient Sundanese belief system (Sunda Wiwitan) which is embraced by the Baduys. The ceremony is an obligatory because it is the legacy of their ancestors which have to be preserved and to be passed on continuously to their descendants.
SEBA: PUNCAK RITUAL MASYARAKAT BADUY DI KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN Nandang Rusnandar
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 5, No 1 (2013): PATANJALA VOL. 5 NO. 1 MARCH 2013
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (437.453 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v5i1.168

Abstract

AbstrakPenelitian tentang upacara seba yang merupakan puncak kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat (Baduy) Kanekes di Kabupaten Lebak, bertujuan untuk mengetahui makna dan simbol yang ada dalam upacara tersebut. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskripsi dengan pendekatan fungsional melalui teknik pengumpulan data berupa wawancara dan pengamatan. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa upacara seba merupakan puncak acara ritual yang dilakukan setahun sekali yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan dan pemerintah atas kesejahteraan masyarakat Baduy yang telah dihasilkan dalam kurun satu tahun. Di samping itu upacara ini menjadi bukti adanya pengakuan secara adat dan bertujuan untuk bersilaturahmi antara masyarakat Kanekes dengan pemerintah baik di kabupaten maupun di provinsi yaitu kepada pejabat bupati dan gubernur yang secara informal mereka menjadi pemimpin masyarakat Baduy. Pelaksanaan upacara dipilih waktu yang terbaik untuk hari dan tanggal pelaksanaannya, terutama setelah selesai panen. Upacara seba merupakan rangkaian dari religi atau sistem kepercayaan agama Sunda Wiwitan yang dianut oleh masyarakat Kanekes, maka upacara ini wajib dilakukan karena merupakan pusaka leluhur harus terus dijaga dan dilestarikan yang diwariskan secara berkesinambungan kepada anak cucunya secara tegas dan mengikat.AbstractThis research aims to find out meanings and symbols in seba, the culmination of (Baduy) Kanekes‟ religious ritual. By conducting descriptive research method the author applied functional approach. Data were collected through interviews and observation. The result shows that the seba ceremony is the culmination of series of religious ritual conducting every year. The ceremony is performed to express gratitude to God and the government for the prosperity they have gained during the year. On the other hand, seba is the evidence of customary recognition as well as a means of maintaining good relationship between Kanekes people and the government, either with bupati (the Regent)or the governor as their informal leaders. The Baduys determine good date and time which they think the best for performing the ceremony, especially after harvest time. Seba is a part of series in religious ritual of ancient Sundanese belief system (Sunda Wiwitan) which is embraced by the Baduys. The ceremony is an obligatory because it is the legacy of their ancestors which have to be preserved and to be passed on continuously to their descendants.