Ria Intani T.
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

FUNGSI UPACARA PERTANIAN PADA MASYARAKAT GURADOG KABUPATEN LEBAK Ria Intani T.
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 1, No 1 (2009): PATANJALA VOL. 1 NO. 1 MARCH 2009
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.429 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v1i1.235

Abstract

AbstrakMayoritas masyarakat Guradog adalah petani. Sehari-hari mereka teguh menjalankan tradisi warisan leluhurnya, antara lain melaksanakan upacara pertanian. Tujuan dari upacara tidak lain memohonkan keselamatan dalam kegiatan bertani, mulai dari kegiatan bertanam hingga panen. AbstractThe major part of Guradog society are farmer. They keep doing their ancestors inheritance tradition daily. For example in implementing the agriculture ceremony. The purpose of this ceremony is supplicating safety in farming activity, starting from planting until harvesting.
RUMAH JUNTI DI DESA JUNTIKEBON KECAMATAN JUNTINYUAT KABUPATEN INDRAMAYU Ria Intani T.
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 4, No 1 (2012): PATANJALA VOL. 4 NO. 1 MARCH 2012
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1667.541 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v4i1.124

Abstract

AbstrakDesa Juntikebon Kecamatan Juntinyuat berada di Kabupaten Indramayu. Desa Juntikebon memiliki kekhasan dalam hal arsitektur rumah tinggal. Rumah tinggal penduduk asli Juntikebon berarsitektur tradisional. Bentuk rumahnya limasan dan srotongan dengan bahannya dari kayu dan bambu. Rumah limasan ditandai dengan bentuk atap berupa jajaran genjang, sedang rumah srotongan ditandai dengan bentuk atap segi tiga. Orang Junti (penggalan dari Juntikebon) rmenyebut rumah sejenis itu dengan rumah limasan dan srotongan. Orang di luar kecamatan  sering menyebutnya dengan rumah Junti. Rumah limasan/srotongan/Junti menggunakan bahan-bahan yang pada umumnya diambil dari kebun sendiri. Selebihnya adalah dibeli dari lingkungan sekitar. Pekerja intinya adalah tukang bangunan dan tukang anyam, selebihnya adalah bantuan tenaga dari para tetangga. Dengan kondisi tenaga kerja yang demikian, pada umumnya membangun rumah limasan/srotongan/Junti selesai dalam kisaran waktu tiga minggu. Rumah limasan/srotongan/Junti dibangun dengan beradaptasi pada alam dan iklim setempat. Segala makna yang melekat pada bangunan rumah, sejatinya menggambarkan keyakinan serta pengharapan di dalam menjalani kehidupan.     Abstract Desa/village Juntikebon, Kecamatan/district Juntinyuat (Kabupaten/regency Indramayu) has a distinctive architecture of traditional house, called limasan and srotongan. People outside the village call it rumah Junti (house of Junti). The uniqueness of this architecture is in its adaptive design to nature and weather, and every elements of the house depicts their faith and hopes in their life. Materials for building the limasan and srotongan are generally taken from their own gardens. Only some small amount are purchased from the surrounding area. The main workers are masons and artisan spesiallising in weaving bamboo wall, and the neighbours do the rest.
NILAI BUDAYA PADA DOLANAN DERMAYON Ria Intani T.
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 3, No 1 (2011): PATANJALA VOL. 3 NO. 1 MARCH 2011
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4436.108 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v3i1.274

Abstract

AbstrakZaman yang serba tek (baca: teknologi) membuat ruang gerak hal-hal yang berbau tradisional menjadi tidak leluasa. Bisa dikatakan nyaris semua sektor budaya terkena imbasnya. Termasuk juga permainan anak-anak. Fenomena itu menggerakkan dilakukannya penelitian terhadap permainan tradisional anak-anak. Tujuannya tidak lain untuk menggali permainan tradisional yang ada di suatu daerah, dalam hal ini Indramayu. Indramayu adalah kota kabupaten yang juga sudah tersentuh teknologi dengan Balongan sebagai ikonnya. Kenyataan menunjukkan bahwa dari sejumlah permainan yang pernah ada, tidak semuanya masih dilakukan. Ada permainan yang sudah tidak dilakukan  tetapi masih dikenal namanya, ada pula yang sudah tidak dikenal sama sekali. Hal yang cukup menarik adalah dalam lingkup satu kabupaten terdapat permainan yang jenisnya sama namun namanya berbeda. Hal ini bisa dipahami terutama oleh karena adanya dua kultur di sana, pantai dan pertanian. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.   AbstractDuring this era of modern technology, traditional things became fade away. The impacts are reflected on almost every cultural sectors, including children’s games. This phenomenon has made the author conduct a research on it, and the object was traditional children’s game in Indramayu. Indramayu has witnessed many modern technologies, and Balongan is the icon. The author finds that there are many traditional games that are not played any more, some are still played, and the rest are only names that left. The author also finds an interesting fact: in the same regency there are different kinds of games that have same name. It probably because Indramayu has two subcultures: maritime and agriculture. Descriptive method and qualitative approach were applied to the research.
TENUN GEDOGAN DERMAYON Ria Intani T.
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 2, No 1 (2010): PATANJALA VOL. 2 NO. 1 MARCH 2010
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (333.889 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v2i1.204

Abstract

AbstrakPenelitian ini dilakukan untuk menggali pengetahuan tentang tenun gedogan Dermayon. Tentang bahan-bahan, alat yang digunakan, teknik pembuatan, sampai dengan sistem produksi, konsumsi, dan distribusi. Penenun gedogan berada di Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan bertenun di Juntikebon merupakan industri rumahan. Sepintas sulit menunjukkan angka pasti jumlah pengrajin. Penyebabnya adalah nyaris semua pengrajin adalah pengrajin sambilan. Mereka bertenun setelah bersawah dan bilamana ada waktu. Ilmu sekaligus alatnya merupakan warisan orang tua. Produksinya berupa selendang yang pada zamannya berfungsi sebagai alat gendong. Keterbatasan modal dibarengi ketiadaan generasi penerus di dalam keluarga menjadi penyebab keterbatasan dalam berproduksi. Ketiadaan promosi berakibat masyarakat awam terhadap tenun gedogan. Penyaluran hasil produksi lebih mengandalkan pada bakul, mereka adalah pembeli sekaligus penjual. AbstractThis research was conducted to explore the knowledge of gedogan Dermayon weaving. This research includes materials, equipment used, manufacturing technique, production system, consumption, and distribution. Gedogan weavers lives in the Juntikebon village, Juntinyuat-Indramayu. Research carried out by using descriptive method with qualitative approach. The results showed that weaving activity in Juntikebon is a home industry. There are no definite figures that can indicate the number of weavers. The reason is almost all weavers are sideline weavers. They weave after doing wet-rice cultivation, and when they have time to do it. Science and tools are inherited from parents. Production is shawl that at that time used to be a carrying tool. Limited capital accompanied by lack of continuer generation in the family cause the limitations in production. Lack of promotion resulted the commonness society about gedogan weaving. That is why the distribution of production realy more on wholesaler, they are buyers and sellers.