Rahayu Ningsih
Kementerian Perdagangan

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

IMPLIKASI PERJANJIAN TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN PRODUK TEKNOLOGI INFORMASI INDONESIA Rahayu Ningsih
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan Vol 7 No 1 (2013)
Publisher : Trade Analysis and Development Agency, Ministry of Trade of Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (426.275 KB) | DOI: 10.30908/bilp.v7i1.98

Abstract

Information Technology Agreement (ITA) merupakan perjanjian liberalisasi atas produk Information Technology (IT) yang telah ditandatangani oleh 29 ekonomi pada tahun 1996 yang bertujuan untuk mendorong keberlanjutan pengembangan teknologi dan industri informasi teknologi di berbagai negara. Dalam perkembangannya, Amerika Serikat dan Uni Eropa mengusulkan adanya perluasan liberalisasi produk IT (ITA Tahap 2). Studi ini bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja produk IT Indonesia dan hasilnya menunjukkan bahwa neraca perdagangan produk IT Indonesia terus mengalami defisit. Oleh karena itu, usulan perluasan cakupan produk IT yang akan diliberalisasikan perlu dipertimbangkan kembali mengingat kinerja industri IT yang tercakup dalam ITA Tahap 1 belum menunjukkan kinerja sebagaimana yang diharapkan. Signed by 29 economies in 1996, the Information Technology Agreement (ITA) liberalizes trade in Information Technology (IT) products promoting sustainable development of the technology and the information technology industries in various countries. The United States and the European Union now propose to extend the agreement to cover more IT products (ITA stage 2). The objective of this study is to analyze and evaluate the performance of Indonesia’s IT sector. We show that Indonesia’s IT product trade balance continues to be in deficit. Therefore, Indonesia should reconsider joining ITA stage 2 as the performance of the Indonesian IT industry covered by the ITA stage 1 has not been as strong as hoped.
POTENSI PERDAGANGAN DAN INVESTASI SERAT RAYON DI INDONESIA Rahayu Ningsih
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan Vol 6 No 1 (2012)
Publisher : Trade Analysis and Development Agency, Ministry of Trade of Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30908/bilp.v6i1.141

Abstract

Indonesia masih menghadapi kelangkaan serat rayon sebagai bahan baku industri tekstil meskipun saat ini Indonesia merupakan salah satu produsen utama serat rayon. Kelangkaan serat rayon diperkirakan disebabkan oleh kecenderungan produsen domestik yang mengekspor sehingga pasokan serat rayon untuk pasar domestik menurun. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan perdagangan dan investasi serat rayon di Indonesia. Disimpulkan bahwa permasalahan kelangkaan serat rayon disebabkan oleh masih rendahnya kapasitas produksi industri serat rayon sehingga produksinya belum mampu memasok kebutuhan domestik. Untuk itu diperlukan kebijakan yang lebih kondusif terutama di sektor kehutanan sehingga dapat mendorong pengembangan investasi industri serat rayon di Indonesia. Indonesia has been facing the shortage of rayon fiber eventhough Indonesia is one of main producers. The shortage of rayon fiber is due to the tendency of producers to export rather than supply the domestic markets; so the supply of rayon fiber is then decreased. This study aims to analyze the problems of rayon fiber related to trade and investment policy of rayon industry in Indonesia. It concludes that the scarcity of rayon was caused by the low of production capacity. So, it needs to develop the investment of rayon industry. Meanwhile, there is still a bottleneck problem of investment in rayon industry. Then, the condussive policy especially in forestry sector is necessary to support the development of investment of rayon industry in Indonesia.
KEMUNGKINAN KELEMBAGAAN RIA DALAM RANGKA REFORMASI REGULASI Rahayu Ningsih; Sri Kusyatiningsih
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan Vol 1 No 2 (2007)
Publisher : Trade Analysis and Development Agency, Ministry of Trade of Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (862.038 KB) | DOI: 10.30908/bilp.v1i2.297

Abstract

Pemulihan ekonomi Indonesia pasca krisis tahun 1997 sangat lambat jika dibandingkan dengan negara lain yang juga terkena krisis, dan factor penyebabnya adalah kualitas regulasi yang rendah dan tidak berorientasi pasar sehingga menghambat dinamika perekonomian. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dibuatlah suatu rancangan Kelembagaan yang menangani review regulasi baik yang sudah diterapkan maupun yang akan dibuat dengan metode RIA (Regulatory Impact Assessment), dimana Lembaga tersebut berfungsi untuk melakukan review terhadap seluruh regulasi yang diterbitkan oleh instansi pemerintah, terutama regulasi yang menghambat perkembangan kemajuan dunia usaha.Salah satu proses yang digunakan di banyak negara maju untuk mereview regulasi adalah melalui Regulatory Impact Assessment (RIA). Di Indonesia, prakarsa penggunaan metode RIA dimulai sejak tahun 2001 baik ditingkat pusat maupun daerah. Beberapa tahun lalu pemerintah telah mengeluarkan 3 (tiga) paket kebijakan untuk memperbaiki perekonomian, yaitu paket kebijakan pembangunan infrastruktur, kebijakan perbaikan iklim investasi dan kebijakan sektor keuangan. Namun semuanya belum memberikan kemajuan signifikan dalam reformasi peraturan dan birokrasi karena selama ini kurang berdaya untuk memberikan sinyal positif bagi pemulihan perekonomian. Departemen Perdagangan mulai tahun 2004 sampai sekarang telah mengambil inisiatif untuk melakukan kajian RIA sebagai metode dalam melakukan reformasi peraturan yang berkaitan dengan perdagangan dan iklim usaha, serta melakukan Sosialisasi RIA ke berbagai daerah di Indonesia. Keberhasilan penggunaan metode RIA sangat ditentukan oleh adanya komitmen yang kuat dari pimpinan di samping adanya kelembagaan RIA.
Dampak Penghapusan Subsidi Ekspor Produk Pertanian Terhadap Harga dan Perdagangan Produk Pangan Indonesia Steven Raja Ingot; Rahayu Ningsih
Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan Vol 13 No 1 (2019)
Publisher : Trade Analysis and Development Agency, Ministry of Trade of Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30908/bilp.v13i1.312

Abstract

Abstrak Salah satu komitmen terpenting hasil pertemuan Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organisation (WTO) di Nairobi tahun 2015 adalah diberlakukannya penghapusan subsidi ekspor produk pertanian negara anggota WTO, baik oleh negara maju (pada 2015) maupun negara berkembang (pada 2018). Studi ini bertujuan untuk melihat dampak penghapusan subsidi ekspor produk pertanian oleh negara asal terhadap harga dan perdagangan produk pangan Indonesia. Dengan menggunakan model Global Trade Analysis Project (GTAP) disimpulkan bahwa penghapusan subsidi ekspor produk pertanian akan mengakibatkan kenaikan harga beberapa produk pangan impor Indonesia terutama susu. Selain itu, penghapusan subsidi ekspor juga akan berdampak pada menurunnya impor Indonesia untuk produk hortikultura, susu, dan makanan olahan sedangkan ekspor Indonesia untuk daging sapi, gula, susu dan makanan olahan akan naik. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi untuk swasembada produk pangan sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor. Dengan demikian komitmen penghapusan subsidi ekspor oleh negara mitra dagang akan berdampak positif bagi Indonesia jika didukung dengan peningkatan produktivitas produk pangan. Kata Kunci: Subsidi Ekspor, Produk Pertanian, Produk Pangan, GTAP, WTO Abstract One of the most important commitments of the meeting of the World Trade Organization (WTO) Ministerial Conference in Nairobi 2015 is the abolition of export subsidies for agricultural products of WTO member countries, both developed countries (in 2015) and developing countries (in 2018). This study aims to examine the impact of the elimination of export subsidy on agricultural products by trading partners toward the price and trade pattern of Indonesian food products. Using the Global Trade Analysis Project (GTAP) model, the analysis shows that the elimination of export subsidies for agricultural products would lead to higher prices of Indonesian imported food products particularly for milk products. In addition, the abolition of export subsidy would reduce Indonesian imports of horticultural commodities, milk, and processed food while exports of beef, sugar, milk and processed foods would rise. This shows that Indonesia has the potential for self-sufficiency in some food products, thereby reducing dependence on imports, therefore the abolition of export subsidy will given a more positive impact on Indonesia if supported by increasing productivity of food products. Keywords: Export Subsidy, Agricultural Products, Food Products, GTAP, WTO JEL Classification: D58, F13, Q17, Q18