Tiara Widyaputri
Bagian Penyakit Dalam, Laboratorium Klinik Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan Hewan, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, INDONESIA

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Studi Histologi Tubulus Ginjal Tikus Model Hipertensi yang Diterapi Menggunakan Bone Marrow Mesenchymal Stem Cell Tiara Widyaputri; Erni Sulistiawati; Dondin Sajuthi; Anita Esfandiari; Setyo Widi Nugroho
Jurnal Veteriner Vol 22 No 3 (2021)
Publisher : Faculty of Veterinary Medicine, Udayana University and Published in collaboration with the Indonesia Veterinarian Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (139.442 KB) | DOI: 10.19087/jveteriner.2021.22.3.422

Abstract

Akhir-akhir ini banyak peneliti yang mempelajari terapi berbasis sel sebagai terapi regeneratif untuk melindungi atau memperbaiki jaringan yang rusak. Bone marrow mesenchymal stem cell (BMMSC) memiliki kemampuan yang menjanjikan dalam memperbaiki ginjal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah induksi yang dilakukan dapat menyebabkan kerusakan tubulus ginjal dan BMMSC mampu melindungi atau memperbaiki kerusakan yang terjadi. Penelitian ini menggunakan dua belas tikus jantan umur 10-12 minggu dengan rata-rata tekanan darah sistolik minimum mencapai 140-150 mmHg yang dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok terapi. Tekanan darah yang tinggi diinduksi dengan mengangkat ginjal kanan, mengikat arteri karotis komunis kiri, serta memberikan NaCl 1%, DOCA 2,5 mg/100gBB, dan BAPN 0,12%. Bone marrow mesenchymal stem cell disuntikkan setelah 16 minggu induksi. Evaluasi histopatologi ginjal yang didukung dengan evaluasi darah dilakukan dua minggu setelah injeksi BMMSC. Berdasarkan evaluasi histopatologi, kerusakan tubulus ginjal pada dua kelompok tidak menunjukkan hasil yang berbeda. Demikian juga regenerasi pada kedua kelompok menunjukkan hasil sama. Kadar blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin pada kedua kelompok berada dalam kisaran kadar normal. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi tidak parah dan BMMSC memperbaiki tubulus ginjal akan tetapi belum dapat melindungi tubulus ginjal dari kerusakan.
Chronic kidney disease pada kucing domestic short hair Andrea Puput Handayani; Vici Eko Handayani; Tiara Widyaputri
ARSHI Veterinary Letters Vol. 5 No. 2 (2021): ARSHI Veterinary Letters - Mei 2021
Publisher : School of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences, Bogor Agricultural University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avl.5.2.23-24

Abstract

Chronic kidney disease (CKD) merupakan kelainan struktural dan fungsional ginjal yang bersifat irreversibel, sehingga ginjal mengalami penurunan hingga kehilangan fungsinya. Kasus ini ditulis untuk melaporkan proses penentuan diagnosa dan penanganan CKD pada kucing di klinik hewan Citrapet and Vet, Cibubur, Bekasi. Seekor kucing luar ruangan berkelamin betina dibawa ke klinik hewan dengan keluhan kondisi lemas dan tidak mau makan selama 3 hari. Temuan klinis menunjukkan turgor kulit > 2 detik, diare, banyak pinjal, saluran cerna kosong dan banyak gas, serta ginjal teraba berukuran besar. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah terjadi penurunan kadar hemoglobin, penurunan hematokrit, leukositosis, limfositosis, granulositosis dan azotemia. Pemeriksaan urinalisis diperoleh nilai BJ dibawah normal, hematuria, proteinuria dan leukosituria. Pencitraan ultrasonografi menunjukkan batas antara pelvis renal, korteks dan medula tidak jelas pada kedua ginjal dan pola anekhoik yang diduga cairan tampak pada ginjal kanan. Kucing didiagnosa CKD dengan prognosa infausta. Terapi yang diberikan adalah pemberian antibiotik, antidiare, probiotik dan suplemen ginjal. Pemilik memutuskan rawat jalan setelah perawatan selama 10 hari dengan kondisi letargi, nafsu makan buruk dan sudah tidak menggalami diare.
Feline Atopic Skin Syndrome: an Introduction to Recently Proposed Terminology and How to Work Up the Case Michael Gunawan; Andhika Hardani Putra; Tiara Widyaputri
Acta VETERINARIA Indonesiana Vol. 11 No. 1 (2023): Maret 2023
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi.11.1.79-86

Abstract

Atopic disease remains as an enigmatic hypersensitivity disorder in feline patients. Studies of cutaneous atopic syndrome in cats have reported several reaction patterns in cats, presenting as a diagnostic challenge, and a recent literature review has proposed a new set of terminologies for such diagnoses. This paper aims to report a case workup of feline atopic skin syndrome in a patient presented with severe pruritus and reaction patterns of self-inducd alopecia and facial excoriation. Feline food allergy and flea allergic dermatitis were ruled out by a 6-week elimination diet and use of fluralaner respectively. Clinical symptoms were successfully managed with the use of oral glucocorticoid (GC) and systemic and topical antimicrobial, the use of all of which for 8 weeks was deemed successful based on the degree of clinical relief provided. It is concluded that feline atopic skin syndrome is a clinical diagnosis and pharmacological interventions, including drugs to treat skin inflammation and secondary infection, are warranted.