Aditya Prastian Supriyadi
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Dinamika Hukum Islam Indonesia : Reaktualisasi Norma Islam dalam Menalarkan Hukum Positif Merespon Sosio-Kultural Era Kontemporer Badruddin Badruddin; Aditya Prastian Supriyadi
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 14, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v14i1.15512

Abstract

Perubahan sosial yang terjadi di era kontemporer mengakibatkan hukum Islam perlu merespon secara dinamis. Hal ini mengingat ajaran Islam yang bersifat inklusif tidak boleh tertutup dengan perkembangan zaman. Aktualisasi ajaran Islam perlu dilakukan agar dapat mengakomodir perubahan sosio-kultural di era kontemporer yang tetap relevan dengan pedoman Al-quran dan Al-Hadist. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis bagaimana pengaruh sosio-kultur terhadap aktualisasi hukum Islam Indonesia di era kontemporer. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menelaah segala sumber bahan pustaka sebagai bahan primer untuk menganalisis isu yang menjadi topik kajian. Pendekatan penelitian dalam penulisan artikel ini menggunakan content analysis berdasarkan korelasi isi sumber bahan yang selaras dengan problematika isu kajian. Hasil penulisan artikel menunjukkan aktualisasi hukum Islam di Indonesia sebenarnya sudah pernah diterapkan di masa lampau. Akan tetapi di era komtemporer saat ini, aktualisasi Hukum Islam tidak boleh berhenti. Revolusi Industri 4.0 sebagai faktor utama telah mempengaruhi dinamika sosio-kultural dari segi Ekonomi, Sosial, Budaya, Moral, teknologi yang semakin modern. Perlu upaya reaktualisasi ajaran islam yang relevan dalam merespon perkembangan faktor tersebut mengingat hukum Islam yang tersedia belum tentu mengakomodir problematika terkini. Hasil reaktualisasi ajaran Islam memiliki urgensi bagi positivisasi hukum di Indonesia terutama dalam mengatur tata prilaku umat di era kontemporer yang tidak keluar dari koridor tatanan Islam. 
AN ISLAMIC SPIRIT FOR BUSINESS ETHICS AND LEGAL FRAMEWORK OF FINTECH PEER TO PEER LENDING: Why Does Indonesia Need It? Aditya Prastian Supriyadi
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 13, No 2 (2022): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v13i2.17876

Abstract

The growth of Fintech Peer-to-Peer (P2P) lending in Indonesia is one of the supports for national economic development. The positive growth of this financial sector is not supported by proportional rules, resulting in the practices of business ethics violation which is detrimental to society. To overcome these problems, the spirit of Islam can be the basis for determining ethical and business measures into a better legal framework for Fintech P2P Lending. This article applies a normative legal research method using a conceptual approach and legislation relevant to the theme of the study. The research results indicate that Fintech P2P Lending in Indonesia needs to be regulated in a qualified legal framework because the existing rules have not been able to solve unethical actions of businessmen. The business concept in Islam also accommodates ethical issues that must be applied in business activities as a harmless commerce spirit. This Islamic spirit can be used as a source of material law in determining a clear legal framework to uphold Fintech P2P Lending business ethics so as not to harm the Indonesian people.Pertumbuhan fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia merupakan salah satu penunjang pembangunan ekonomi nasional. Pertumbuhan positif sektor keuangan ini tidak diikuti dengan aturan yang proporsional sehingga menimbulkan praktik-praktik yang melanggar etika bisnis dan sangat merugikan masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, semangat Islam dapat menjadi landasan untuk menentukan langkah-langkah etis dan bisnis ke dalam kerangka hukum fintech P2P lending yang lebih baik. Artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan tema penelitian. Hasil penelitian dalam artikel ini menunjukkan bahwa fintech P2P Lending di Indonesia perlu diatur dalam kerangka hukum yang mumpuni karena aturan yang ada belum mampu mengatasi tindakan tidak etis dari para pelaku bisnis. Konsep bisnis dalam Islam juga mengakomodir persoalan etika yang harus diterapkan dalam kegiatan bisnis sebagai spirit perdagangan yang tidak merugikan. Semangat keislaman ini dapat dijadikan sebagai sumber hukum materil dalam menentukan kerangka hukum yang jelas untuk menegakkan etika bisnis fintech P2P lending agar tidak merugikan masyarakat Indonesia.
Reduksi Hak Partisipasi publik Pada Aturan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk Perizinan Berusaha di Indonesia: Perspektif Green Constitution Aditya Prastian Supriyadi
Jurnal HAM Vol 14, No 1 (2023): April Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/ham.2023.14.17-40

Abstract

The green constitution concept in the Indonesian Constitution is the legal fundamental basis for environmental protection in implementing the national economy through public participation. The rationale for "public participation" as part of the rights of the International Covenant on Civil and Political Rights needs to be examined in Government Regulation instead of Law No. 2 of 2023 concerning Job Creation, passed into a legal act. This writing aims to analyze the components of public participation rights that the job creation act can potentially reduce, especially the provisions on the Environmental Impact Assessment (EIA) in enforcing the green constitution. This research is conducted based on normative legal research methods with statutory and conceptual approaches. The results of this research show that the rules for involving the community in preparing the EIA in the Job Creation Act differ from the green constitution principles in 2 (two) aspects. First, the limitation on community involvement in the Job Creation Act is potentially unconstitutional with the essence of the green constitution and the 1945 Constitution, which guarantees the right of public participation in the environmental field. Second, in the green constitution, the urgency of aspirations for public participation can become a consideration for making more transparent decisions in implementing an economy based on sustainable development. Restrictions on community involvement reduce the concept of a green constitution and potentially reduce the transparency in the granting of business permits in Indonesia which cannot mitigate the risk of environmental losses due to economic exploitation.