I Putu Gede Wardhiana
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

RISIKO TERJADINYA KETUBAN PECAH DINI DAN PERSALINAN PRETERM PADA INFEKSI KUMAN STREPTOKOKUS GRUP BETA KEHAMILAN TRIMESTER KETIGA Wardhiana, I Putu Gede
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 3 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sepsis neonatorum  merupakan penyebab utama kematian  neonatus di negara berkembang sampai saat ini. WHO memperkirakan terdapat 5000 kematian  neonatus setiap tahun dan 98% terjadi di negara berkembang (Vergnano, 2005).  Angka kejadian sepsis neonatorum di Asia  bervariasi  7,1-38 per 1000 kelahiran hidup  dengan angka kematian berkisar 26-36% (WHO,2003). Data yang berhasil diperoleh dari RSCM Jakarta tahun 2005 terdapat angka kejadian sepsis neonatorum 13,68% dengan angka kematian 14,18% (Aminullah, 2008). Sepsis neonatorum dini cenderung berat dan sering menyebabkan kematian.  Kuman patogen dominan yang dikatakan sebagai penyebabnya adalah Group Beta Streptococcus (GBS) dan E.Coli (Vergnano, 2005; Sweet et al., 2009). Budayasa pada penelitiannya di RSUP Sanglah, Denpasar tahun 2002-2003 pada 113 ibu hamil dengan KPD aterm mendapatkan angka kejadian sepsis neonatorum dini 4,4% dimana dikatakan  risikonya meningkat 13,38 % pada ibu yang terinfeksi kuman GBS.    Spektrum infeksi GBS pada maternal dan fetal bervariasi dari asimptomatis sampai dengan sepsis. Implikasi klinis dari infeksi GBS pada maternal adalah persalinan preterm, KPD, korioamnionitis, febris postpartum, bakteriuria. Sedangkan pada fetus yaitu sepsis dan meningitis. Infeksi GBS pada wanita hamil terjadi sekitar 20% (rata-rata 5 - 40%) dan sering tanpa gejala serta tidak menimbulkan masalah kesehatan yang serius  (Meyn et al., 2009). Penelitian Jahromi et al (2008) mendapatkan hasil 9,1% ibu hamil trimester ketiga yang terinfeksi GBS, sebesar 36,3% mengalami persalinan preterm dan 16,3%  mengalami KPD. Risiko terjadinya persalinan preterm dan KPD lebih dari dua kali lipat dengan  p<0,001 dibandingkan ibu hamil yang tidak terinfeksi GBS. Skrining infeksi GBS pada umur kehamilan trimester ketiga memberikan nilai prediktif positif saat inpartu lebih tinggi dibandingkan trimester lebih awal. Umur kehamilan  35-37 minggu merupakan waktu yang optimal karena memiliki nilai prediktif 85-95% untuk terjadinya infeksi GBS saat inpartu (Yancey et a.,l 1996; Hiller et al., 2005) Dengan mendeteksi infeksi GBS pada ibu hamil saat antenatal dan mengidentifikasi risiko yang bisa terjadi bila terifeksi kuman tersebut seperti KPD, persalinan preterm, sepsis neonatorum, diharapkan dapat mengupayakan pencegahan infeksi GBS pada fetus dan neonatus sehingga angka kejadian sepsis neonatorum dini dapat ditekan. Untuk itu, pada penelitian ini terbatas untuk mengetahui seberapa besar risiko terjadinya KPD dan persalinan preterm pada ibu hamil yang terinfeksi GBS (+) pada kehamilan trimester ketiga.
HUBUNGAN KADAR ESTROGEN DENGAN KADAR DEOXYPIRIDINOLIN URIN PADA WANITA MENOPAUSE Wardhiana, I Putu Gede
journal of internal medicine Vol. 8, No. 3 September 2007
Publisher : journal of internal medicine

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (67.833 KB)

Abstract

Women in her life will get two land marks, menarche and menopause. Menopause is that point in timewhen permanent cessation of menstruation occurs following the loss of ovarian activity. Women will loss theprotective effect of estrogen, accelerate bone remodeling and get osteoporotic. This study was conducted toevaluate relationship between estrogen level and bone resorption by deoxypyridinoline ekskretion in urine ofmenopausal women. Cross sectional study was done at Obgyn Department, RS Sanglah Denpasar. Population inthis study were women who got cessation their menstruation for 12 months or more, including our inclusioncriteria and the worked in this hospital. We performed deoxypyridinoline urine by high performance liquidchromatography (HPLC) method at Klinik Prodia and basal estradiol level (E2) at Laboratorium Graha TunjungRS Sanglah Denpasar. 52 menopausal women were evaluated, 21.1% with normal estradiol level, and 78.9%low (< 30 pg/ml). We collected 75% normal deoxyyridinoline urine and 25% with high deoxypyridinoline urinelevel (> 7.5 nmol/L), 1 sample with normal estradiol got high deoxypyridinoline urine level. From 41 sample(78.9%) with low estradiol level, twelve (23.1%) with high deoxypyridinoline have the highest osteoporotic riskin their life. Conclusion: 23,1% sample with low estradiol level and high deoxypyridinoline have the highestosteoporotic risk in their life