Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PENDEKATAN SEJARAH SOSIAL DALAM KAJIAN POLITIK PENDIDIKAN ISLAM Wathoni, Kharisul
JURNAL TADRIS STAIN PAMEKASAN Vol 8, No 1 (2013)
Publisher : STAIN Pamekasan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam lintasan sejarah pendidikan Islam, aspek politiksenantiasa mewarnai dan terkadang mendominasi, sehingga terdapathubungan yang erat dan dinamis antara politik dengan pendidikan.Penyelenggaraan pendidikan merupakan pengejawantahan darisebuah kebijakan dan keputusan politik, sementara di sisi lain nyaristidak mudah untuk ”mensterilkan” pendidikan dari muatan politisyang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, dalammencermatinya, perlu pendekatan sejarah sosial sebagai pisau analisisterhadap dimensi yang “tak terkatakan” dalam panggung politikpendidikan Islam. Asumsinya bahwa pemikiran selalu merupakanhasil pergumulan pemikir dengan realitas sosial yang dihadapinya,karena setiap pemikiran selalu merupakan refleksi atas problem sosialyang berkembang pada masanya.
PERAN MASYARAKAT DALAM MEMBENTUK LEARNING SOCIETY Wathoni, Kharisul
Cendekia: Jurnal Kependidikan Dan Kemasyarakatan CENDEKIA VOL. 9. NO. 2 TAHUN 2011
Publisher : IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/cendekia.v9i2.890

Abstract

A discussion of the learning society has been issued by Torsten Husen in 1971. Learning society is the empowerment of communities and families in education. Within this time, the role of community and family in formal educational institutions has still lack of attention. Since the existence of school is in the midst of the society, certainly it should be an integral part of the surrounding community and it must not be moving around in the void of social life. Learning society is an effort to increase public participation in the management of learning resources provided in the community, hence this system may not be separated or remain an integral part of society as a whole. Through the efforts of this community empowerment, educational institutions plays an important role as the core of the learning society that can result in graduates who are qualified, capable, functional, and integrated with the community. ولقد قام تورستين هوسين بالتعريف عن المجتمع المتعلم سنة 1971 م. والمجتمع المتعلّم هو تقوية المجتمع والأسرة في التربية. إلى الآن، لم يكن هناك اهتمام كاف بدور المجتمع والأسرة في التربية الرسمية ( المدارس). لكون المدارس في وسط المجتمع، لابد هي أن تكون جزءا لا يتجزّء من المجتمع، ولا تخرج عن اطار الحياة الاجتماعية.المجتمع المتعلم هو المحاولة لترقية مشاركة المجتمع في إدارة مصادر التعلّم الموجودة في المجتمع واستفادتها، حتى لا يكون نظام التربية منفصلا أو هو ثابت في كونه جزءا لا يتجزّء من المجتمع. بمحاولات التقوية و الترقية هذه، أصبحت المؤسسات التربوية مركزا للمجتمع المتعلم حتي خرّجت الخرّيجين الجيّدين و ذوى الكفايات الوظائفية المتحدين بالمجتمع.   
INTERNALISASI PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI (STUDI KASUS DI JURUSAN TARBIYAH STAIN PONOROGO) Wathoni, Kharisul
Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Vol 15 No 2 (2015)
Publisher : Pusat Penelitian dan Pegabdian pada Masyarakat, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kerinci, Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Character education is essentially an effort to develop the moral intelligence of students to behave noble (noble character). Thus forming efforts in the institutional character does not stop until the secondary level but it should be up to the college level. From the results of research studies conducted in STAIN Ponorogo in this case an institutional case study at Tarbiyah Department has made efforts to internalize the character education to student which are through three patterns: first, conducted in the learning process in the lecture; The second, conducted in the process of academic administrative services; The third, carried through extracurricular activities and student intracuricular followed by majors Tarbiyah STAIN Ponorogo. The character values are internalized are: honesty, discipline, religious, creative, self-reliance, responsibility, tolerance, communicative and responsibility. Pendidikan karakter secara esensial adalah sebuah upaya mengembangkan kecerdasan moral peserta didik agar mempunyai perilaku yang mulia (noble character). Dengan demikian upaya penanaman karakter secara kelembagaan tidak hanya berhenti hingga jenjang menengah namun seharusnya hingga jenjang perguruan tinggi. Dari hasil kajian penelitian yang dilakukan di STAIN Ponorogo dalam hal ini studi kasus pada Jurusan Tarbiyah- secara kelembagaan telah melakukan upaya internalisasi pendidikan karakter kepada mahasiswa dalam hal ini melalui tiga pola: pertama, dilakukan dalam proses pembelajaran di perkuliahan; kedua, dilakukan dalam proses pelayanan akademik administratif; ketiga, dilakukan melalui kegiatankegiatan ekstrakulikuler maupun intrakulikuler kemahasiswaan yang diikuti oleh mahasiswa jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo. Adapun nilai-nilai karakter yang diinternalisasikan adalah: kejujuran, kedisiplinan, religius, kreatif, kemandirian, tanggung jawab, toleransi, komunikatif dan tanggung jawab.
PERSEPSI GURU MADRASAH IBTIDAIYAH TENTANG PENDIDIKAN SEKS BAGI ANAK ( Studi Kasus di MI Se-Kecamatan Mlarak) Wathoni, Kharisul
Kodifikasia Vol 10, No 1 (2016)
Publisher : IAIN PONOROGO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (165.738 KB) | DOI: 10.21154/kodifikasia.v10i1.814

Abstract

Berita terkait pelecehan seksual terhadap anak di berbagai penjuru tanah air dari hari ke hari semakin menunjukkan perkembangan yang menghawatirkan. Dari semua itu yang paling mengejutkan adalah pelecehan seksual ini terjadi di sekolah yaitu sebuah institusi yang dianggap ?paling aman? bagi orang tua ?menitipkan? anak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Namun alih-alih ingin mendapatkan pendidikan dan pengajaran justru anak-anak mereka mendapat perlakuan yang tidak senonoh yang dilakukan oleh orang seharusnya melindungi mereka dan menjadi pengganti orang tua mereka.Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)[1] mengungkapkan kasus kekerasan seksual di Indonesia menunjukan trend peningkatan. Berdasarkan pantauan KPAI, terjadi peningkatan 20 hingga 30 persen. Peningkatan itu signifikan dan membahayakan."Yang pasti, akses anak terhadap internet meningkat serta fasilitas yang mudah diperoleh ke anak masif," ujar Asrorun Niam kepada wartawan seusai jumpa pers 'Darurat pornografi dan kekerasan seksual terhadap anak di kantor KPAI, Jakarta Pusat.[2] Dari sini sini bisa dipahami trouble maker dari semua ini adalah terbukanya pintu pornografi[3] secara bebas.Menurut Aris Merdeka Sirait, Ketua Umum Komnas PA, lingkungan sekolah sebagai tempat merebaknya kekerasan seksual,  tidak lebih disumbang peranan guru di sekolah yang tidak menempatkan fungsinya dalam membangun emosional, karakter dan aklak di sekolah. Saat ini, aspek tersebut sulit ditemukan di lingkungan sekolah. Oleh sebab itu, sistem pendidikan di Indonesia perlu dibenahi mulai dari pola rekrutmen guru, karena sistem tidak hanya berkaitan dengan proses belajar mengajar, tetapi kedepan harus diimbangi dengan EQ. Peranan guru yang tidak maksimal di sekolah membuat dunia pendidikan kurang bisa memainkan peranannya dalam mencetak manusia Indonesia yang berkualitas.Fenomena di atas menggambarkan salah satu dimensi fakta abnormal tentang seks yang terjadi di kalangan anak maupun remaja, walaupun dalam konteks di atas anak lebih menjadi korban. Di sisi lain ada hal yang juga menjadi keprihatinan terkait remaja dan anak Jumlah kasus remaja atau ABG yang hamil di luar nikah belakangan ini semakin memprihatinkan kita. Betapa tidak, setiap tahun angka tersebut terus bertambah sejalan dengan semakin longgarnya nilai-nilai sosial, agama dan etika pergaulan di tengah masyarakat kita. Paling tidak pergaulan bebas yang kini banyak dianut oleh kaum remaja di tanah air, telah berkontribusi terhadap tingginya angka kasus-kasus aborsi di tanah air tercinta ini.Selain itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfa Anshori  pernah melakukan penelitian bersama Pusat Kajian Kesehatan Perempuan Universitas Indonesia (UI) soal aborsi pada 2003. Dari penelitian itu tercatat rata-rata terjadi 2 juta kasus aborsi per tahun. Lalu pada tahun berikutnya, 2004 penelitian yang sama menunjukkan kenaikan